Prahara Harga Pangan, Inflasi, dan Kemiskinan
Rabu, 27 Juli 2022 - 15:38 WIB
Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
HARI-HARI ini konsumen mengeluhkan harga pangan yang naik tinggi. Seolah janjian, kenaikan terjadi bersamaan pada sejumlah komoditas pangan. Baik yang diimpor (terigu, daging, kedelai) maupun diproduksi domestik (cabai, bawang merah, minyak goreng, daging sapi, daging dan telur ayam). Sialnya, dari hari ke hari harga bertahan di level tinggi. Tatkala daya beli belum pulih akibat diterjang pandemi, kenaikan harga pangan berubah jadi prahara. Warga miskin menjadi korban pertama dan utama.
Rutinitas ini seperti penyakit menahun: timbul-tenggelam mengikuti momentum dan dinamika kebijakan publik. Tidak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang amat besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang semestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas. Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh pemerintah: penyerahan harga komoditas pangan pada mekanisme pasar. Ditambah kapasitas (negara) dalam menstabilkan harga pangan yang rendah, pasar pangan akhirnya jadi ajang unjuk gigi kelompok dominan.
Turbulensi harga pangan terus berulang karena pemerintah tak mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang ditempuh hanya di level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang nakal. Minyak goreng berbasis sawit contoh lainnya. Meskipun Indonesia produsen sawit nomor 1 dunia, harga minyak goreng tetap naik tinggi karena pabrik minyak goreng tak terintegrasi dengan kebun.
Kenaikan harga barang, termasuk harga pangan, akan tecermin pada angka inflasi. Inflasi, yang didefinisikan sebagai kenaikan harga untuk sekelompok barang konsumsi yang tercermin di indeks harga konsumen (IHK), menandakan kenaikan harga barang. Masalahnya, kita bisa terkecoh bila hanya melihat inflasi nasional tanpa memeriksa sumbernya. Misalnya, sampai Juni 2022, inflasi tahunan total Indonesia “hanya” 4,35%. Jauh lebih rendah dari inflasi di AS (9,1%), Inggris (9,1%), Jerman (7,6%) atau Spanyol (10,2%). Inflasi yang rendah bisa dimaknai sebagai fluktuasi harga barang rendah.
Kesimpulan ini tidak sepenuhnya bisa jadi pegangan tanpa memeriksa sumbernya. Ditilik dari sumbernya, inflasi sebesar 4,35% karena andil kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan inflasi inti terkendali. Pada periode yang sama masing-masing besarnya hanya 2,63% dan 5,33%. Sebaliknya, inflasi harga pangan (volatile foods) sudah menembus 10,07%. Ini berarti andil inflasi pangan sangat dominan dalam inflasi total. Ini juga menandakan instabilitas harga pangan masih jadi persoalan.
Stabilitas harga pangan adalah sebuah keniscayaan. Bukan saja untuk memastikan perputaran roda ekonomi, tapi juga bakal mendinginkan situasi sosial-politik. Lebih dari itu, bagi warga miskin stabilitas harga jadi jaminan bagi mereka untuk bisa mengakses asupan makanan bergizi. Ketika harga melonjak tinggi, pangan tidak akan terjangkau oleh kantong mereka. Warga miskin, juga mereka yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir/rentan miskin, mayoritas pengeluaran mereka untuk pangan.
Ini tecermin dari sumbangan garis kemiskinan makanan, yang per Maret 2022, porsinya 74,08% dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 25,92% pengeluan non-makanan. Implikasi dari kondisi ini, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses pangan warga, terutama yang miskin/rentan, tetap terjaga. Mereka-mereka yang posisinya hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan sontak bakal jatuh miskin manakala harga pangan naik tinggi dan jauh dari kemampuan daya beli. Naik-turunnya harga pangan akan berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP), Peminat Masalah Sosial-Ekonomi Pertanian dan Globalisasi
HARI-HARI ini konsumen mengeluhkan harga pangan yang naik tinggi. Seolah janjian, kenaikan terjadi bersamaan pada sejumlah komoditas pangan. Baik yang diimpor (terigu, daging, kedelai) maupun diproduksi domestik (cabai, bawang merah, minyak goreng, daging sapi, daging dan telur ayam). Sialnya, dari hari ke hari harga bertahan di level tinggi. Tatkala daya beli belum pulih akibat diterjang pandemi, kenaikan harga pangan berubah jadi prahara. Warga miskin menjadi korban pertama dan utama.
Rutinitas ini seperti penyakit menahun: timbul-tenggelam mengikuti momentum dan dinamika kebijakan publik. Tidak terhitung sumber daya yang tergerus. Bangsa ini kehabisan waktu, tenaga, dan biaya yang amat besar untuk mengatasi hal-hal rutin yang semestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara cerdas. Penyebab kenaikan harga pangan sebetulnya sudah dikenali dengan baik oleh pemerintah: penyerahan harga komoditas pangan pada mekanisme pasar. Ditambah kapasitas (negara) dalam menstabilkan harga pangan yang rendah, pasar pangan akhirnya jadi ajang unjuk gigi kelompok dominan.
Turbulensi harga pangan terus berulang karena pemerintah tak mau menyentuh akar persoalan. Solusi yang ditempuh hanya di level permukaan. Contohnya, pemerintah amat sibuk mengurusi pasokan. Pemerintah yakin, saat pasokan memadai harga akan stabil. Tapi pemerintah lupa pasokan yang memadai tak berarti apa-apa bila distribusi macet dan ada pelaku dominan dan pemburu rente yang nakal. Minyak goreng berbasis sawit contoh lainnya. Meskipun Indonesia produsen sawit nomor 1 dunia, harga minyak goreng tetap naik tinggi karena pabrik minyak goreng tak terintegrasi dengan kebun.
Kenaikan harga barang, termasuk harga pangan, akan tecermin pada angka inflasi. Inflasi, yang didefinisikan sebagai kenaikan harga untuk sekelompok barang konsumsi yang tercermin di indeks harga konsumen (IHK), menandakan kenaikan harga barang. Masalahnya, kita bisa terkecoh bila hanya melihat inflasi nasional tanpa memeriksa sumbernya. Misalnya, sampai Juni 2022, inflasi tahunan total Indonesia “hanya” 4,35%. Jauh lebih rendah dari inflasi di AS (9,1%), Inggris (9,1%), Jerman (7,6%) atau Spanyol (10,2%). Inflasi yang rendah bisa dimaknai sebagai fluktuasi harga barang rendah.
Kesimpulan ini tidak sepenuhnya bisa jadi pegangan tanpa memeriksa sumbernya. Ditilik dari sumbernya, inflasi sebesar 4,35% karena andil kelompok harga yang diatur pemerintah (administered prices) dan inflasi inti terkendali. Pada periode yang sama masing-masing besarnya hanya 2,63% dan 5,33%. Sebaliknya, inflasi harga pangan (volatile foods) sudah menembus 10,07%. Ini berarti andil inflasi pangan sangat dominan dalam inflasi total. Ini juga menandakan instabilitas harga pangan masih jadi persoalan.
Stabilitas harga pangan adalah sebuah keniscayaan. Bukan saja untuk memastikan perputaran roda ekonomi, tapi juga bakal mendinginkan situasi sosial-politik. Lebih dari itu, bagi warga miskin stabilitas harga jadi jaminan bagi mereka untuk bisa mengakses asupan makanan bergizi. Ketika harga melonjak tinggi, pangan tidak akan terjangkau oleh kantong mereka. Warga miskin, juga mereka yang masuk 40% berpenghasilan terbawah dan terkategori hampir/rentan miskin, mayoritas pengeluaran mereka untuk pangan.
Ini tecermin dari sumbangan garis kemiskinan makanan, yang per Maret 2022, porsinya 74,08% dari pengeluaran rumah tangga. Hanya 25,92% pengeluan non-makanan. Implikasi dari kondisi ini, stabilitas harga pangan menjadi kebutuhan mutlak agar akses pangan warga, terutama yang miskin/rentan, tetap terjaga. Mereka-mereka yang posisinya hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan sontak bakal jatuh miskin manakala harga pangan naik tinggi dan jauh dari kemampuan daya beli. Naik-turunnya harga pangan akan berpengaruh langsung pada jumlah warga miskin.
tulis komentar anda