Problematika Penerapan Kurikulum Merdeka

Sabtu, 06 Agustus 2022 - 20:49 WIB
Hermanto Purba (Foto: Ist)
Hermanto Purba

Guru Bahasa Inggris di SMPN 2 Pakkat Humbang Hasundutan, Calon Guru Penggerak

UNTUK kesekian kalinya kurikulum pendidikan berganti. Kurikulum 2013 secara berangsur akan segera pensiun. Sekalipun namanya Kurikulum 2013, namun faktanya, baru di tahun 2018 kurikulum itu diterapkan di seluruh sekolah. Artinya, ada sebagian sekolah yang baru kurang lebih tiga tahun menggunakannya secara penuh, kurikulum sudah berganti lagi. Rencananya, pada 2024 seluruh sekolah akan menerapkan Kurikulum Merdeka.

Seberapa perlu kurikulum berganti? Tergantung kesiapan para pendidiknya. Sebab guru adalah pihak yang berada di garis terdepan untuk melaksanakan amanat kurikulum tersebut. Guru adalah pemeran utamanya. Sebaik-baiknya struktur dan konsep sebuah kurikulum, jika pemeran utamanya tidak siap, maka tetap saja, akan menjadi sebuah kesia-siaan. Kualitas pendidikan akan sulit terdongkrak tanpa didukung oleh guru-guru yang berkualitas.

Bercermin dari pelaksanaan Kurikulum 2013, misalnya. Kurikulum tersebut menuntut guru untuk melaksanakan pembelajaran yang menarik dan menyenangkan. Guru dituntut harus kreatif untuk dapat menyajikan pembelajaran dengan berbagai macam metode. Namun apa yang terjadi? Masih banyak guru yang mengajar dengan metode klasik lintas kurikulum: metode ceramah. Sebuah metode yang masih jadi pilihan utama kebanyakan guru hingga kini.



Dan, terbukti, selama hampir sembilan tahun pelaksanaan Kurikulum 2013, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, kualitas pendidikan Indonesia tidak mengalami kemajuan berarti. Lantas, apakah Kurikulum Merdeka akan mengalami nasib yang sama? Masih terlalu dini untuk menyimpulkannya. Biarlah kurikulum itu terus berproses dan diterapkan di sekolah-sekolah dengan kita senantiasa memberikan masukan kritis kepada pemerintah tentunya.

Perbedaan Dua Kurikulum

Ada banyak perbedaan dalam pelaksanaan Kurikulum Merdeka dan Kurikulum 2013. Dalam hal penyosialisasiannya, misalnya, pada saat Kurikulum 2013, guru-guru difasilitasi dengan pelatihan dan pendampingan berjenjang oleh pemerintah. Namun tidak pada Kurikulum Merdeka. Tidak ada pelatihan semacam itu. Namun guru dituntut untuk mempelajarinya secara mandiri lewat platform Merdeka Mengajar yang telah disediakan pemerintah.

Pada tahap awal, tahap pengenalan kurikulum, persoalan besar sesungguhnya telah muncul. Berdasarkan data terbaru yang dirilis oleh Kemendikbudristek, ada 60% guru yang masih terbatas menguasai teknologi. Hal itu terbukti dari betapa tidak efektifnya pembelajaran jarak jauh dua tahun terakhir. Pembelajaran daring berjalan seadanya saja. Akibatnya, anak-anak mengalami learning loss yang cukup dalam.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More