Meski Belum Sinkron, Rekonstruksi Pembunuhan Brigadir J Perkuat Laporan Komnas HAM
Rabu, 31 Agustus 2022 - 19:46 WIB
JAKARTA - Komnas HAM mengakui hasil rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J di Jalan Duren Tiga, Jakarta Selatan pada Selasa, 30 Agustus 2022 kemarin, masih belum sinkron antara satu keterangan dengan keterangan lainnya. Hal itu menjadi catatan bagi penyidik.
“Ya memang masih belum sinkron satu dengan yang lain sehingga dicatatkan oleh penyidik. Kita juga misalnya berapa hal kita masih akan bertanya lagi persisnya seperti apa, karena misalnya tidak sama dengan konstruksi peristiwa yang kita susun, maka kita saling mencocokkan,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Menurut Taufan, poin yang penting dalam persidangan adalah seluruh konstruksi dari peristiwa pembunuhan Brigadir J itu terbukti, sehingga keadilan bagi korban dan keluarga bisa didapatkan. Apakah Komnas HAM mendapat barang bukti baru dari rekonstruksi, Taufan mengaku mendapatkan detail-detail kecil dari peristiwa itu. Seperti misalnya pistol jatuh yang tidak diketahui sebelumnya, tapi intinya secara umum Komnas HAM sudah mengetahui. “Contoh ada pistol jatuh gitu kan enggak pernah tahu sebelumnya. Tapi kalau secara umum sama sudah tahu,” ujarnya.
Terkait adanya pandangan berbeda antartersangka dalam rekonstruksi, Taufan mengakui itu terjadi pada adegan penembakan di rumah Duren Tiga. Menurut Taufan, itu hal biasa dan sudah menjadi catatan bagi penyidik, yang hasilnya akan diserahkan ke Kejaksaan. ”Nanti di pengadilan bisa terbantahkan. Dia yang punya wewenang sekarang, tapi harus dengan satu keyakinan jangan nanti dijadikan tuntutan oleh jaksa di pengadilan misalnya terbantahkan,” terang Taufan.
Yang pasti, kata Taufan, jika pernyataan tersangka tidak bisa terbukti maka dapat memberatkan hukumannya. Dia mencontohkan pernyataan Richard Eliezer atau Bharada E yang mengatakan bukan hanya dia yang menembak Yosua tapi juga ada Ferdy Sambo (FS), sementara yang satunya membantah dan mengaku hanya memerintah, maka di situ terjadi perbedaan yang substantif.
“Ya silakan masing-masing pihak berbeda mereka dalam rekonstruksi, nanti di pengadilan juga mereka juga punya hak untuk membantah. Misalnya kan membuat keterangan yang lain, tapi hakim akan memutuskan berdasarkan tuntutan yang dibuat oleh jaksa. Dari mana tuntutan oleh jaksa itu? Dari penyidikan polisi. Maka memperkuat penyidikan dan itu menjadi poin yang paling penting supaya dalam persidangan nanti seluruh konstruksi oleh penyidik itu memang diterima oleh hakim,” paparnya.
Adapun perbedaan posisi saat rekonstruksi, Taufan menilai itu minor, dan soal rekonstruksi ini Komnas HAM menyerahkan pada penyidik, karena Komnas HAM sudah memberikan semua masukan. Dan adanya penyangkalan-penyangkalan tersangka, itu harus dihormati sebagai haknya.
Intinya, Taufan menambahkan, rekonstruksi ini lebih menguatkan laporan Komnas HAM, dan membuat laporan Komnas HAM menjadi lebih detail. “Lebih menguatkan walau ada beberapa yang kita tidak tahu, lebih detail,” tandasnya.
“Ya memang masih belum sinkron satu dengan yang lain sehingga dicatatkan oleh penyidik. Kita juga misalnya berapa hal kita masih akan bertanya lagi persisnya seperti apa, karena misalnya tidak sama dengan konstruksi peristiwa yang kita susun, maka kita saling mencocokkan,” kata Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (31/8/2022).
Menurut Taufan, poin yang penting dalam persidangan adalah seluruh konstruksi dari peristiwa pembunuhan Brigadir J itu terbukti, sehingga keadilan bagi korban dan keluarga bisa didapatkan. Apakah Komnas HAM mendapat barang bukti baru dari rekonstruksi, Taufan mengaku mendapatkan detail-detail kecil dari peristiwa itu. Seperti misalnya pistol jatuh yang tidak diketahui sebelumnya, tapi intinya secara umum Komnas HAM sudah mengetahui. “Contoh ada pistol jatuh gitu kan enggak pernah tahu sebelumnya. Tapi kalau secara umum sama sudah tahu,” ujarnya.
Terkait adanya pandangan berbeda antartersangka dalam rekonstruksi, Taufan mengakui itu terjadi pada adegan penembakan di rumah Duren Tiga. Menurut Taufan, itu hal biasa dan sudah menjadi catatan bagi penyidik, yang hasilnya akan diserahkan ke Kejaksaan. ”Nanti di pengadilan bisa terbantahkan. Dia yang punya wewenang sekarang, tapi harus dengan satu keyakinan jangan nanti dijadikan tuntutan oleh jaksa di pengadilan misalnya terbantahkan,” terang Taufan.
Yang pasti, kata Taufan, jika pernyataan tersangka tidak bisa terbukti maka dapat memberatkan hukumannya. Dia mencontohkan pernyataan Richard Eliezer atau Bharada E yang mengatakan bukan hanya dia yang menembak Yosua tapi juga ada Ferdy Sambo (FS), sementara yang satunya membantah dan mengaku hanya memerintah, maka di situ terjadi perbedaan yang substantif.
“Ya silakan masing-masing pihak berbeda mereka dalam rekonstruksi, nanti di pengadilan juga mereka juga punya hak untuk membantah. Misalnya kan membuat keterangan yang lain, tapi hakim akan memutuskan berdasarkan tuntutan yang dibuat oleh jaksa. Dari mana tuntutan oleh jaksa itu? Dari penyidikan polisi. Maka memperkuat penyidikan dan itu menjadi poin yang paling penting supaya dalam persidangan nanti seluruh konstruksi oleh penyidik itu memang diterima oleh hakim,” paparnya.
Adapun perbedaan posisi saat rekonstruksi, Taufan menilai itu minor, dan soal rekonstruksi ini Komnas HAM menyerahkan pada penyidik, karena Komnas HAM sudah memberikan semua masukan. Dan adanya penyangkalan-penyangkalan tersangka, itu harus dihormati sebagai haknya.
Intinya, Taufan menambahkan, rekonstruksi ini lebih menguatkan laporan Komnas HAM, dan membuat laporan Komnas HAM menjadi lebih detail. “Lebih menguatkan walau ada beberapa yang kita tidak tahu, lebih detail,” tandasnya.
(cip)
tulis komentar anda