Penolakan Rumah Ibadah dan Absolutisme Beragama
Jum'at, 16 September 2022 - 15:24 WIB
SKB 2 Menteri ini mengatur mulai dari tugas kepala daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), prosedur pendirian rumah ibadah, hingga penyelesaian perselisihan.
Artinya, segala persoalan yang muncul harus didasarkan pada regulasi dan pemahaman kontekstual atas realitas keberagamaan yang beragam. Akan tetapi, jika penolakan didasarkan pada pemahaman subjektif semata yang menunggalkan absolutisme beragama, maka hasilnya berbeda.
Dalam konteks ini, penolakan terhadap pendirian ibadah di Cilegon lebih didasarkan pada absolutisme beragama dengan argumentasi menjaga kearifan lokal. Hal yang dijadikan dasar adalah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, tanggal 20 Maret 1975, yang mengatur tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (Cilegon).
Harus diakui, fenomena beragama di Republik ini mengalami jalan terjal. Kedewasaan beragama kalah oleh kepentingan kejumawaan dalam beragama. Saat absolutisme beragama telah menjadi pegangan kuat, maka yang terjadi adalah intoleransi yang menafikan pelbagai kekayaan dan keragaman pendapat.
Realitas ini diperparah oleh keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup dan legal-formal. Padahal, dinamika perkembangan masyarakat terus berubah dan meluas. Dalam negara bangsa modern, yang menjadi perhatian adalah kesetaraan seluruh warga negara, apa pun suku dan agamanya. Tidak ada pembeda dan juga tidak ada kelas warga utama atau warga kelas bawah.
Kini umat beragama di Republik ini sebagian besar berada dalam lingkungan masyarakat multikultural. Pada titik ini, yang diperlukan adalah cara pandang yang memperhatikan pada teks, konstitusi negara, kearifan lokal, dan konsensus bersama.
Dalam konteks kearifan lokal, bukan memaksakan terhadap penyeragaman kondisi masa lalu dan masa kini. Kearifan lokal lebih menekankan pada pengetahuan integral atas budaya tertentu yang bertransformasi secara lintas budaya dan di dalamnya tercermin nilai-nilai (values) kebajikan.
Hal yang diperlukan adalah rekonstruksi berpikir untuk membuka mata hati akan keragaman umat beragama dengan nalar keagamaan yang objektif, humanis, dan toleran.
Kehadiran Negara
Polemik sebagaimana yang tergambar di atas menambah deretan luka kelam perjalanan kebangsaan di Republik ini, khususnya yang berkaitan dengan masalah keberagamaan. Derita dan konflik dalam masalah keberagamaan seringkali terjadi dalam lanskap kutub anak bangsa yang berada dalam ruang kontestasi mayoritas dan minoritas.
Artinya, segala persoalan yang muncul harus didasarkan pada regulasi dan pemahaman kontekstual atas realitas keberagamaan yang beragam. Akan tetapi, jika penolakan didasarkan pada pemahaman subjektif semata yang menunggalkan absolutisme beragama, maka hasilnya berbeda.
Dalam konteks ini, penolakan terhadap pendirian ibadah di Cilegon lebih didasarkan pada absolutisme beragama dengan argumentasi menjaga kearifan lokal. Hal yang dijadikan dasar adalah Surat Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975, tanggal 20 Maret 1975, yang mengatur tentang Penutupan Gereja/Tempat Jemaah bagi Agama Kristen dalam daerah Kabupaten Serang (Cilegon).
Harus diakui, fenomena beragama di Republik ini mengalami jalan terjal. Kedewasaan beragama kalah oleh kepentingan kejumawaan dalam beragama. Saat absolutisme beragama telah menjadi pegangan kuat, maka yang terjadi adalah intoleransi yang menafikan pelbagai kekayaan dan keragaman pendapat.
Realitas ini diperparah oleh keterpakuan tekstual yang cenderung tertutup dan legal-formal. Padahal, dinamika perkembangan masyarakat terus berubah dan meluas. Dalam negara bangsa modern, yang menjadi perhatian adalah kesetaraan seluruh warga negara, apa pun suku dan agamanya. Tidak ada pembeda dan juga tidak ada kelas warga utama atau warga kelas bawah.
Kini umat beragama di Republik ini sebagian besar berada dalam lingkungan masyarakat multikultural. Pada titik ini, yang diperlukan adalah cara pandang yang memperhatikan pada teks, konstitusi negara, kearifan lokal, dan konsensus bersama.
Dalam konteks kearifan lokal, bukan memaksakan terhadap penyeragaman kondisi masa lalu dan masa kini. Kearifan lokal lebih menekankan pada pengetahuan integral atas budaya tertentu yang bertransformasi secara lintas budaya dan di dalamnya tercermin nilai-nilai (values) kebajikan.
Hal yang diperlukan adalah rekonstruksi berpikir untuk membuka mata hati akan keragaman umat beragama dengan nalar keagamaan yang objektif, humanis, dan toleran.
Kehadiran Negara
Polemik sebagaimana yang tergambar di atas menambah deretan luka kelam perjalanan kebangsaan di Republik ini, khususnya yang berkaitan dengan masalah keberagamaan. Derita dan konflik dalam masalah keberagamaan seringkali terjadi dalam lanskap kutub anak bangsa yang berada dalam ruang kontestasi mayoritas dan minoritas.
Lihat Juga :
tulis komentar anda