Prahara Harga Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan
Rabu, 27 Juli 2022 - 15:38 WIB
Celakanya, stabilitas harga pangan masih jauh dari selesai. Ini tampak dari porsi inflasi pangan dalam inflasi total yang masih besar, setidaknya dalam 8 tahun terakhir. Pada 2014 andil pangan baru 40,31% dari inflasi nasional 8,36%.
Namun, pada 2015 andil pangan pada inflasi naik jadi 61,19% dari inflasi 3,35%, dan naik lagi jadi 70,1% dari inflasi 3,01% pada 2016. Khusus 2017, andil pangan hanya 26% dari inflasi 3,61%. Setelah itu, andil inflasi pangan kembali naik: 43% dari 3,13% (2018), 56% dari 2,72% (2019), dan 54% dari 1,68% (2020). Ini pertanda instabilitas harga pangan masih terjadi.
Yang menarik, jika ditilik dari komoditas pangan penyumbang inflasi, tiga tahun terakhir mulai terjadi pergeseran. Rentang 2014-2018 posisi beras sebagai penyumbang inflasi mendominasi. Dari 11 komoditas pangan, dalam 5 tahun itu beras bersama daging ayam ras, ikan segar, dan mi menjadi penyumbang inflasi 4 kali, disusul telur ayam dan bawang merah (3x), cabai merah, cabai rawit, minyak goreng dan gula pasir (2x), dan bawang putih (1x). Posisi beras pun di urutan penting: 1-3 kontributor inflasi terbesar.
Empat tahun terakhir (2019-2021), hanya pada 2020 beras jadi penyumbang inflasi pangan. Itu pun di posisi minor: 15 dari 20 komoditas. Sebaliknya, peran cabai (merah dan rawit), minyak goreng, bawang (merah dan putih), ikan segar, dan telur serta daging ayam mendominasi. Ini patut disyukuri. Sebab, dari 13 komoditas penyumbang garis kemiskinan makanan, posisi beras dominan: 22,04% dari pengeluaran rumah tangga miskin. Kala harga beras naik tinggi, hampir pasti jumlah orang miskin naik juga. Akan tetapi, pergeseran peran ini menandakan masalah inflasi pangan masih jauh dari selesai.
Fluktuasi harga pangan akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspos mereka pada posisi yang rentan. Ini menjadi tantangan superserius bagi penciptaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di masa depan. Di saat prevalensi anak balita kurang gizi cukup memprihatinkan, yaitu 17,7% (18 dari setiap 100) dan 30% (1 dari 3) anak balita menderita kurang gizi dan tengkes, instabilitas harga pangan jadi soal krusial. Kala pandemi belum reda, instabilitas harga pangan kian memperdalam luka warga.
Ke depan, agenda peningkatan produksi dan produktivitas di lahan pertanian harus jadi prioritas. Kebijakan ini harus dikawinkan dengan kebijakan stabilisasi harga pangan dengan menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan. Lewat beleid neraca komoditas, data pasokan dan permintaan bisa dipantau secara berkala. Ketika terjadi ketikdakseimbangan harus segera dilakukan intervensi. Untuk itu, pemerintah harus memastikan memiliki stok/cadangan setiap saat. Khusus buat warga miskin, aneka jaring pengaman sosial yang diracik pemerintah bisa terus dioptimalkan sebagai perisai diri.
Baca Juga: koran-sindo.com
Namun, pada 2015 andil pangan pada inflasi naik jadi 61,19% dari inflasi 3,35%, dan naik lagi jadi 70,1% dari inflasi 3,01% pada 2016. Khusus 2017, andil pangan hanya 26% dari inflasi 3,61%. Setelah itu, andil inflasi pangan kembali naik: 43% dari 3,13% (2018), 56% dari 2,72% (2019), dan 54% dari 1,68% (2020). Ini pertanda instabilitas harga pangan masih terjadi.
Yang menarik, jika ditilik dari komoditas pangan penyumbang inflasi, tiga tahun terakhir mulai terjadi pergeseran. Rentang 2014-2018 posisi beras sebagai penyumbang inflasi mendominasi. Dari 11 komoditas pangan, dalam 5 tahun itu beras bersama daging ayam ras, ikan segar, dan mi menjadi penyumbang inflasi 4 kali, disusul telur ayam dan bawang merah (3x), cabai merah, cabai rawit, minyak goreng dan gula pasir (2x), dan bawang putih (1x). Posisi beras pun di urutan penting: 1-3 kontributor inflasi terbesar.
Empat tahun terakhir (2019-2021), hanya pada 2020 beras jadi penyumbang inflasi pangan. Itu pun di posisi minor: 15 dari 20 komoditas. Sebaliknya, peran cabai (merah dan rawit), minyak goreng, bawang (merah dan putih), ikan segar, dan telur serta daging ayam mendominasi. Ini patut disyukuri. Sebab, dari 13 komoditas penyumbang garis kemiskinan makanan, posisi beras dominan: 22,04% dari pengeluaran rumah tangga miskin. Kala harga beras naik tinggi, hampir pasti jumlah orang miskin naik juga. Akan tetapi, pergeseran peran ini menandakan masalah inflasi pangan masih jauh dari selesai.
Fluktuasi harga pangan akan menekan daya beli konsumen. Bagi rakyat, terutama yang miskin, inflasi akan menggerogoti daya beli mereka. Inflasi akibat instabilitas harga pangan akan mengekspos mereka pada posisi yang rentan. Ini menjadi tantangan superserius bagi penciptaan sumber daya manusia (SDM) berkualitas di masa depan. Di saat prevalensi anak balita kurang gizi cukup memprihatinkan, yaitu 17,7% (18 dari setiap 100) dan 30% (1 dari 3) anak balita menderita kurang gizi dan tengkes, instabilitas harga pangan jadi soal krusial. Kala pandemi belum reda, instabilitas harga pangan kian memperdalam luka warga.
Ke depan, agenda peningkatan produksi dan produktivitas di lahan pertanian harus jadi prioritas. Kebijakan ini harus dikawinkan dengan kebijakan stabilisasi harga pangan dengan menyeimbangkan antara pasokan dan permintaan. Lewat beleid neraca komoditas, data pasokan dan permintaan bisa dipantau secara berkala. Ketika terjadi ketikdakseimbangan harus segera dilakukan intervensi. Untuk itu, pemerintah harus memastikan memiliki stok/cadangan setiap saat. Khusus buat warga miskin, aneka jaring pengaman sosial yang diracik pemerintah bisa terus dioptimalkan sebagai perisai diri.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
tulis komentar anda