Mendiskusikan Penyelesaian Non-Yudisial Kasus Pelanggaran HAM Berat
loading...
A
A
A
Ridwan
Dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas Islam Internasional Indonesia
Fellow GERIS Uni Eropa 2021-2022
INDONESIA sedang menanggung utang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Sejauh ini, persoalan tersebut tampaknya tidak menemukan jalan penyelesaian yang holistik. Akibatnya, para korban pelanggaran HAM dirundung keputusasaan, dan para pelanggar HAM masa lalu tidak tersentuh hukum.
Sejatinya, harapan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu pernah melambung tinggi yang diletakkan pada pundak Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika terpilih menjadi Presiden RI pada tahun 2014. Namun, hingga jabatan Presiden Jokowi pada periode ke- 2 akan selesai pada 2024, harapan tersebut tampaknya pupus.
Jokowi secara kasat mata lebih menaruh perhatian pada pembangunan infrastruktur yang masif daripada political will untuk menyelesaikan persoalan HAM sebagai hutang negara yang belum lunas. Di tengah mandeknya penyelesaian persoalan HAM berat yang menuntut para pelaku dibawa ke pengadilan, Presiden Jokowi berencana membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Memang, Presiden Jokowi secara resmi sudah menandatangani Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat masa lalu (Tim PPHAM). Tim PPHAM beranggotakan Makarim Wibisono (ketua), Ifdhal Kasim, Suparman Marzuki, Apolo Safando, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, Asa’ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidayat dan Rahayu. Tim PPHAM juga memiliki tim pengarah dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
Tim PPHAM ini dimandati guna mengungkap dan menganalisis pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2020. Artinya tugas menyangkut 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan, yakni: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989. Kemudian Peristiwa Trisakti Peristiwa Semanggi I dan II dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
Selanjutnya Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Gudang 1989-1998.
Merespons perkembangan isu ini, saya mencoba melihat persoalan ini dari sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis berargumen bahwa penyelesaian secara non-yudisial hanya bersifat parsial, namun akan memberikan sejumlah manfaat bagi para korban dan menunjukkan political will pemerintah menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.
Persoalan pelanggaran HAM di Tanah Air masih banyak menyisakan luka dan pengalaman traumatis pada korban dan tidak ada keberanian untuk membawa pelaku pelanggar HAM ke pengadilan. Pada tahun 2021-2022, penulis terpilih sebagai seorang fellow GERIS yang dibiayai Uni Eropa, yang memfokuskan kerja pada transitional justice and reconciliation di Indonesia.
Kunjungan lapangan di Indonesia, khususnya Jakarta dan Yogyakarta, dengan mengunjungi Komnas HAM, PB Nahdlatul Ulama, YLBHI, dan sejumlah organisasi penggerak perlindungan korban HAM yang tidak penulis sebutkan detail, dan juga diskusi intensif dengan kelompok korban HAM membenarkan pihak-pihak korban yang mengalami stigma, kekerasan, dan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang layak. Selain itu, penulis berpandangan bahwa gagasan keadilan transisi dan rekonsiliasi pernah mengemuka pada era reformasi 1998.
Namun, kuatnya anasir Orde Baru, terutama para pelaku yang diduga kuat melanggar HAM masih terlibat dalam sisten pemerintahan membuat proses keadilan transisi tidak pernah bisa diwujudkan di Tanah Air. Termasuk pelbagai masalah pelanggaran HAM di Papua yang terabaikan.
Menurut Malna (2015), sulitnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua karena dua hal. Pertama, tidak ada upaya serius dari orang Papua untuk membawa kasus pelanggaran HAM sebagai inisiatif kolektif. Mereka cenderung bekerja secara terpisah dan akhirnya sulit bekerjasama untuk jangka panjang.
Kedua, sistem keadilan Papua kekurangan kapasitas dan jaksa serta penuntut tidak memiliki pemahaman memadai tentang norma HAM. Dengan demikian, terdapat satu keraguan yang rasional untuk melaksanakan pengadilan HAM yang legitimate. Singkatnya, menurut penulis, pelanggaran HAM belum bisa terselesaikan sejauh ini dan perlawanan politik masih berlangsung terhadap upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu.
Kegagalan penegakan keadilan transisi paska orde baru menyebabkan tingginya angka kekerasan yang terjadi. Theo van den Broek (2022), menulis bahwa gerakan TNI dan TPNPB masih kerap melakukan kontak senjata di Puncak, Intan Jaya, Pengunungan Bintang dan Maybrat. Akibatnya, warga sipil banyak yang menjadi korban.
Selain itu, otsus dan pemekaran yang telah dimulai pada November 2021 tanpa mendengarkan suara dan tuntutan rakyat Papua membuat penolakan tegas atas keberlanjutan Otsus Papua. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua terwujud setelah DPR mengesahkan pembentukan provinsi tersebut pada 30 Juni 2022.
Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Dataran Tinggi dengan ibu kota Jayawijaya. Sejak awal gagasan untuk membentuk tiga provinsi tambahan telah menghasilkan gelombang perlawanan dari orang Papua yang berjuang untuk kemerdekaan.
Terkait pembentukan Tim PPHAM, pada satu segi, ada pihak yang mendukung upaya penyelesaian secara non-yudisial ini dan ada juga yang menolak. Misalnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, menyatakan mekanisme non yudisial diperlukan.
Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup. Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.
Sementara pihak yang menolak berasal dari pihak korban dan para pejuang HAM tanah air. Misalnya, Usman Hamid, Direktur Ekesekutif Amnesty Internasional menyatakan bahwa pembentuk Tim PPHAM tidak sesuai dengan standar hukum internasional dan hanya fokus pada rehabilitasi korban.
Saya berpandangan bahwa pembentukan TIM PPHAM secara holistik memang tidak akan menjawab persoalan penyelesaian HAM berat di Tanah Air. Namun paling tidak ia menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelesaikannya secara parsial, khususnya berpihak pada korban dan keluarganya.
Konsep non-yudisial, atau penyelesaian di luar hukum, pada dasarnya merupakan konsep restorative justice dalam penyelesaian masalah criminal. Istilah restorative justice merujuk pada Albert Eglash (1977) yang mengupayakan pembedaan antara tiga bentuk keadilan kriminal.
Pertama, retributive justice, yang menekankan pada upaya memberikan hukumam pada pelanggar terhadap apa yang telah mereka lakukan. Kedua, berkaitan dengan distributive justiceyang menekankan pada rehabilitasi para pelanggar hukum.
Ketiga, restorative justice, yang menyamakan dengan prinsip restitusi. Eglash mengupayakan untuk menyahuti akibat-akibat Tindakan pelanggar dengan mengupayakan pada menjamin reparasi pada korban.
Membaca mandat Tim PPHAM maka dapat dikategorikan mereka bekerja pada kategori restorative justice, karena hanya ingin menyelesaikan pelanggaran HAM secara non-yudisial.
Menurut James Dignan (2005) terdapat lima kateori pendekatan restorative justice. Pertama, tindakan restitutif dan reparatif berbasis pengadilan. Kedua, program mediasi korban-pelaku.
Ketiga, inisiatif konferensi. Keempat, panel reparasi komunitas. Kelima, lingkaran penyembuhan atau hukuman. Karena keterbatasn ruang, penulis tidak mengeksplor pendekatan tersebut secara detail.
Singkatnya, kelima pendekatan tersebut berkaitan dengan upaya meluruskan kerugian yang disebabkan oleh suatu pelanggaran pada pihak korban dan fokus pada akuntabilitas pribadi pelaku terhadap mereka yang mungkin telah dirugikan oleh pelanggaran tersebut.
Praktik-praktik yang umumnya dianggap sebagai 'paling restoratif' (mediasi, konferensi, dan inisiatif berbasis lingkaran) juga berbagi komitmen pada proses pengambilan keputusan informal, inklusif, dan non-koersif, meskipun ini tidak berlaku untuk dewan reparatif berbasis pengadilan lainnya.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif fokus pada reparasi korban. Dalam hal ini, Tim PPHAM bertugas untuk memastikana reparasi korban dapat terjadi dengan baik sehingga memungkinkan mereka dapat melanjutkan hidup secara layak.
Sebagai kesimpulan, meskipun tidak menyelesaikan persoalan HAM masa lalu secara holistik, upaya pembentukan Tim PPHAM patut diapresiasi, terutama jika tim dapat bekerja untuk menjamin reparasi para korban HAM yang sejauh ini mengalami kesulitan-kesulitan hidup.
Dosen Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial
Universitas Islam Internasional Indonesia
Fellow GERIS Uni Eropa 2021-2022
INDONESIA sedang menanggung utang penyelesaian pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat masa lalu. Sejauh ini, persoalan tersebut tampaknya tidak menemukan jalan penyelesaian yang holistik. Akibatnya, para korban pelanggaran HAM dirundung keputusasaan, dan para pelanggar HAM masa lalu tidak tersentuh hukum.
Sejatinya, harapan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu pernah melambung tinggi yang diletakkan pada pundak Presiden Joko Widodo (Jokowi) ketika terpilih menjadi Presiden RI pada tahun 2014. Namun, hingga jabatan Presiden Jokowi pada periode ke- 2 akan selesai pada 2024, harapan tersebut tampaknya pupus.
Jokowi secara kasat mata lebih menaruh perhatian pada pembangunan infrastruktur yang masif daripada political will untuk menyelesaikan persoalan HAM sebagai hutang negara yang belum lunas. Di tengah mandeknya penyelesaian persoalan HAM berat yang menuntut para pelaku dibawa ke pengadilan, Presiden Jokowi berencana membentuk Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat masa lalu.
Memang, Presiden Jokowi secara resmi sudah menandatangani Keppres No 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat masa lalu (Tim PPHAM). Tim PPHAM beranggotakan Makarim Wibisono (ketua), Ifdhal Kasim, Suparman Marzuki, Apolo Safando, Mustafa Abubakar, Harkristuti Harkrisnowo, Asa’ad Said Ali, Kiki Syahnakri, Zainal Arifin Mochtar, Akhmad Muzakki, Komaruddin Hidayat dan Rahayu. Tim PPHAM juga memiliki tim pengarah dipimpin Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD.
Tim PPHAM ini dimandati guna mengungkap dan menganalisis pelanggaran HAM berat masa lalu berdasarkan data dan rekomendasi Komnas HAM tahun 2020. Artinya tugas menyangkut 12 kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan, yakni: Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989. Kemudian Peristiwa Trisakti Peristiwa Semanggi I dan II dan Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
Selanjutnya Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Gudang 1989-1998.
Merespons perkembangan isu ini, saya mencoba melihat persoalan ini dari sebuah perspektif yang lebih luas. Penulis berargumen bahwa penyelesaian secara non-yudisial hanya bersifat parsial, namun akan memberikan sejumlah manfaat bagi para korban dan menunjukkan political will pemerintah menyelesaikan masalah yang berlarut-larut ini.
Persoalan pelanggaran HAM di Tanah Air masih banyak menyisakan luka dan pengalaman traumatis pada korban dan tidak ada keberanian untuk membawa pelaku pelanggar HAM ke pengadilan. Pada tahun 2021-2022, penulis terpilih sebagai seorang fellow GERIS yang dibiayai Uni Eropa, yang memfokuskan kerja pada transitional justice and reconciliation di Indonesia.
Kunjungan lapangan di Indonesia, khususnya Jakarta dan Yogyakarta, dengan mengunjungi Komnas HAM, PB Nahdlatul Ulama, YLBHI, dan sejumlah organisasi penggerak perlindungan korban HAM yang tidak penulis sebutkan detail, dan juga diskusi intensif dengan kelompok korban HAM membenarkan pihak-pihak korban yang mengalami stigma, kekerasan, dan kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan dasar yang layak. Selain itu, penulis berpandangan bahwa gagasan keadilan transisi dan rekonsiliasi pernah mengemuka pada era reformasi 1998.
Namun, kuatnya anasir Orde Baru, terutama para pelaku yang diduga kuat melanggar HAM masih terlibat dalam sisten pemerintahan membuat proses keadilan transisi tidak pernah bisa diwujudkan di Tanah Air. Termasuk pelbagai masalah pelanggaran HAM di Papua yang terabaikan.
Menurut Malna (2015), sulitnya penegakan hukum atas pelanggaran HAM di Papua karena dua hal. Pertama, tidak ada upaya serius dari orang Papua untuk membawa kasus pelanggaran HAM sebagai inisiatif kolektif. Mereka cenderung bekerja secara terpisah dan akhirnya sulit bekerjasama untuk jangka panjang.
Kedua, sistem keadilan Papua kekurangan kapasitas dan jaksa serta penuntut tidak memiliki pemahaman memadai tentang norma HAM. Dengan demikian, terdapat satu keraguan yang rasional untuk melaksanakan pengadilan HAM yang legitimate. Singkatnya, menurut penulis, pelanggaran HAM belum bisa terselesaikan sejauh ini dan perlawanan politik masih berlangsung terhadap upaya pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu.
Kegagalan penegakan keadilan transisi paska orde baru menyebabkan tingginya angka kekerasan yang terjadi. Theo van den Broek (2022), menulis bahwa gerakan TNI dan TPNPB masih kerap melakukan kontak senjata di Puncak, Intan Jaya, Pengunungan Bintang dan Maybrat. Akibatnya, warga sipil banyak yang menjadi korban.
Selain itu, otsus dan pemekaran yang telah dimulai pada November 2021 tanpa mendengarkan suara dan tuntutan rakyat Papua membuat penolakan tegas atas keberlanjutan Otsus Papua. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pembentukan tiga provinsi baru di Papua terwujud setelah DPR mengesahkan pembentukan provinsi tersebut pada 30 Juni 2022.
Provinsi Papua Selatan dengan ibu kota Merauke, Provinsi Papua Tengah dengan ibu kota Nabire, dan Provinsi Papua Dataran Tinggi dengan ibu kota Jayawijaya. Sejak awal gagasan untuk membentuk tiga provinsi tambahan telah menghasilkan gelombang perlawanan dari orang Papua yang berjuang untuk kemerdekaan.
Terkait pembentukan Tim PPHAM, pada satu segi, ada pihak yang mendukung upaya penyelesaian secara non-yudisial ini dan ada juga yang menolak. Misalnya, Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Ahmad Taufan Damanik, menyatakan mekanisme non yudisial diperlukan.
Dia menyatakan bahwa “jika non-yudisial dijalankan, bukan berarti langkah yudisial ditutup. Itu pilihan yang paling realistis untuk mengatasi kemandekan menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu”.
Sementara pihak yang menolak berasal dari pihak korban dan para pejuang HAM tanah air. Misalnya, Usman Hamid, Direktur Ekesekutif Amnesty Internasional menyatakan bahwa pembentuk Tim PPHAM tidak sesuai dengan standar hukum internasional dan hanya fokus pada rehabilitasi korban.
Saya berpandangan bahwa pembentukan TIM PPHAM secara holistik memang tidak akan menjawab persoalan penyelesaian HAM berat di Tanah Air. Namun paling tidak ia menunjukkan upaya pemerintah untuk menyelesaikannya secara parsial, khususnya berpihak pada korban dan keluarganya.
Konsep non-yudisial, atau penyelesaian di luar hukum, pada dasarnya merupakan konsep restorative justice dalam penyelesaian masalah criminal. Istilah restorative justice merujuk pada Albert Eglash (1977) yang mengupayakan pembedaan antara tiga bentuk keadilan kriminal.
Pertama, retributive justice, yang menekankan pada upaya memberikan hukumam pada pelanggar terhadap apa yang telah mereka lakukan. Kedua, berkaitan dengan distributive justiceyang menekankan pada rehabilitasi para pelanggar hukum.
Ketiga, restorative justice, yang menyamakan dengan prinsip restitusi. Eglash mengupayakan untuk menyahuti akibat-akibat Tindakan pelanggar dengan mengupayakan pada menjamin reparasi pada korban.
Membaca mandat Tim PPHAM maka dapat dikategorikan mereka bekerja pada kategori restorative justice, karena hanya ingin menyelesaikan pelanggaran HAM secara non-yudisial.
Menurut James Dignan (2005) terdapat lima kateori pendekatan restorative justice. Pertama, tindakan restitutif dan reparatif berbasis pengadilan. Kedua, program mediasi korban-pelaku.
Ketiga, inisiatif konferensi. Keempat, panel reparasi komunitas. Kelima, lingkaran penyembuhan atau hukuman. Karena keterbatasn ruang, penulis tidak mengeksplor pendekatan tersebut secara detail.
Singkatnya, kelima pendekatan tersebut berkaitan dengan upaya meluruskan kerugian yang disebabkan oleh suatu pelanggaran pada pihak korban dan fokus pada akuntabilitas pribadi pelaku terhadap mereka yang mungkin telah dirugikan oleh pelanggaran tersebut.
Praktik-praktik yang umumnya dianggap sebagai 'paling restoratif' (mediasi, konferensi, dan inisiatif berbasis lingkaran) juga berbagi komitmen pada proses pengambilan keputusan informal, inklusif, dan non-koersif, meskipun ini tidak berlaku untuk dewan reparatif berbasis pengadilan lainnya.
Selain itu, pendekatan keadilan restoratif fokus pada reparasi korban. Dalam hal ini, Tim PPHAM bertugas untuk memastikana reparasi korban dapat terjadi dengan baik sehingga memungkinkan mereka dapat melanjutkan hidup secara layak.
Sebagai kesimpulan, meskipun tidak menyelesaikan persoalan HAM masa lalu secara holistik, upaya pembentukan Tim PPHAM patut diapresiasi, terutama jika tim dapat bekerja untuk menjamin reparasi para korban HAM yang sejauh ini mengalami kesulitan-kesulitan hidup.
(poe)