Merenda Optimisme dalam Histeria Ekonomi
Selasa, 20 Desember 2022 - 16:44 WIB
Di titik ini, Indonesia harus mampu menjaga laju inflasinya melalui koordinasi kebijakan yang tepat antara otoritas fiskal dan moneter dalam jangka pendek. Setidaknya, pemerintah bisa tetap hadir memberikan bantuan berupa subsidi dan optimalisasi Belanja Tidak Terduga (BTT) dalam rangka mengantisipasi lonjakan tiba-tiba inflasi, serta menjaga daya beli masyarakat.
Ke depan yang harus jadi perhatian adalah masalah distribusi pendapatan. Mengikuti ekonomi Post Keynesian, performa ekonomi sejatinya dipengaruhi campur tangan pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan yang adil. Runtutannya sebagai berikut. Tingginya pendapatan akan menentukan tingkat konsumsi dan permintaan rumah tangga.
Namun, pasar yang tidak sempurna dan kaum kapitalis yang memiliki dominasi lebih kuat dalam perekonomian, membuat distribusi pendapatan jadi tidak merata. Bila dibandingkan dengan rumah tangga biasa, kontribusi kaum kapitalis dalam menopang konsumsi perekonomian jauh lebih kecil. Lantaran ini disebabkan oleh kecenderungan menabungnya yang lebih besar dibandingkan konsumsi.
Maka konsumsi rumah tangga akan mengalami degradasi dalam jangka panjang dan bisa mengurangi laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Mau tidak mau, pemerintah harus campur tangan dalam urusan distribusi pendapatan ini.
Sejak beberapa tahun terakhir, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia memang relatif stabil. Namun, pertumbuhan ini juga diiringi ketimpangan pendapatan. Sederhananya, tidak semua orang menikmati manfaat tumbuhnya ekonomi. Nampaknya, kebijakan mengatasi masalah distribusi pendapatan harus lebih serius dilakukan di Indonesia.
Kemampuan sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif terhadap perekonomian adalah kuncinya. Lewat instrumen suku bunga, kebijakan moneter pada hakikatnya bisa menciptakan efek kesejahteraan (wealth effect) melalui nilai aset dalam bingkai mengurangi ketimpangan pendapatan.
Namun, kebijakan fiskal nampaknya bisa lebih ampuh karena bisa secara langsung memengaruhi pendapatan disposibel melalui instrumen perpajakan dan transfer tunai. Tak terkecuali, mitigasi terhadap impak upside risks seperti impak normalisasi kebijakan ekonomi negara maju akan memberi impak pada sektor keuangan domestik dan meroketnya harga pangan dunia seperti sekarang ini.
Pada aras ini, paradigma pembangunan ekonomi yang didasarkan semangat inklusivitas adalah sebuah keniscayaan. Bukan hanya sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kemerataan ekonomi.
Ini bisa dilakukan dengan menata konstelasi perekonomian lewat transformasi digital masif nan inklusif. Seyogianya, integrasi teknologi digital dalam perekonomian akan membuka akses dan kesempatan lebih luas.
Melalui berbagai lini mulai dari pasar, sistem pembayaran, lapangan kerja, hingga transmisi kebijakan sendiri. Makanya, ketersediaan dan keterjangkauan infrastruktur digital di berbagai daerah patut dipertimbangkan. Tidak hanya sebatas akses, tetapi juga kualitasnya. Niscaya digitalisasi merupakan solusi tepat dalam rangka mendukung kebijakan ekonomi afirmatif.
Ke depan yang harus jadi perhatian adalah masalah distribusi pendapatan. Mengikuti ekonomi Post Keynesian, performa ekonomi sejatinya dipengaruhi campur tangan pemerintah dalam mendistribusikan pendapatan yang adil. Runtutannya sebagai berikut. Tingginya pendapatan akan menentukan tingkat konsumsi dan permintaan rumah tangga.
Namun, pasar yang tidak sempurna dan kaum kapitalis yang memiliki dominasi lebih kuat dalam perekonomian, membuat distribusi pendapatan jadi tidak merata. Bila dibandingkan dengan rumah tangga biasa, kontribusi kaum kapitalis dalam menopang konsumsi perekonomian jauh lebih kecil. Lantaran ini disebabkan oleh kecenderungan menabungnya yang lebih besar dibandingkan konsumsi.
Maka konsumsi rumah tangga akan mengalami degradasi dalam jangka panjang dan bisa mengurangi laju pertumbuhan ekonomi di masa depan. Mau tidak mau, pemerintah harus campur tangan dalam urusan distribusi pendapatan ini.
Sejak beberapa tahun terakhir, tren pertumbuhan ekonomi Indonesia memang relatif stabil. Namun, pertumbuhan ini juga diiringi ketimpangan pendapatan. Sederhananya, tidak semua orang menikmati manfaat tumbuhnya ekonomi. Nampaknya, kebijakan mengatasi masalah distribusi pendapatan harus lebih serius dilakukan di Indonesia.
Kemampuan sinkronisasi kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif terhadap perekonomian adalah kuncinya. Lewat instrumen suku bunga, kebijakan moneter pada hakikatnya bisa menciptakan efek kesejahteraan (wealth effect) melalui nilai aset dalam bingkai mengurangi ketimpangan pendapatan.
Namun, kebijakan fiskal nampaknya bisa lebih ampuh karena bisa secara langsung memengaruhi pendapatan disposibel melalui instrumen perpajakan dan transfer tunai. Tak terkecuali, mitigasi terhadap impak upside risks seperti impak normalisasi kebijakan ekonomi negara maju akan memberi impak pada sektor keuangan domestik dan meroketnya harga pangan dunia seperti sekarang ini.
Pada aras ini, paradigma pembangunan ekonomi yang didasarkan semangat inklusivitas adalah sebuah keniscayaan. Bukan hanya sekedar mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi juga kemerataan ekonomi.
Ini bisa dilakukan dengan menata konstelasi perekonomian lewat transformasi digital masif nan inklusif. Seyogianya, integrasi teknologi digital dalam perekonomian akan membuka akses dan kesempatan lebih luas.
Melalui berbagai lini mulai dari pasar, sistem pembayaran, lapangan kerja, hingga transmisi kebijakan sendiri. Makanya, ketersediaan dan keterjangkauan infrastruktur digital di berbagai daerah patut dipertimbangkan. Tidak hanya sebatas akses, tetapi juga kualitasnya. Niscaya digitalisasi merupakan solusi tepat dalam rangka mendukung kebijakan ekonomi afirmatif.
tulis komentar anda