Problematika Penerapan Kurikulum Merdeka

Sabtu, 06 Agustus 2022 - 20:49 WIB
Jika mengacu pada data Kemendikbudristek tersebut, artinya hanya sekitar 40% saja guru yang dapat mempelajari Kurikulum Merdeka tanpa mengalami kendala. Selebihnya, butuh sentuhan dari pihak lain. Dinas-dinas pendidikan mungkin dapat mengambil peran di sini. Berbagai cara dan strategi harus dibuat untuk dapat memastikan seluruh guru di wilayahnya telah mempelajari kurikulum baru itu dengan baik.

Namun hal itu tidak mudah. Sebab sangat mungkin ada daerah yang kurang peduli untuk menggerakkan dan memfasilitasi para tenaga pendidiknya untuk belajar. Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah untuk memajukan pendidikan di daerahnya sangat dibutuhkan di sini. Selama ini kita melihat, ada banyak daerah yang tidak serius meningkatkan kualitas pendidikan daerahnya. Harus diakui, ini menjadi salah satu efek buruk otonomi daerah.

Hal lain yang perlu disoroti dari penerapan Kurikulum Merdeka adalah adanya kewajiban bagi sekolah untuk melaksanakan proyek penguatan profil pelajar Pancasila. Untuk SD, sebanyak 20% dari jumlah beban jam belajar, wajib dialokasikan untuk tugas proyek. Untuk tingkat SMP meningkat lagi menjadi 25%, Dan, SMA 30%. Sementara di Kurikulum 2013 tidak ada kewajiban untuk melaksanakannya.

Sesungguhnya, kewajiban proyek ini, jika dilaksanakan dengan perencanaan dan eksekusi yang tepat tentunya menjadi salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kemandirian, kemampuan bernalar kritis, dan kemampuan berkolaborasi anak didik. Namun, lagi-lagi, masalahnya, sudah siapkah guru-gurunya? Mungkin bagi sebagian kecil guru, sudah terbiasa dengan penugasan proyek, tetapi bagi yang lain, ini masih sesuatu yang teramat baru.

Pemerintah harus menyadari hal ini. Sebab tidak mudah mengubah pola pikir guru serta mengharapkan mereka dapat keluar dari zona nyamannya, dari yang sebelumnya tidak pernah melaksanakan penugasan proyek menjadi sebuah keharusan. Kita sudah melihat pada pelaksanaan kurikulum-kurikulum sebelumnya, cara mengajar kebanyakan guru, apa pun kurikulumnnya, tidak banyak berubah. Baik itu Kurikulum 2013, KTSP, KBK, bahkan CBSA.

Rendahnya budaya literasi kita mungkin menjadi salah satu penyebabnya. Saat ini, membaca belumlah menjadi sebuah tradisi bagi banyak orang di negeri ini, tak terkecuali para guru. Maka sesungguhnya, sebelum mengubah kurikulum, pemerintah seharusnya terlebih dulu mengatasi masalah pelik ini. Sebab satu hal yang perlu kita sadari, kemampuan seseorang mengubah mindset-nya tak terlepas dari tingkat literasi seseorang.

Sebab yang paling mendasar untuk diperhatikan dari penerapan kurikulum baru ini adalah kesiapan para guru untuk mengubah paradigma tentang praktik mengajar di kelas. Guru dituntut dapat berpikir dan bertindak merdeka untuk melaksanakan pembelajaran yang berpihak pada murid, sebagaimana diamanatkan kurikulum tersebut. Sehingga kodrat, minat, bakat, dan potensi peserta didik yang beragam dapat bertumbuh secara optimal.

Sebagaimana disinggung di awal, bahwa guru adalah pihak yang paling berperan untuk melaksanakan amanat sebuah kurikulum, maka semestinya, yang pertama sekali dipersiapkan adalah guru, bukan kurikulum. Pemerintah seharusnya terlebih dahulu meningkatkan kualitas pedagogis guru. Tidak dengan cara-cara kilat seperti selama ini lazim dikerjakan. Tetapi dengan cara dan pendekatan yang lebih lembut, tidak tergesa-gesa, dan berkelanjutan.

Pola pendidikan dan latihan (diklat) seperti pada Program Pendidikan Guru Penggerak mungkin dapat diadopsi. Secara bertahap namun berkelanjutan guru di-diklat untuk memperkenalkan strategi-strategi pembelajaran yang berpihak pada murid. Hingga strategi itu menjadi sebuah kebiasaan. Ketika mayoritas guru dianggap sudah siap, barulah Kurikulum Merdeka diperkenalkan. Bukan dibalik seperti yang saat ini terjadi.

Sudah terlalu banyak diklat yang dilaksanakan oleh pemerintah selama ini yang tidak membuahkan hasil maksimal. Sebutlah diklat sertifikasi guru. Kecil sekali manfaatnya untuk meningkatkan kemampuan pedagogis guru. Kesejahteraan guru naik, ya. Tapi tidak dengan kemampuan mengajar. Tunjangan profesi yang selama ini diterima justru membuat banyak guru seperti kurang bergairah mengajar dan malas mengembangkan kompetensinya.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More