Mengatasi Lonjakan Harga Pangan
Rabu, 02 November 2022 - 13:15 WIB
Perpres 125 ini juga menjelaskan soal kebijakan dari hulu ke hilir untuk pengelolaan pangan mulai dari menjamin harga dan pasar bagi petani, menjaga ketersediaan pasokan bagi produsen berbahan baku pangan, penyimpanan sejumlah stok untuk cadangan dan penyaluran untuk pemanfaatan cadangan.
Dalam menghadapi krisis pangan, peran negara dominan di dalamnya. Pelajaran dari krisis ekonomi dunia pada 1930-an telah memberikan justifikasi empiris dan pembenaran teoritis untuk pertama kalinya dalam pemikiran ekonomi modern tentang urgensi negara harus menjadi panglima ketika berhadapan dengan krisis.
Secara domestik kekuatan logistik pangan negara harus dalam keadaan prima. Dalam kondisi krisis semua logistik pangan yang ada, apakah itu di BUMN (seperti Bulog), swasta, atau masyarakat harus menjadi logistik pangan negara. Artinya dalam keadaan krisis pangan, negara punya wewenang untuk mendistribusikan dan mengalokasikan semua pangan yang ada di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya dampak yang lebih fatal.
Manajemen logistik pangan negara kita harus diperkuat jika menghadapi krisis pangan. Pemerintah relatif hanya punya cadangan pangan nasional untuk beras. Sedangkan, untuk pangan lain relatif pemerintah tidak punya kapasitas untuk melakukan stabilisasi bila terjadi gejolak harga. Pasalnya, pemerintah tidak memiliki cadangan pangan non beras di lumbung pangan pemerintah (Bulog) dalam jumlah memadai.
Pemerintah juga harus mempunyai cara jitu mengatasi penimbunan dan spekulasi harga kebutuhan pokok.
Kita bisa menyaksikan fenomena itu ketika terjadinya gejolak harga minyak goreng baru-baru ini. Pemerintah terlihat tertatih-tatih mengatasinya karena tidak punya stok minyak goreng di lumbung (Bulog atau BUMN pangan lainnya) dan hanya mengandalkan stok minyak goreng yang ada di swasta.
Dan, masalahnya pemerintah menunjukkan performa bukan sebagai panglima yang harus mengarahkan, mengalokasikan penggunaan logistik minyak goreng yang dimiliki swasta tersebut. Kita berharap semoga Indonesia dapat mengatasi dan melalui kondisi ini.
Dalam menghadapi krisis pangan, peran negara dominan di dalamnya. Pelajaran dari krisis ekonomi dunia pada 1930-an telah memberikan justifikasi empiris dan pembenaran teoritis untuk pertama kalinya dalam pemikiran ekonomi modern tentang urgensi negara harus menjadi panglima ketika berhadapan dengan krisis.
Secara domestik kekuatan logistik pangan negara harus dalam keadaan prima. Dalam kondisi krisis semua logistik pangan yang ada, apakah itu di BUMN (seperti Bulog), swasta, atau masyarakat harus menjadi logistik pangan negara. Artinya dalam keadaan krisis pangan, negara punya wewenang untuk mendistribusikan dan mengalokasikan semua pangan yang ada di Indonesia dalam rangka mencegah terjadinya dampak yang lebih fatal.
Manajemen logistik pangan negara kita harus diperkuat jika menghadapi krisis pangan. Pemerintah relatif hanya punya cadangan pangan nasional untuk beras. Sedangkan, untuk pangan lain relatif pemerintah tidak punya kapasitas untuk melakukan stabilisasi bila terjadi gejolak harga. Pasalnya, pemerintah tidak memiliki cadangan pangan non beras di lumbung pangan pemerintah (Bulog) dalam jumlah memadai.
Pemerintah juga harus mempunyai cara jitu mengatasi penimbunan dan spekulasi harga kebutuhan pokok.
Kita bisa menyaksikan fenomena itu ketika terjadinya gejolak harga minyak goreng baru-baru ini. Pemerintah terlihat tertatih-tatih mengatasinya karena tidak punya stok minyak goreng di lumbung (Bulog atau BUMN pangan lainnya) dan hanya mengandalkan stok minyak goreng yang ada di swasta.
Dan, masalahnya pemerintah menunjukkan performa bukan sebagai panglima yang harus mengarahkan, mengalokasikan penggunaan logistik minyak goreng yang dimiliki swasta tersebut. Kita berharap semoga Indonesia dapat mengatasi dan melalui kondisi ini.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda