Penolakan Rumah Ibadah dan Absolutisme Beragama
Jum'at, 16 September 2022 - 15:24 WIB
Kelompok minoritas kerapkali mengalami diskriminasi, teror politik, sasaran kecaman dan penghukuman (condemnation), dan pencemaran nama baik (denigration), bahkan juga menjadi sasaran penindasan rasial-etnis yang lahir dari kecemasan budaya. Pola relasi sentimental antara minoritas-mayoritas terbangun oleh wujud eksistensial yang berujung pengucilan dan peminggiran di atas keragaman bangsa.
Karena itu, penolakan atas rencana pendirian gereja yang muncul dari kelompok tertentu dan diduga ada keterlibatan pejabat negara di dalamnya telah mencoreng kebinekaan bangsa. Jika ditelusuri lebih mendalam, pada kontestasi atas kelompok mayoritas-minoritas itu seringkali tersusupi oleh kalangan yang hendak membawa Indonesia pada tujuan tertentu.
Kehadiran negara dengan ketegasannya menjadi keniscayaan untuk keluar dalam kemelut persoalan yang tak pernah berakhir ini. Artinya, perangkat kenegaraan mulai dari paling bawah: lurah, camat, bupati/wali kota, gubernur, semuanya memiliki tugas yang sama untuk memastikan pemenuhan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan tanpa ada diskriminasi.
Negara tidak boleh berkompromi dengan kelompok tertentu yang berkeinginan untuk merusak tatanan kebangsaan. Negara harus hadir secara objektif dan tidak tunduk pada satu tekanan untuk diperalat atas kepentingan kelompok tertentu.
Kondisi kebebasan beragama semestinya mendapatkan jaminan utuh dari negara. Perlindungan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan ditempatkan pada nalar bernegara dan beragama yang moderat.
Hak beragama dan berkeyakinan di Republik ini melekat pada setiap individu dan negara tidak boleh ikut campur untuk mengurusi pilihan agama dan keyakinan warganya. Negara berkewajiban melindungi keberlangsungan hidup beragama yang damai, toleran, harmonis, dan jaminan kemerdekaan bagi setiap pemeluk agama.
Baca Juga: koran-sindo.com
Karena itu, penolakan atas rencana pendirian gereja yang muncul dari kelompok tertentu dan diduga ada keterlibatan pejabat negara di dalamnya telah mencoreng kebinekaan bangsa. Jika ditelusuri lebih mendalam, pada kontestasi atas kelompok mayoritas-minoritas itu seringkali tersusupi oleh kalangan yang hendak membawa Indonesia pada tujuan tertentu.
Kehadiran negara dengan ketegasannya menjadi keniscayaan untuk keluar dalam kemelut persoalan yang tak pernah berakhir ini. Artinya, perangkat kenegaraan mulai dari paling bawah: lurah, camat, bupati/wali kota, gubernur, semuanya memiliki tugas yang sama untuk memastikan pemenuhan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan tanpa ada diskriminasi.
Negara tidak boleh berkompromi dengan kelompok tertentu yang berkeinginan untuk merusak tatanan kebangsaan. Negara harus hadir secara objektif dan tidak tunduk pada satu tekanan untuk diperalat atas kepentingan kelompok tertentu.
Kondisi kebebasan beragama semestinya mendapatkan jaminan utuh dari negara. Perlindungan atas hak-hak beragama dan berkeyakinan ditempatkan pada nalar bernegara dan beragama yang moderat.
Hak beragama dan berkeyakinan di Republik ini melekat pada setiap individu dan negara tidak boleh ikut campur untuk mengurusi pilihan agama dan keyakinan warganya. Negara berkewajiban melindungi keberlangsungan hidup beragama yang damai, toleran, harmonis, dan jaminan kemerdekaan bagi setiap pemeluk agama.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda