Covid-19 dan Geger Sosial Politik

Selasa, 14 Juli 2020 - 07:21 WIB
Sudarnoto Abdul Hakim
Sudarnoto Abdul Hakim

Wakil Ketua Majelis Diktilitbang PP Muhammadiyah, Associate Professor FAH UIN Jakarta

COVID-19 memang benar-benar musibah dahsyat yang menimbulkan korban jiwa sangat besar, kemandekan dan bahkan depresi ekonomi global yang mematikan. IMF memprediksi "...the pandemic would incite the worst economic slump since the great depression..." Kemiskinan di Amerika saja meningkat sangat tajam. Dalam waktu satu bulan sejak pandemi merebak, ada 22 juta orang Amerika kehilangan pekerjaan. Ini juga terjadi di mana-mana, termasuk di Indonesia. Core Indonesia, misalnya, menyebutkan di bulan Mei terdapat 37,9 juta orang (mengalami penambahan sekitar 8, 25 juta) terkena pandemi atau 14,35% dari total penduduk. Sangat beralasan jika muncul kepanikan publik di mana-mana. Di beberapa negara terjadi penjarahan massal. Namun beberapa negara tampak berhasil dalam menghadapi pandemi ini meskipun masih harus terus meningkatkan kewaspadaan tinggi. Salah satunya adalah Malaysia. Bahkan pemerintahan Mahyuddin di Malaysia tampak memperoleh "berkah politik" dari pandemi karena selamat dari upaya Mahathir untuk merobohkan kembali Mahyuddin setelah ditetapkan oleh Yang Dipertuan Agung sebagai PM Malaysia. Dengan demikian pemerintahan Mahyuddin bisa lebih konsentrasi melawan pandemi menyelamatkan Malaysia.

Pandemi di Tiga Negara

Situasi dan kisah sosial politik di balik pandemi di sejumlah negara bermacam-macam. Di Malaysia, misalnya, Mahyuddin tampaknya memperoleh berkah dan terselamatkan secara politik oleh pandemi. Mahathir Muhammad yang merasa dikhianati oleh Mahyuddin, sejak Mahyuddin ditetapkan sebagai PM dengan cara yang sangat mengejutkan oleh Yang Dipertuan Agung bulan Maret yang lalu, mengajukan mosi tidak percaya ke parlemen. Sebagaimana diketahui bahwa hari Senin tanggal 18 Mei yang lalu sesi perlemen pertama bagi pemerintah koalisi Perikatan Nasional diselenggarakan. Mosi Mahathir ini sudah diterima oleh parlemen dan diharapkan bisa dibacakan dan dibahas saat sidang parlemen. Akan tetapi pemerintah yang sudah mengetahui langkah Mahathir kemudian memblokir agar tidak dilakukan pembahasan mosi dan pemungutan suara dengan alasan pandemi. Agenda tunggal sidang parlemen hanyalah mendengarkan pidato Yang Dipertuan Agung dan menetapkan anggaran pemerintah tahun 2021.



Dengan demikian jalan untuk meruntuhkan Mahyuddin melalui mosi menjadi tertutup dan jalan Anwar Ibrahim menuju PM pun tidak dibuka. Skenario pemilihan umum sebagai cara mengatasi kebuntuan politik tampaknya hanya disetujui oleh UMNO dan Barisan Nasional, kata Nur Jazlan Mohammed, wakil UMNO Johor. Mayoritas anggota parlemen menolak ide pemilu. Parlemen pun berhasil memutuskan persetujuan anggaran tahun 2021 sebesar RM250 miliar. Ada tambahan sebesar RM10 miliar untuk apa yang disebut sebagi paket stimulus. Paket ini digunakan untuk membantu UKM yang mengalami kesulitan ekonomi akibat pandemi yang meliputi subsidi upah yang disediakan dua kali lebih besar daripada yang biasa, yaitu sebesar RM13,8 miliar. Mahyuddin berhasil selamat secara politik di parlemen serta mengambil hati dan kepercayaan publik sehingga ia terus melenggang menikmati berkah politik pandemi hingga hari ini.

Hal itu berbeda dengan Amerika. Para Islamophobes termasuk politisi memanfaatkan penyebaran pandemi yang begitu cepat ini untuk mempersalahkan orang-orang Islam dan mengampanyekan gerakan anti-Islam dan orang Islam. Orang Islam adalah penyebar virus yang mematikan. Propaganda antimuslim ini dikaitkan dengan acara internasional yang diselenggarakan oleh Jamaah Tabligh di India. Berdasarkan berita yang dikembangkan oleh media anti-Islam, pertemuan Jamaah Tabligh telah menjadi transmitter virus korona di mana-mana (super - speader) karena begitu banyak orang Jamaah Tabligh terbukti terserang virus ini. Tidak sedikit politisi India fanatik kemudian mengutuk negara-negara berpenduduk muslim dan Jamaah Tabligh karena telah menjadi kekuatan konspiratif penebar virus.

Propoganda dan gerakan anti-Islam dan muslim di India pada masa pandemi ini ada kaitan kuat dengan politik dan undang-undang tentang kewarganegaraan yang kontroversial yang menempatkan muslim sebagai warga India kelas dua. Partai penguasa India, Baratiya Janata Party, yang sangat nasionalis Hindu chauvinistic memang diskriminatif dan berusaha menyingkirkan warga India muslim. Konflik atau bentrok terjadi di mana-mana sebagai akibat dari undang-undang ini. Pandemi kemudian menjadi momentum penting bagi kekuatan nasionalis Hindu fanatik yang didukung pemerintah untuk menyerang Islam dan muslim.

Slogan "Corona Jihad, Corona Terrorism" berkembang, termasuk di Amerika. Slogan ini ingin menegaskan bahwa korona menjadi senjata orang-orang Islam untuk menghancurkan orang-orang kafir, menghancurkan nilai-nilai Amerika. Para Islamophobes mengembangkan narasi bahwa menolak tes dan pengobatan karena terserang virus secara teologis adalah wajib bagi muslim karena ini merupakan jihad untuk menghancurkan orang-orang kafir. Bagi siapa saja yang bersedia berjihad dan kemudian meninggal karena korona, Allah akan memasukkannya ke surga. Masih banyak narasi dan informasi lain yang misleading yang dikembangkan oleh para Islamophobes. Jadi ada kepentingan ideologis dan politik untuk menyudutkan Islam dan umat Islam dengan memanfaatkan penyebaran korona di India dan Amerika.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More