Mendiskusikan Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat
Senin, 10 Oktober 2022 - 18:36 WIB
Terkait pembentukan Tim PPHAM, pada satu segi, ada pihak yang mendukung upaya penyelesaian secara non-yudisial ini dan ada juga yang menolak. Misalnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, menyatakan mekanisme non yudisial diperlukan.
Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup. Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.
Sementara pihak yang menolak berasal dari pihak korban dan para pejuang HAM tanah air. Misalnya, Usman Hamid, Direktur Ekesekutif Amnesty Internasional menyatakan bahwa pembentuk Tim PPHAM tidak sesuai dengan standar hukum internasional dan hanya fokus pada rehabilitasi korban.
Saya berpandangan bahwa pembentukan TIM PPHAM secara holistik memang tidak akan menjawab persoalan penyelesaian HAM berat di Tanah Air. Namun paling tidak ia menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelesaikannya secara parsial, khususnya berpihak pada korban dan keluarganya.
Konsep non-yudisial, atau penyelesaian di luar hukum, pada dasarnya merupakan konsep restorative justice dalam penyelesaian masalah criminal. Istilah restorative justice merujuk pada Albert Eglash (1977) yang mengupayakan pembedaan antara tiga bentuk keadilan kriminal.
Pertama, retributive justice, yang menekankan pada upaya memberikan hukumam pada pelanggar terhadap apa yang telah mereka lakukan. Kedua, berkaitan dengan distributive justiceyang menekankan pada rehabilitasi para pelanggar hukum.
Ketiga, restorative justice, yang menyamakan dengan prinsip restitusi. Eglash mengupayakan untuk menyahuti akibat-akibat Tindakan pelanggar dengan mengupayakan pada menjamin reparasi pada korban.
Membaca mandat Tim PPHAM maka dapat dikategorikan mereka bekerja pada kategori restorative justice, karena hanya ingin menyelesaikan pelanggaran HAM secara non-yudisial.
Menurut James Dignan (2005) terdapat lima kateori pendekatan restorative justice. Pertama, tindakan restitutif dan reparatif berbasis pengadilan. Kedua, program mediasi korban-pelaku.
Ketiga, inisiatif konferensi. Keempat, panel reparasi komunitas. Kelima, lingkaran penyembuhan atau hukuman. Karena keterbatasn ruang, penulis tidak mengeksplor pendekatan tersebut secara detail.
Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup. Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.
Sementara pihak yang menolak berasal dari pihak korban dan para pejuang HAM tanah air. Misalnya, Usman Hamid, Direktur Ekesekutif Amnesty Internasional menyatakan bahwa pembentuk Tim PPHAM tidak sesuai dengan standar hukum internasional dan hanya fokus pada rehabilitasi korban.
Saya berpandangan bahwa pembentukan TIM PPHAM secara holistik memang tidak akan menjawab persoalan penyelesaian HAM berat di Tanah Air. Namun paling tidak ia menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelesaikannya secara parsial, khususnya berpihak pada korban dan keluarganya.
Konsep non-yudisial, atau penyelesaian di luar hukum, pada dasarnya merupakan konsep restorative justice dalam penyelesaian masalah criminal. Istilah restorative justice merujuk pada Albert Eglash (1977) yang mengupayakan pembedaan antara tiga bentuk keadilan kriminal.
Pertama, retributive justice, yang menekankan pada upaya memberikan hukumam pada pelanggar terhadap apa yang telah mereka lakukan. Kedua, berkaitan dengan distributive justiceyang menekankan pada rehabilitasi para pelanggar hukum.
Ketiga, restorative justice, yang menyamakan dengan prinsip restitusi. Eglash mengupayakan untuk menyahuti akibat-akibat Tindakan pelanggar dengan mengupayakan pada menjamin reparasi pada korban.
Membaca mandat Tim PPHAM maka dapat dikategorikan mereka bekerja pada kategori restorative justice, karena hanya ingin menyelesaikan pelanggaran HAM secara non-yudisial.
Menurut James Dignan (2005) terdapat lima kateori pendekatan restorative justice. Pertama, tindakan restitutif dan reparatif berbasis pengadilan. Kedua, program mediasi korban-pelaku.
Ketiga, inisiatif konferensi. Keempat, panel reparasi komunitas. Kelima, lingkaran penyembuhan atau hukuman. Karena keterbatasn ruang, penulis tidak mengeksplor pendekatan tersebut secara detail.
tulis komentar anda