KPA Minta Hentikan Pembahasan RUU Cipta Kerja
Senin, 27 April 2020 - 10:55 WIB
JAKARTA - Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) meminta pemerintah menghentikan seluruh pembahasan Omnibuw Law atau RUU Cipta Kerja (Ciptaker). Alasannya, rancangan undang-undang (RUU) itu juga merugikan nasib petani.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, ada tiga faktor utama yang saling terkait dalam pembangunan ekonomi, yakni tanah, modal, dan tenaga kerja. "Pembahasan RUU ini tetap menjadi ancaman besar bagi petani, buruh tani, buruh kebun, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa maupun kota," ujarnya di Jakarta, Senin (27/4/2020).
Dalam surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), KPA menyatakan perekonomian harus disusun atas usaha bersama (koperasi), kekayaan alam, dan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (PA) itu menempatkan tanah sebagai sarana produksi bagi rakyat, khususnya petani, peladang tradisional, dan nelayan. Negara mempunyai kewajiban menyediakan modal, mengajarkan teknologi tepat guna, dan membangun usaha modern yang dimiliki bersama-sama dalam wujud koperasi. ( ).
Dewi menjabarkan tiga poin dalam RUU yang akan merugikan sektor pertanian dan petani. Pertama, RUU itu hendak memangkas proses pengadaan tanah untuk kawasan nonpertanian. Nantinya, proses perizinan akan dipersingkat untuk konversi tanah pertanian ke non-pertanian.
Kedua, perusahaan raksasa akan memperoleh hak guna usaha (HGU) untuk masa 90 tahun sejak permohonan awal. KPA menganggap ini suatu kemunduran besar. Dalam UU PA, HGU itu paling lama 25 tahun.
"RUU Ciptaker sesungguhnya lebih cilaka dari UU Agraria Kolonial yang 'hanya' memberi 75 tahun kepada maskapai-maskapai perkebunan Belanda. Pemerintah juga terbukti mengabaikan putusan MK terhadap UU Penanaman Modal yang telah membatalkan 90 tahun atas HGU," terang Dewi.
Ketiga, RUU Ciptaker akan memperkuat UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jadi definisi kepentingan umum bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur. "Tetapi diperluas lagi mencakup kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Tak dapat dipungkiri, RUU Cipta Kerja bersifat rakus tanah. Ini semakin mempermudah terjadinya penggusuran dan pembebasan lahan secara sepihak atas nama pembangunan," tutur Dewi.
KPA menilai, RUU Ciptaker akan memperparah ketimpangan struktur agraria di Indonesia. Saat ini, 68 persen asset kekayaan nasional, khususnya yang berupa tanah dikuasai 1 persen penduduk. "Artinya, kekayaan nasional dikuasai segelintir kelompok saja. RUU hanya akan memperparah ketimpangan ekonomi bagi rakyat kecil," pungkasnya.
Sekjen KPA Dewi Kartika mengatakan, ada tiga faktor utama yang saling terkait dalam pembangunan ekonomi, yakni tanah, modal, dan tenaga kerja. "Pembahasan RUU ini tetap menjadi ancaman besar bagi petani, buruh tani, buruh kebun, masyarakat adat, nelayan, dan masyarakat miskin di desa maupun kota," ujarnya di Jakarta, Senin (27/4/2020).
Dalam surat terbuka untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi), KPA menyatakan perekonomian harus disusun atas usaha bersama (koperasi), kekayaan alam, dan cabang-cabang produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
Dalam UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (PA) itu menempatkan tanah sebagai sarana produksi bagi rakyat, khususnya petani, peladang tradisional, dan nelayan. Negara mempunyai kewajiban menyediakan modal, mengajarkan teknologi tepat guna, dan membangun usaha modern yang dimiliki bersama-sama dalam wujud koperasi. ( ).
Dewi menjabarkan tiga poin dalam RUU yang akan merugikan sektor pertanian dan petani. Pertama, RUU itu hendak memangkas proses pengadaan tanah untuk kawasan nonpertanian. Nantinya, proses perizinan akan dipersingkat untuk konversi tanah pertanian ke non-pertanian.
Kedua, perusahaan raksasa akan memperoleh hak guna usaha (HGU) untuk masa 90 tahun sejak permohonan awal. KPA menganggap ini suatu kemunduran besar. Dalam UU PA, HGU itu paling lama 25 tahun.
"RUU Ciptaker sesungguhnya lebih cilaka dari UU Agraria Kolonial yang 'hanya' memberi 75 tahun kepada maskapai-maskapai perkebunan Belanda. Pemerintah juga terbukti mengabaikan putusan MK terhadap UU Penanaman Modal yang telah membatalkan 90 tahun atas HGU," terang Dewi.
Ketiga, RUU Ciptaker akan memperkuat UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum. Jadi definisi kepentingan umum bukan hanya untuk pembangunan infrastruktur. "Tetapi diperluas lagi mencakup kepentingan investor tambang, pariwisata dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Tak dapat dipungkiri, RUU Cipta Kerja bersifat rakus tanah. Ini semakin mempermudah terjadinya penggusuran dan pembebasan lahan secara sepihak atas nama pembangunan," tutur Dewi.
KPA menilai, RUU Ciptaker akan memperparah ketimpangan struktur agraria di Indonesia. Saat ini, 68 persen asset kekayaan nasional, khususnya yang berupa tanah dikuasai 1 persen penduduk. "Artinya, kekayaan nasional dikuasai segelintir kelompok saja. RUU hanya akan memperparah ketimpangan ekonomi bagi rakyat kecil," pungkasnya.
(zik)
tulis komentar anda