Mendiskusikan Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat
Senin, 10 Oktober 2022 - 18:36 WIB
Selanjutnya Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Gudang 1989-1998.
Merespons perkembangan isu ini, saya mencoba melihat persoalan ini dari sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis berargumen bahwa penyelesaian secara non-yudisial hanya bersifat parsial, namun akan memberikan sejumlah manfaat bagi para korban dan menunjukkan political will pemerintah menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.
Persoalan pelanggaran HAM di Tanah Air masih banyak menyisakan luka dan pengalaman traumatis pada korban dan tidak ada keberanian untuk membawa pelaku pelanggar HAM ke pengadilan. Pada tahun 2021-2022, penulis terpilih sebagai seorang fellow GERIS yang dibiayai Uni Eropa, yang memfokuskan kerja pada transitional justice and reconciliation di Indonesia.
Kunjungan lapangan di Indonesia, khususnya Jakarta dan Yogyakarta, dengan mengunjungi Komnas HAM, PB Nahdlatul Ulama, YLBHI, dan sejumlah organisasi penggerak perlindungan korban HAM yang tidak penulis sebutkan detail, dan juga diskusi intensif dengan kelompok korban HAM membenarkan pihak-pihak korban yang mengalami stigma, kekerasan, dan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang layak. Selain itu, penulis berpandangan bahwa gagasan keadilan transisi dan rekonsiliasi pernah mengemuka pada era reformasi 1998.
Namun, kuatnya anasir Orde Baru, terutama para pelaku yang diduga kuat melanggar HAM masih terlibat dalam sisten pemerintahan membuat proses keadilan transisi tidak pernah bisa diwujudkan di Tanah Air. Termasuk pelbagai masalah pelanggaran HAM di Papua yang terabaikan.
Menurut Malna (2015), sulitnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua karena dua hal. Pertama, tidak ada upaya serius dari orang Papua untuk membawa kasus pelanggaran HAM sebagai inisiatif kolektif. Mereka cenderung bekerja secara terpisah dan akhirnya sulit bekerjasama untuk jangka panjang.
Kedua, sistem keadilan Papua kekurangan kapasitas dan jaksa serta penuntut tidak memiliki pemahaman memadai tentang norma HAM. Dengan demikian, terdapat satu keraguan yang rasional untuk melaksanakan pengadilan HAM yang legitimate. Singkatnya, menurut penulis, pelanggaran HAM belum bisa terselesaikan sejauh ini dan perlawanan politik masih berlangsung terhadap upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu.
Kegagalan penegakan keadilan transisi paska orde baru menyebabkan tingginya angka kekerasan yang terjadi. Theo van den Broek (2022), menulis bahwa gerakan TNI dan TPNPB masih kerap melakukan kontak senjata di Puncak, Intan Jaya, Pengunungan Bintang dan Maybrat. Akibatnya, warga sipil banyak yang menjadi korban.
Selain itu, otsus dan pemekaran yang telah dimulai pada November 2021 tanpa mendengarkan suara dan tuntutan rakyat Papua membuat penolakan tegas atas keberlanjutan Otsus Papua. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua terwujud setelah DPR mengesahkan pembentukan provinsi tersebut pada 30 Juni 2022.
Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Dataran Tinggi dengan ibu kota Jayawijaya. Sejak awal gagasan untuk membentuk tiga provinsi tambahan telah menghasilkan gelombang perlawanan dari orang Papua yang berjuang untuk kemerdekaan.
Merespons perkembangan isu ini, saya mencoba melihat persoalan ini dari sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis berargumen bahwa penyelesaian secara non-yudisial hanya bersifat parsial, namun akan memberikan sejumlah manfaat bagi para korban dan menunjukkan political will pemerintah menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.
Persoalan pelanggaran HAM di Tanah Air masih banyak menyisakan luka dan pengalaman traumatis pada korban dan tidak ada keberanian untuk membawa pelaku pelanggar HAM ke pengadilan. Pada tahun 2021-2022, penulis terpilih sebagai seorang fellow GERIS yang dibiayai Uni Eropa, yang memfokuskan kerja pada transitional justice and reconciliation di Indonesia.
Kunjungan lapangan di Indonesia, khususnya Jakarta dan Yogyakarta, dengan mengunjungi Komnas HAM, PB Nahdlatul Ulama, YLBHI, dan sejumlah organisasi penggerak perlindungan korban HAM yang tidak penulis sebutkan detail, dan juga diskusi intensif dengan kelompok korban HAM membenarkan pihak-pihak korban yang mengalami stigma, kekerasan, dan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang layak. Selain itu, penulis berpandangan bahwa gagasan keadilan transisi dan rekonsiliasi pernah mengemuka pada era reformasi 1998.
Namun, kuatnya anasir Orde Baru, terutama para pelaku yang diduga kuat melanggar HAM masih terlibat dalam sisten pemerintahan membuat proses keadilan transisi tidak pernah bisa diwujudkan di Tanah Air. Termasuk pelbagai masalah pelanggaran HAM di Papua yang terabaikan.
Menurut Malna (2015), sulitnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua karena dua hal. Pertama, tidak ada upaya serius dari orang Papua untuk membawa kasus pelanggaran HAM sebagai inisiatif kolektif. Mereka cenderung bekerja secara terpisah dan akhirnya sulit bekerjasama untuk jangka panjang.
Kedua, sistem keadilan Papua kekurangan kapasitas dan jaksa serta penuntut tidak memiliki pemahaman memadai tentang norma HAM. Dengan demikian, terdapat satu keraguan yang rasional untuk melaksanakan pengadilan HAM yang legitimate. Singkatnya, menurut penulis, pelanggaran HAM belum bisa terselesaikan sejauh ini dan perlawanan politik masih berlangsung terhadap upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu.
Kegagalan penegakan keadilan transisi paska orde baru menyebabkan tingginya angka kekerasan yang terjadi. Theo van den Broek (2022), menulis bahwa gerakan TNI dan TPNPB masih kerap melakukan kontak senjata di Puncak, Intan Jaya, Pengunungan Bintang dan Maybrat. Akibatnya, warga sipil banyak yang menjadi korban.
Selain itu, otsus dan pemekaran yang telah dimulai pada November 2021 tanpa mendengarkan suara dan tuntutan rakyat Papua membuat penolakan tegas atas keberlanjutan Otsus Papua. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua terwujud setelah DPR mengesahkan pembentukan provinsi tersebut pada 30 Juni 2022.
Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Dataran Tinggi dengan ibu kota Jayawijaya. Sejak awal gagasan untuk membentuk tiga provinsi tambahan telah menghasilkan gelombang perlawanan dari orang Papua yang berjuang untuk kemerdekaan.
tulis komentar anda