Benih Lobster, Dibiarkan atau Dikelola?
loading...
A
A
A
Tb Ardi Januar
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kembali membuka izin penangkapan benih bening lobster (BBL). Tak hanya izin tangkap, Edhy juga memperbolehkan masyarakat untuk membudidaya dan mengekspor benih bening lobster . Semua itu tertuang dalam PermenKP No. 12 Tahun 2020.
Kebijakan Menteri Edhy ini menjadi buah bibir. Baik di media massa, maupun sosial media. Ada yang pro, ada yang kontra. Itu hal biasa dalam menyikapi kebijakan di iklim demokrasi. Namun sayangnya, banyak pihak yang memberikan tanggapan tanpa memiliki pengetahuan dan pemahaman lengkap atas persoalan yang menjadi dasar kebijakan tersebut.
Sebelum mengurai hal teknis, izinkan saya menjelaskan terlebih dahulu kronologis persoalan hingga lahirnya kebijakan ekspor benih bening lobster. Mari menetralkan isi kepala kita, serta melihat persoalan secara jernih dan objektif. (Baca: Edhy Prabowo Lapor Jokowi untuk Eskpor Benih Lobster)
Begini, sejak puluhan tahun lalu, ada ribuan nelayan kecil yang menggantungkan hajat hidupnya dari benih bening lobster. Siang malam mereka pergi ke laut untuk memberi makan keluarga mereka. Dari usaha berburu benih bening lobster, mereka bisa menguliahkan anak, membangun rumah menjadi lebih layak, hingga pergi haji ke Tanah Suci. Benih bening lobster adalah karunia besar bagi mereka.
Namun, kondisi hidup mereka hancur seketika pada saat Menteri Kelautan dan Perikanan yang kala itu dijabat oleh Ibu Susi Pudjiastuti menerbitkan PermenKP No. 56 Tahun 2016, yang isinya melarang masyarakat untuk menangkap benih bening lobster. Bahkan, untuk sekadar membudidaya pun tidak boleh.
Alasan utamanya, khawatir salah satu biota laut itu punah tak bersisa. Padahal, menurut para ahli, tingkat keberlangsungan hidup (survival rate) benih bening lobster sangat rendah. Dari sepuluh ribu yang ditetaskan, hanya satu ekor saja yang akan tumbuh hingga besar. Selebihnya akan dimakan predator dan mati karena faktor alam.
Entah peraturan yang diterbitkan Ibu Susi tersebut berdasar kajian atau tidak, yang pasti kita tidak pernah melihat data kajian ilmiah yang mendasari lahirnya kebijakan larangan tersebut. Padahal seharusnya, setiap kebijakan harus didasari data ilmiah. Tak boleh hanya karena dugaan atau berbasis prasangka subjektif.
Pasca-diterbitkannya larangan tersebut, nelayan yang biasa berburu benih bening lobster bingung menghadapi hidup. Bila tak menangkap, keluarganya tak makan, bila menangkap ditangkap aparat. Benih bening lobster seperti narkoba kala itu. Imbasnya konflik sosial terjadi. Polsek Cisolok di Sukabumi dirusak massa, Polsek Bayah di Banten juga diserang hanya karena ada penangkapan kepada nelayan pemburu benih bening lobster. Belum lagi bentrokan berdarah antara aparat dan nelayan di Nusa Tenggara Barat. (Baca juga: Manfaat Tidur Siang, Bisa Membantu Menurunkan Berat Badan?)
Di sisi lain, penyelundupan besar-besaran tetap terjadi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah merilis, negara mengalami kerugian hampir satu triliun rupiah akibat penyelundupan benih bening lobster. Itu yang terdeteksi. Bisa jadi total kerugian aslinya jauh lebih besar. Akibat praktik ilegal ini, nelayan kecil tidak dapat nilai ekonomi, negara tidak mendapat pemasukan, dan jumlah benih bening lobster di laut tetap berkurang karena dicuri.
Atas dasar berbagai kejadian tersebut, Menteri Edhy memilih untuk menyelamatkan ribuan nelayan dengan melakukan pengaturan pengendalian sumber daya benih bening lobster melalui kebijakan yang memberikan ruang dan kesempatan bagi para nelayan untuk menangkap benih bening lobster.
Edhy Datang, Nelayan Senang
Sejak dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada Oktober 2019, Edhy Prabowo langsung tancap gas belanja masalah. Pesan Presiden Joko Widodo kepada Edhy yang utama adalah memperbaiki komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat kelautan dan perikanan. Baik itu nelayan, pembudidaya, hingga pelaku usaha. Hasilnya, banyak nelayan yang mengeluh dan menyuarakan agar Permen 56 dicabut. Suara tersebut hampir seragam di berbagai tempat yang dikunjungi Edhy.
Lantas, apakah Edhy langsung mencabut Permen 56 tersebut? Tidak. Edhy langsung memerintahkan jajaran internal KKP untuk mengkaji secara dalam persoalan tersebut. Tak hanya itu, Edhy juga membentuk kelompok eksternal bernama Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2). Effendi Ghazali selaku pakar komunikasi ditunjuk mengkoordinir lembaga ini. Selebihnya, lembaga ini berisikan pakar kelautan perikanan, pakar hukum, pakar lingkungan, hingga perwakilan dunia usaha. (Baca juga: Resmi, KKP Akan Buka Kembali Ekspor Benih Lobster)
Sejak dibentuk, KP2 melakukan kajian sangat intensif dan juga melakukan kunjungan ke berbagai tempat. Berkali-kali juga KP2 menggelar diskusi terbuka dengan melibatkan sebanyak-banyaknya publik dan diliput media massa. Berdasarkan hasil riset KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) merilis potensi benih bening lobster pasir dan lobster mutiara sebesar 278.950.000 di Perairan Indonesia.
Tak hanya melalui penelitian dan diskusi terbuka, Edhy Prabowo dan sejumlah pakar juga melakukan studi banding khusus untuk lobster hingga ke Tasmania, Australia, pada 26 Februari 2020. Hasilnya, potensi jumlah benih bening lobster di lautan Indonesia ternyata jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Berdasarkan penuturan para pakar dan ahli di Universitas Tasmania bahwa dalam setahun lobster dapat bertelur sebanyak empat kali.
Setelah penelitian dan kajian sempurna, Edhy Prabowo akhirnya menerbitkan PermenKP No. 12 Tahun 2020 yang isinya mengizinkan penangkapan benih bening lobster, budidaya lobster dan eskpor benih bening lobster. Keputusan Edhy ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi bahwa polemik lobster ini harus ada nilai ekonomi untuk nelayan, harus ada pemasukan untuk negara, dan tetap menjaga kelestarian lobster di alam.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2 berbunyi; “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jelas artinya, bahwa kekayaan negara tidak hanya dijaga, tetapi juga harus mampu dikelola untuk kemakmuran bersama. PermenKP No. 12 Tahun 2020 yang diterbitkan Edhy Prabowo adalah implementasi dari mandat konstitusi tersebut. (Lihat videonya: Lima Rumah Warga Terseret Longsor di Palopo)
Jika dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun ke depan lobster punah di lautan Indonesia, sejarah akan mencatat bahwa Edhy Prabowo adalah Menteri yang gagal menjaga sumber daya alam. Namun, bila dalam kurun waktu yang sama lobster masih ada, budidaya lobster meningkat, roda ekonomi bergerak, lapangan kerja tercipta dan pemasukan negara bertambah, kita semua harus mengakui bahwa Edhy adalah Menteri yang berhasil mengangkat harkat dan martabat nelayan, serta Menteri yang berjasa terhadap peradaban bangsa. Narasi lobster akan punah hanyalah ketakutan yang tidak berdasar dan tidak akademis.
Ini adalah catatan awal tentang asbabun nuzul terbitnya PermenKP No. 12 Tahun 2020. Untuk teknis regulasi, hitung-hitungan PNBP, potensi pendapatan negara dan lain sebagainya, kita bisa diskusikan di lain kesempatan.
Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan
Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kembali membuka izin penangkapan benih bening lobster (BBL). Tak hanya izin tangkap, Edhy juga memperbolehkan masyarakat untuk membudidaya dan mengekspor benih bening lobster . Semua itu tertuang dalam PermenKP No. 12 Tahun 2020.
Kebijakan Menteri Edhy ini menjadi buah bibir. Baik di media massa, maupun sosial media. Ada yang pro, ada yang kontra. Itu hal biasa dalam menyikapi kebijakan di iklim demokrasi. Namun sayangnya, banyak pihak yang memberikan tanggapan tanpa memiliki pengetahuan dan pemahaman lengkap atas persoalan yang menjadi dasar kebijakan tersebut.
Sebelum mengurai hal teknis, izinkan saya menjelaskan terlebih dahulu kronologis persoalan hingga lahirnya kebijakan ekspor benih bening lobster. Mari menetralkan isi kepala kita, serta melihat persoalan secara jernih dan objektif. (Baca: Edhy Prabowo Lapor Jokowi untuk Eskpor Benih Lobster)
Begini, sejak puluhan tahun lalu, ada ribuan nelayan kecil yang menggantungkan hajat hidupnya dari benih bening lobster. Siang malam mereka pergi ke laut untuk memberi makan keluarga mereka. Dari usaha berburu benih bening lobster, mereka bisa menguliahkan anak, membangun rumah menjadi lebih layak, hingga pergi haji ke Tanah Suci. Benih bening lobster adalah karunia besar bagi mereka.
Namun, kondisi hidup mereka hancur seketika pada saat Menteri Kelautan dan Perikanan yang kala itu dijabat oleh Ibu Susi Pudjiastuti menerbitkan PermenKP No. 56 Tahun 2016, yang isinya melarang masyarakat untuk menangkap benih bening lobster. Bahkan, untuk sekadar membudidaya pun tidak boleh.
Alasan utamanya, khawatir salah satu biota laut itu punah tak bersisa. Padahal, menurut para ahli, tingkat keberlangsungan hidup (survival rate) benih bening lobster sangat rendah. Dari sepuluh ribu yang ditetaskan, hanya satu ekor saja yang akan tumbuh hingga besar. Selebihnya akan dimakan predator dan mati karena faktor alam.
Entah peraturan yang diterbitkan Ibu Susi tersebut berdasar kajian atau tidak, yang pasti kita tidak pernah melihat data kajian ilmiah yang mendasari lahirnya kebijakan larangan tersebut. Padahal seharusnya, setiap kebijakan harus didasari data ilmiah. Tak boleh hanya karena dugaan atau berbasis prasangka subjektif.
Pasca-diterbitkannya larangan tersebut, nelayan yang biasa berburu benih bening lobster bingung menghadapi hidup. Bila tak menangkap, keluarganya tak makan, bila menangkap ditangkap aparat. Benih bening lobster seperti narkoba kala itu. Imbasnya konflik sosial terjadi. Polsek Cisolok di Sukabumi dirusak massa, Polsek Bayah di Banten juga diserang hanya karena ada penangkapan kepada nelayan pemburu benih bening lobster. Belum lagi bentrokan berdarah antara aparat dan nelayan di Nusa Tenggara Barat. (Baca juga: Manfaat Tidur Siang, Bisa Membantu Menurunkan Berat Badan?)
Di sisi lain, penyelundupan besar-besaran tetap terjadi. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pernah merilis, negara mengalami kerugian hampir satu triliun rupiah akibat penyelundupan benih bening lobster. Itu yang terdeteksi. Bisa jadi total kerugian aslinya jauh lebih besar. Akibat praktik ilegal ini, nelayan kecil tidak dapat nilai ekonomi, negara tidak mendapat pemasukan, dan jumlah benih bening lobster di laut tetap berkurang karena dicuri.
Atas dasar berbagai kejadian tersebut, Menteri Edhy memilih untuk menyelamatkan ribuan nelayan dengan melakukan pengaturan pengendalian sumber daya benih bening lobster melalui kebijakan yang memberikan ruang dan kesempatan bagi para nelayan untuk menangkap benih bening lobster.
Edhy Datang, Nelayan Senang
Sejak dilantik menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan pada Oktober 2019, Edhy Prabowo langsung tancap gas belanja masalah. Pesan Presiden Joko Widodo kepada Edhy yang utama adalah memperbaiki komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat kelautan dan perikanan. Baik itu nelayan, pembudidaya, hingga pelaku usaha. Hasilnya, banyak nelayan yang mengeluh dan menyuarakan agar Permen 56 dicabut. Suara tersebut hampir seragam di berbagai tempat yang dikunjungi Edhy.
Lantas, apakah Edhy langsung mencabut Permen 56 tersebut? Tidak. Edhy langsung memerintahkan jajaran internal KKP untuk mengkaji secara dalam persoalan tersebut. Tak hanya itu, Edhy juga membentuk kelompok eksternal bernama Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik (KP2). Effendi Ghazali selaku pakar komunikasi ditunjuk mengkoordinir lembaga ini. Selebihnya, lembaga ini berisikan pakar kelautan perikanan, pakar hukum, pakar lingkungan, hingga perwakilan dunia usaha. (Baca juga: Resmi, KKP Akan Buka Kembali Ekspor Benih Lobster)
Sejak dibentuk, KP2 melakukan kajian sangat intensif dan juga melakukan kunjungan ke berbagai tempat. Berkali-kali juga KP2 menggelar diskusi terbuka dengan melibatkan sebanyak-banyaknya publik dan diliput media massa. Berdasarkan hasil riset KKP melalui Badan Riset dan Sumber Daya Manusia (BRSDM) merilis potensi benih bening lobster pasir dan lobster mutiara sebesar 278.950.000 di Perairan Indonesia.
Tak hanya melalui penelitian dan diskusi terbuka, Edhy Prabowo dan sejumlah pakar juga melakukan studi banding khusus untuk lobster hingga ke Tasmania, Australia, pada 26 Februari 2020. Hasilnya, potensi jumlah benih bening lobster di lautan Indonesia ternyata jauh lebih banyak dari yang diperkirakan. Berdasarkan penuturan para pakar dan ahli di Universitas Tasmania bahwa dalam setahun lobster dapat bertelur sebanyak empat kali.
Setelah penelitian dan kajian sempurna, Edhy Prabowo akhirnya menerbitkan PermenKP No. 12 Tahun 2020 yang isinya mengizinkan penangkapan benih bening lobster, budidaya lobster dan eskpor benih bening lobster. Keputusan Edhy ini sejalan dengan arahan Presiden Jokowi bahwa polemik lobster ini harus ada nilai ekonomi untuk nelayan, harus ada pemasukan untuk negara, dan tetap menjaga kelestarian lobster di alam.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat 2 berbunyi; “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Jelas artinya, bahwa kekayaan negara tidak hanya dijaga, tetapi juga harus mampu dikelola untuk kemakmuran bersama. PermenKP No. 12 Tahun 2020 yang diterbitkan Edhy Prabowo adalah implementasi dari mandat konstitusi tersebut. (Lihat videonya: Lima Rumah Warga Terseret Longsor di Palopo)
Jika dalam kurun waktu dua sampai tiga tahun ke depan lobster punah di lautan Indonesia, sejarah akan mencatat bahwa Edhy Prabowo adalah Menteri yang gagal menjaga sumber daya alam. Namun, bila dalam kurun waktu yang sama lobster masih ada, budidaya lobster meningkat, roda ekonomi bergerak, lapangan kerja tercipta dan pemasukan negara bertambah, kita semua harus mengakui bahwa Edhy adalah Menteri yang berhasil mengangkat harkat dan martabat nelayan, serta Menteri yang berjasa terhadap peradaban bangsa. Narasi lobster akan punah hanyalah ketakutan yang tidak berdasar dan tidak akademis.
Ini adalah catatan awal tentang asbabun nuzul terbitnya PermenKP No. 12 Tahun 2020. Untuk teknis regulasi, hitung-hitungan PNBP, potensi pendapatan negara dan lain sebagainya, kita bisa diskusikan di lain kesempatan.
(ysw)