Merenda Optimisme dalam Histeria Ekonomi
Selasa, 20 Desember 2022 - 16:44 WIB
Saat ini Indonesia merupakan aktor penting dalam perekonomian global. Lewat hasil kekayaan alamnya, Indonesia memberikan kontribusi global melalui penyediaan Crude Palm Oil (CPO), batu bara, nikel, tembaga, dan komoditas berbasis sumber daya alam lainnya.
Selain itu, Indonesia juga unggul dalam produk manufaktur seperti tekstil dan alas kaki. Tidak bisa dipungkiri, ekspor merupakan katalisator perekonomian Indonesia, meski proporsinya terhadap PDB bukan yang paling besar dan masih relatif kecil dibandingkan negara eksportir lainnya.
Namun, ekspor terus tumbuh secara flamboyan dan berulang kali menyelamatkan perekonomian Indonesia. Masalahnya, ekspor amat bergantung pada permintaan eksternal. Ketika trayek ekonomi global mengalami kemunduran, imbasnya berujung pada lesunya permintaan dan penurunan ekspor. Alhasil, perlambatan ekspor merupakan prediksi logis ekonomi Indonesia pada 2023.
Terlebih gelagat The Fed memberikan sinyal bahwa kebijakan moneter hawkish masih akan terus berlanjut di Amerika Serikat. Maknanya, tekanan pada rupiah masih belum berakhir. Stres oleh capital outflow, tergerusnya cadangan devisa, dan ketidakpastian global bisa berujung pada tindakan spekulasi yang bisa merapuhkan pasar keuangan.
Selain Amerika Serikat, yang perlu diwaspadai juga negara Eropa. Konflik Rusia-Ukraina yang masih belum reda menimbulkan gangguan rantai pasok yang tidak berkesudahan. Rentetannya, harga energi dan pangan di Eropa melambung cukup tinggi.
Di waktu yang bersamaan, terjadi musim dingin yang kurang lebih baru akan berakhir setelah 3 bulan. Secara tak langsung, ini berpotensi besar semakin mendongkrak permintaan gas dan listrik maka kenaikan harga energi global tak terelakkan. Kondisi ini bisa menyebabkan imported inflation yang mendorong biaya produksi di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Mencari Antidot Resesi
Sebenarnya, elemen utama yang patut dikhawatirkan untuk perekonomian Indonesia ke depan adalah risiko stagflasi akibat kelesuan ekspor. Dan pengikisan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh inflasi akibat volatilitas nilai tukar serta tingginya harga energi maupun pangan. Walaupun sempat melandai beberapa kali, tetapi inflasi masih berada di luar sasaran dan trennya cukup tajam.
Secara fundamental, Indonesia sebetulnya diuntungkan oleh struktur demografi yang cukup produktif dengan pertumbuhan dan besarnya populasi. Juga, tren jumlah masyarakat kelas menengah terus terus tumbuh tiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan konsumsi memiliki proporsi yang paling besar dalam pembentukan PDB.
Implikasinya, konsumsi bisa menjadi benteng pertahanan solid ketika ekspor mengalami perlambatan. Oleh karenanya, menjaga konsumsi adalah sebuah keniscayaan. Bila tidak hati-hati, konsumsi yang sejatinya merupakan bantalan perekonomian domestik bisa tergerus oleh inflasi dan berbahaya bagi kelangsungan ekonomi Indonesia di tengah resesi.
Selain itu, Indonesia juga unggul dalam produk manufaktur seperti tekstil dan alas kaki. Tidak bisa dipungkiri, ekspor merupakan katalisator perekonomian Indonesia, meski proporsinya terhadap PDB bukan yang paling besar dan masih relatif kecil dibandingkan negara eksportir lainnya.
Namun, ekspor terus tumbuh secara flamboyan dan berulang kali menyelamatkan perekonomian Indonesia. Masalahnya, ekspor amat bergantung pada permintaan eksternal. Ketika trayek ekonomi global mengalami kemunduran, imbasnya berujung pada lesunya permintaan dan penurunan ekspor. Alhasil, perlambatan ekspor merupakan prediksi logis ekonomi Indonesia pada 2023.
Terlebih gelagat The Fed memberikan sinyal bahwa kebijakan moneter hawkish masih akan terus berlanjut di Amerika Serikat. Maknanya, tekanan pada rupiah masih belum berakhir. Stres oleh capital outflow, tergerusnya cadangan devisa, dan ketidakpastian global bisa berujung pada tindakan spekulasi yang bisa merapuhkan pasar keuangan.
Selain Amerika Serikat, yang perlu diwaspadai juga negara Eropa. Konflik Rusia-Ukraina yang masih belum reda menimbulkan gangguan rantai pasok yang tidak berkesudahan. Rentetannya, harga energi dan pangan di Eropa melambung cukup tinggi.
Di waktu yang bersamaan, terjadi musim dingin yang kurang lebih baru akan berakhir setelah 3 bulan. Secara tak langsung, ini berpotensi besar semakin mendongkrak permintaan gas dan listrik maka kenaikan harga energi global tak terelakkan. Kondisi ini bisa menyebabkan imported inflation yang mendorong biaya produksi di belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.
Mencari Antidot Resesi
Sebenarnya, elemen utama yang patut dikhawatirkan untuk perekonomian Indonesia ke depan adalah risiko stagflasi akibat kelesuan ekspor. Dan pengikisan daya beli masyarakat yang disebabkan oleh inflasi akibat volatilitas nilai tukar serta tingginya harga energi maupun pangan. Walaupun sempat melandai beberapa kali, tetapi inflasi masih berada di luar sasaran dan trennya cukup tajam.
Secara fundamental, Indonesia sebetulnya diuntungkan oleh struktur demografi yang cukup produktif dengan pertumbuhan dan besarnya populasi. Juga, tren jumlah masyarakat kelas menengah terus terus tumbuh tiap tahunnya. Kondisi ini menyebabkan konsumsi memiliki proporsi yang paling besar dalam pembentukan PDB.
Implikasinya, konsumsi bisa menjadi benteng pertahanan solid ketika ekspor mengalami perlambatan. Oleh karenanya, menjaga konsumsi adalah sebuah keniscayaan. Bila tidak hati-hati, konsumsi yang sejatinya merupakan bantalan perekonomian domestik bisa tergerus oleh inflasi dan berbahaya bagi kelangsungan ekonomi Indonesia di tengah resesi.
tulis komentar anda