Benih Lobster, Dibiarkan atau Dikelola?

Senin, 29 Juni 2020 - 11:07 WIB
Benih lobster. Foto/dok
Tb Ardi Januar

Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan

Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kembali membuka izin penangkapan benih bening lobster (BBL). Tak hanya izin tangkap, Edhy juga memperbolehkan masyarakat untuk membudidaya dan mengekspor benih bening lobster . Semua itu tertuang dalam PermenKP No. 12 Tahun 2020.



Kebijakan Menteri Edhy ini menjadi buah bibir. Baik di media massa, maupun sosial media. Ada yang pro, ada yang kontra. Itu hal biasa dalam menyikapi kebijakan di iklim demokrasi. Namun sayangnya, banyak pihak yang memberikan tanggapan tanpa memiliki pengetahuan dan pemahaman lengkap atas persoalan yang menjadi dasar kebijakan tersebut.

Sebelum mengurai hal teknis, izinkan saya menjelaskan terlebih dahulu kronologis persoalan hingga lahirnya kebijakan ekspor benih bening lobster. Mari menetralkan isi kepala kita, serta melihat persoalan secara jernih dan objektif. (Baca: Edhy Prabowo Lapor Jokowi untuk Eskpor Benih Lobster)

Begini, sejak puluhan tahun lalu, ada ribuan nelayan kecil yang menggantungkan hajat hidupnya dari benih bening lobster. Siang malam mereka pergi ke laut untuk memberi makan keluarga mereka. Dari usaha berburu benih bening lobster, mereka bisa menguliahkan anak, membangun rumah menjadi lebih layak, hingga pergi haji ke Tanah Suci. Benih bening lobster adalah karunia besar bagi mereka.

Namun, kondisi hidup mereka hancur seketika pada saat Menteri Kelautan dan Perikanan yang kala itu dijabat oleh Ibu Susi Pudjiastuti menerbitkan PermenKP No. 56 Tahun 2016, yang isinya melarang masyarakat untuk menangkap benih bening lobster. Bahkan, untuk sekadar membudidaya pun tidak boleh.

Alasan utamanya, khawatir salah satu biota laut itu punah tak bersisa. Padahal, menurut para ahli, tingkat keberlangsungan hidup (survival rate) benih bening lobster sangat rendah. Dari sepuluh ribu yang ditetaskan, hanya satu ekor saja yang akan tumbuh hingga besar. Selebihnya akan dimakan predator dan mati karena faktor alam.

Entah peraturan yang diterbitkan Ibu Susi tersebut berdasar kajian atau tidak, yang pasti kita tidak pernah melihat data kajian ilmiah yang mendasari lahirnya kebijakan larangan tersebut. Padahal seharusnya, setiap kebijakan harus didasari data ilmiah. Tak boleh hanya karena dugaan atau berbasis prasangka subjektif.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More