Zero COVID-19 Harus Jadi Tekad Bersama

Senin, 27 April 2020 - 09:00 WIB
Sebelumnya, WHO Asia Tenggara memublikasikan media briefing sebagai peringatan dan saran kehati-hatian untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut WHO, gelombang episentrum wabah corona dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menuju Asia Tenggara. Potensi pergeseran gelombang episentrum wabah corona ke kawasan Asia Tenggara bisa jadi sangat besar jika tidak dikendalikan dari sekarang.

Dalam konteks global, tren pandemi COVID-19 memang masih memprihatinkan. Menurut hasil pengumpulan data oleh Universitas Johns Hopkins, hingga pekan keempat April 2020, total pasien positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 2,8 juta, dengan jumlah meninggal 200.000 pasien. Kecenderungan di Amerika Serikat (AS) dan Inggris sangat memilukan. Hingga akhir pekan lalu, data yang dikumpulkan dari semua RS di Inggris mencatat 20.319 kematian, sementara total pasien meninggal di AS sudah menyentuh angka 51.000. Berdasarkan kecenderungan di AS dan Inggris, serta menjadikan pernyataan WHO sebagai pijakan, semua negara, termasuk Indonesia, tentu harus tetap waspada.

Target Bersama

Sangat penting untuk terus menerus mengingatkan masyarakat tentang urgensi menerapkan pembatasan sosial dengan konsisten di semua daerah. Hanya dengan cara itu, cegah-tangkal penularan COVID-19 bisa efektif, terutama karena penularannya lebih ditentukan oleh aktivitas mereka yang sudah terinfeksi. Jika konsistensi pembatasan sosial terjaga, patut untuk diyakini bahwa Indonesia tidak akan menjadi episentrum pandemi COVID-19. Sekali lagi, peran semua kepala daerah dan partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci. Zero pasien COVID-19 harus menjadi tekad bersama dan sebisa mungkin diwujudkan dengan cepat.

Sebab, sangat berbahaya jika penerapan pembatasan sosial atau PSBB (pembatasan sosial berskala besar) menjadi berlarut-larut. Durasi pembatasan sosial yang berkepanjangan tidak hanya memenjarakan masyarakat di rumah masing-masing, tetapi juga akan menuntun semua orang ke dalam perangkap kebuntuan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Saat ini, situasinya mungkin belum layak disebut buntu karena semua orang masih berharap pandemi COVID-19 segera berakhir dalam jangka dekat, dan dinamika kehidupan bisa segera pulih, termasuk menggerakkan mesin perekonomian di semua sektor dan subsektor. Penderitaan akibat menurun atau hilangnya nilai penghasilan komunitas pekerja masih bisa diatasi dengan jaringan pengaman sosial yang disediakan pemerintah, walaupun nilainya terbilang minimalis.

Akan tetapi, jika pandemi COVID-19 tidak segera bisa diakhiri, pembatasan sosial dengan ragam ketentuan pengetatan tentunya harus berlanjut. Misalnya, kegiatan produksi di pabrik harus dihentikan. Kantor-kantor ditutup. Kegiatan distribusi dibatasi dan diperketat. Layanan transportasi massal dikurangi dalam skala ekstrem. Pusat belanja (mal) dan restoran harus tutup. Konsekuensinya, pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan. Pembatasan yang berlarut-larut akan memerangkap semua orang pada kebuntuan. Tidak ada lapangan kerja yang tersedia walaupun semua orang ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan atau upah. Pada gilirannya, yang terjadi kemudian adalah menggelembungnya jumlah warga miskin.

Kalau Bali berpotensi rugi hingga Rp135 triliun akibat pandemi COVID-19, berapa banyak pekerja yang tidak lagi berpenghasilan karena tidak bekerja. Maskapai penerbangan lokal mencatat rugi lebih dari Rp 2 triliun. Tentu sangat banyak karyawan yang dirumahkan atau berkurang pendapatannya. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tidak kurang dari 30.000 pekerja sektor pariwisata terancam kehilangan pekerjaan. Sementara itu, dilaporkan juga bahwa petani dan buruh sawit terancam kelaparan karena tidak memiliki akses atas komoditas pangan. Hal ini terjadi karena ekspor sawit melambat. Bantuan sosial (bansos) sembako dari pemerintah tidak diterima oleh para petani dan buruh sawit. Ini adalah penggalan dari keseluruhan penderitaan yang dialami masyarakat akibat pandemi COVID-19 yang mengharuskan diterapkannya pembatasan sosial dengan ketat.

Masyarakat Indonesia perlu melihat negara lain untuk sekadar dijadikan contoh. Untuk menghindari kebuntuan, sejumlah negara mulai melonggarkan ketentuan penguncian atau lockdown. Pemerintah Tiongkok telah mencabut status isolasi provinsi Hubei dan Wuhan. Begitu juga dengan Korea Selatan. Di Eropa, mulai dari Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Denmark hingga Austria dan Ceko juga melakukan hal yang sama. Sejumlah kegiatan produktif masyarakat mulai bergeliat lagi. Masyarakat Indonesia pun harus berambisi segera memulihkan dinamika kehidupan bersama. Syaratnya, harus ditumbuhkan kesadaran dan keinginan bersama memutus rantai penularan COVID-19 guna menghindari kebuntuan akibat terhentinya aktivitas perekonomian.
(nbs)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More