Zero COVID-19 Harus Jadi Tekad Bersama
loading...
A
A
A
Bambang Soesatyo
Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
SEMUA orang akhirnya harus sampai pada kesadaran bersama bahwa pandemi COVID-19 yang berlarut-larut tak hanya memenjarakan, tetapi juga merampas kebebasan setiap individu. Lebih dari itu, jika tidak tumbuh kesadaran dan keinginan bersama memutus rantai penularannya, pandemi COVID-19 akan menuntun semua orang ke dalam perangkap kebuntuan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan.
Tanpa dipaksa dan sekadar diimbau, miliaran orang di berbagai belahan dunia patuh dan memilih "memenjarakan diri" di rumah karena takut tertular COVID-19. Kendati menyandang status manusia merdeka, namun demi tetap sehat dan selamat, semua orang bahkan rela kebebasannya "direnggut" oleh virus yang satu ini.
Keluar rumah atau bepergian dibatasi. Pintu-pintu gerbang pemukiman ditutup. Mudik dilarang. Alih-alih berangkulan, jabat tangan pun tidak diperkenankan. Virus ini pun "memberangus" kebebasan berkumpul, termasuk untuk beribadah sekali pun. Bekerja di kantor atau belajar di sekolah juga tidak diperkenankan. Hingga hari kedua atau ketiga, diam di rumah saja itu mungkin masih menyenangkan.
Ceritanya menjadi sangat berbeda ketika masuk pekan kedua. Bagi banyak orang yang terbiasa aktif dan menekuni kegiatan-kegiatan produktif seperti komunitas pekerja, berlarut-larutnya keharusan diam di rumah justru dirasakan cukup menyiksa. Mahasiswa dan pelajar yang terbiasa bergerak dinamis pun merasakan hal yang sama.
Pertanyaannya, sampai berapa lama lagi kehidupan tak menyenangkan seperti sekarang ini akan berlangsung? Pertanyaan seperti ini mungkin belum waktunya dikedepankan sekarang, karena memang belum ada yang mampu memberi jawaban meyakinkan.
Di ruang publik, yang muncul hanya perkiraan dengan versi sangat beragam. Sedangkan upaya para ahli menghadirkan vaksin COVID-19 belum membuahkan hasil. Jerman, Israel, Inggris, Iran, Tiongkok hingga Rusia mengklaim sudah melakukan uji coba klinis Vaksin dimaksud. Masih butuh waktu cukup lama sebelum vaksin itu diperkenankan untuk mengobati manusia.
Sebaliknya, fakta yang mengemuka justru mendorong dan mengharuskan semua orang tetap dan terus waspada agar tidak terinfeksi COVID-19. Bagi masyarakat Indonesia misalnya, tren Pandemi COVID-19 bisa dilihat dan dipahami dari data resmi yang dipublikasikan pemerintah setiap harinya. Tak kalah pentingnya adalah menyimak dan mencermati pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta kecenderungan di negara lain. Pada pekan keempat April 2020, WHO merilis sebuah perkiraan yang sangat patut diwaspadai. Menurut WHO, virus corona masih akan terus berada di dunia untuk waktu yang lama. Sebab, banyak negara yang saat ini masih berada dalam tahap awal pandemi. "Jangan salah, kita masih harus menempuh jalan panjang. Virus ini akan bersama kita untuk waktu yang lama," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam konferensi pers virtual di Jenewa, Swiss, Kamis (23/4/2020).
Sebelumnya, WHO Asia Tenggara memublikasikan media briefing sebagai peringatan dan saran kehati-hatian untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut WHO, gelombang episentrum wabah corona dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menuju Asia Tenggara. Potensi pergeseran gelombang episentrum wabah corona ke kawasan Asia Tenggara bisa jadi sangat besar jika tidak dikendalikan dari sekarang.
Dalam konteks global, tren pandemi COVID-19 memang masih memprihatinkan. Menurut hasil pengumpulan data oleh Universitas Johns Hopkins, hingga pekan keempat April 2020, total pasien positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 2,8 juta, dengan jumlah meninggal 200.000 pasien. Kecenderungan di Amerika Serikat (AS) dan Inggris sangat memilukan. Hingga akhir pekan lalu, data yang dikumpulkan dari semua RS di Inggris mencatat 20.319 kematian, sementara total pasien meninggal di AS sudah menyentuh angka 51.000. Berdasarkan kecenderungan di AS dan Inggris, serta menjadikan pernyataan WHO sebagai pijakan, semua negara, termasuk Indonesia, tentu harus tetap waspada.
Target Bersama
Sangat penting untuk terus menerus mengingatkan masyarakat tentang urgensi menerapkan pembatasan sosial dengan konsisten di semua daerah. Hanya dengan cara itu, cegah-tangkal penularan COVID-19 bisa efektif, terutama karena penularannya lebih ditentukan oleh aktivitas mereka yang sudah terinfeksi. Jika konsistensi pembatasan sosial terjaga, patut untuk diyakini bahwa Indonesia tidak akan menjadi episentrum pandemi COVID-19. Sekali lagi, peran semua kepala daerah dan partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci. Zero pasien COVID-19 harus menjadi tekad bersama dan sebisa mungkin diwujudkan dengan cepat.
Sebab, sangat berbahaya jika penerapan pembatasan sosial atau PSBB (pembatasan sosial berskala besar) menjadi berlarut-larut. Durasi pembatasan sosial yang berkepanjangan tidak hanya memenjarakan masyarakat di rumah masing-masing, tetapi juga akan menuntun semua orang ke dalam perangkap kebuntuan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Saat ini, situasinya mungkin belum layak disebut buntu karena semua orang masih berharap pandemi COVID-19 segera berakhir dalam jangka dekat, dan dinamika kehidupan bisa segera pulih, termasuk menggerakkan mesin perekonomian di semua sektor dan subsektor. Penderitaan akibat menurun atau hilangnya nilai penghasilan komunitas pekerja masih bisa diatasi dengan jaringan pengaman sosial yang disediakan pemerintah, walaupun nilainya terbilang minimalis.
Akan tetapi, jika pandemi COVID-19 tidak segera bisa diakhiri, pembatasan sosial dengan ragam ketentuan pengetatan tentunya harus berlanjut. Misalnya, kegiatan produksi di pabrik harus dihentikan. Kantor-kantor ditutup. Kegiatan distribusi dibatasi dan diperketat. Layanan transportasi massal dikurangi dalam skala ekstrem. Pusat belanja (mal) dan restoran harus tutup. Konsekuensinya, pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan. Pembatasan yang berlarut-larut akan memerangkap semua orang pada kebuntuan. Tidak ada lapangan kerja yang tersedia walaupun semua orang ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan atau upah. Pada gilirannya, yang terjadi kemudian adalah menggelembungnya jumlah warga miskin.
Kalau Bali berpotensi rugi hingga Rp135 triliun akibat pandemi COVID-19, berapa banyak pekerja yang tidak lagi berpenghasilan karena tidak bekerja. Maskapai penerbangan lokal mencatat rugi lebih dari Rp 2 triliun. Tentu sangat banyak karyawan yang dirumahkan atau berkurang pendapatannya. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tidak kurang dari 30.000 pekerja sektor pariwisata terancam kehilangan pekerjaan. Sementara itu, dilaporkan juga bahwa petani dan buruh sawit terancam kelaparan karena tidak memiliki akses atas komoditas pangan. Hal ini terjadi karena ekspor sawit melambat. Bantuan sosial (bansos) sembako dari pemerintah tidak diterima oleh para petani dan buruh sawit. Ini adalah penggalan dari keseluruhan penderitaan yang dialami masyarakat akibat pandemi COVID-19 yang mengharuskan diterapkannya pembatasan sosial dengan ketat.
Masyarakat Indonesia perlu melihat negara lain untuk sekadar dijadikan contoh. Untuk menghindari kebuntuan, sejumlah negara mulai melonggarkan ketentuan penguncian atau lockdown. Pemerintah Tiongkok telah mencabut status isolasi provinsi Hubei dan Wuhan. Begitu juga dengan Korea Selatan. Di Eropa, mulai dari Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Denmark hingga Austria dan Ceko juga melakukan hal yang sama. Sejumlah kegiatan produktif masyarakat mulai bergeliat lagi. Masyarakat Indonesia pun harus berambisi segera memulihkan dinamika kehidupan bersama. Syaratnya, harus ditumbuhkan kesadaran dan keinginan bersama memutus rantai penularan COVID-19 guna menghindari kebuntuan akibat terhentinya aktivitas perekonomian.
Ketua MPR RI/ Wakil Ketua Umum KADIN Indonesia
SEMUA orang akhirnya harus sampai pada kesadaran bersama bahwa pandemi COVID-19 yang berlarut-larut tak hanya memenjarakan, tetapi juga merampas kebebasan setiap individu. Lebih dari itu, jika tidak tumbuh kesadaran dan keinginan bersama memutus rantai penularannya, pandemi COVID-19 akan menuntun semua orang ke dalam perangkap kebuntuan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan.
Tanpa dipaksa dan sekadar diimbau, miliaran orang di berbagai belahan dunia patuh dan memilih "memenjarakan diri" di rumah karena takut tertular COVID-19. Kendati menyandang status manusia merdeka, namun demi tetap sehat dan selamat, semua orang bahkan rela kebebasannya "direnggut" oleh virus yang satu ini.
Keluar rumah atau bepergian dibatasi. Pintu-pintu gerbang pemukiman ditutup. Mudik dilarang. Alih-alih berangkulan, jabat tangan pun tidak diperkenankan. Virus ini pun "memberangus" kebebasan berkumpul, termasuk untuk beribadah sekali pun. Bekerja di kantor atau belajar di sekolah juga tidak diperkenankan. Hingga hari kedua atau ketiga, diam di rumah saja itu mungkin masih menyenangkan.
Ceritanya menjadi sangat berbeda ketika masuk pekan kedua. Bagi banyak orang yang terbiasa aktif dan menekuni kegiatan-kegiatan produktif seperti komunitas pekerja, berlarut-larutnya keharusan diam di rumah justru dirasakan cukup menyiksa. Mahasiswa dan pelajar yang terbiasa bergerak dinamis pun merasakan hal yang sama.
Pertanyaannya, sampai berapa lama lagi kehidupan tak menyenangkan seperti sekarang ini akan berlangsung? Pertanyaan seperti ini mungkin belum waktunya dikedepankan sekarang, karena memang belum ada yang mampu memberi jawaban meyakinkan.
Di ruang publik, yang muncul hanya perkiraan dengan versi sangat beragam. Sedangkan upaya para ahli menghadirkan vaksin COVID-19 belum membuahkan hasil. Jerman, Israel, Inggris, Iran, Tiongkok hingga Rusia mengklaim sudah melakukan uji coba klinis Vaksin dimaksud. Masih butuh waktu cukup lama sebelum vaksin itu diperkenankan untuk mengobati manusia.
Sebaliknya, fakta yang mengemuka justru mendorong dan mengharuskan semua orang tetap dan terus waspada agar tidak terinfeksi COVID-19. Bagi masyarakat Indonesia misalnya, tren Pandemi COVID-19 bisa dilihat dan dipahami dari data resmi yang dipublikasikan pemerintah setiap harinya. Tak kalah pentingnya adalah menyimak dan mencermati pernyataan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta kecenderungan di negara lain. Pada pekan keempat April 2020, WHO merilis sebuah perkiraan yang sangat patut diwaspadai. Menurut WHO, virus corona masih akan terus berada di dunia untuk waktu yang lama. Sebab, banyak negara yang saat ini masih berada dalam tahap awal pandemi. "Jangan salah, kita masih harus menempuh jalan panjang. Virus ini akan bersama kita untuk waktu yang lama," kata Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, dalam konferensi pers virtual di Jenewa, Swiss, Kamis (23/4/2020).
Sebelumnya, WHO Asia Tenggara memublikasikan media briefing sebagai peringatan dan saran kehati-hatian untuk negara-negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Menurut WHO, gelombang episentrum wabah corona dari Amerika Serikat (AS) dan Eropa akan menuju Asia Tenggara. Potensi pergeseran gelombang episentrum wabah corona ke kawasan Asia Tenggara bisa jadi sangat besar jika tidak dikendalikan dari sekarang.
Dalam konteks global, tren pandemi COVID-19 memang masih memprihatinkan. Menurut hasil pengumpulan data oleh Universitas Johns Hopkins, hingga pekan keempat April 2020, total pasien positif COVID-19 di seluruh dunia mencapai 2,8 juta, dengan jumlah meninggal 200.000 pasien. Kecenderungan di Amerika Serikat (AS) dan Inggris sangat memilukan. Hingga akhir pekan lalu, data yang dikumpulkan dari semua RS di Inggris mencatat 20.319 kematian, sementara total pasien meninggal di AS sudah menyentuh angka 51.000. Berdasarkan kecenderungan di AS dan Inggris, serta menjadikan pernyataan WHO sebagai pijakan, semua negara, termasuk Indonesia, tentu harus tetap waspada.
Target Bersama
Sangat penting untuk terus menerus mengingatkan masyarakat tentang urgensi menerapkan pembatasan sosial dengan konsisten di semua daerah. Hanya dengan cara itu, cegah-tangkal penularan COVID-19 bisa efektif, terutama karena penularannya lebih ditentukan oleh aktivitas mereka yang sudah terinfeksi. Jika konsistensi pembatasan sosial terjaga, patut untuk diyakini bahwa Indonesia tidak akan menjadi episentrum pandemi COVID-19. Sekali lagi, peran semua kepala daerah dan partisipasi masyarakat menjadi faktor kunci. Zero pasien COVID-19 harus menjadi tekad bersama dan sebisa mungkin diwujudkan dengan cepat.
Sebab, sangat berbahaya jika penerapan pembatasan sosial atau PSBB (pembatasan sosial berskala besar) menjadi berlarut-larut. Durasi pembatasan sosial yang berkepanjangan tidak hanya memenjarakan masyarakat di rumah masing-masing, tetapi juga akan menuntun semua orang ke dalam perangkap kebuntuan yang menyebabkan penderitaan berkepanjangan. Saat ini, situasinya mungkin belum layak disebut buntu karena semua orang masih berharap pandemi COVID-19 segera berakhir dalam jangka dekat, dan dinamika kehidupan bisa segera pulih, termasuk menggerakkan mesin perekonomian di semua sektor dan subsektor. Penderitaan akibat menurun atau hilangnya nilai penghasilan komunitas pekerja masih bisa diatasi dengan jaringan pengaman sosial yang disediakan pemerintah, walaupun nilainya terbilang minimalis.
Akan tetapi, jika pandemi COVID-19 tidak segera bisa diakhiri, pembatasan sosial dengan ragam ketentuan pengetatan tentunya harus berlanjut. Misalnya, kegiatan produksi di pabrik harus dihentikan. Kantor-kantor ditutup. Kegiatan distribusi dibatasi dan diperketat. Layanan transportasi massal dikurangi dalam skala ekstrem. Pusat belanja (mal) dan restoran harus tutup. Konsekuensinya, pemutusan hubungan kerja (PHK) pun tak terhindarkan. Pembatasan yang berlarut-larut akan memerangkap semua orang pada kebuntuan. Tidak ada lapangan kerja yang tersedia walaupun semua orang ingin bekerja untuk mendapatkan penghasilan atau upah. Pada gilirannya, yang terjadi kemudian adalah menggelembungnya jumlah warga miskin.
Kalau Bali berpotensi rugi hingga Rp135 triliun akibat pandemi COVID-19, berapa banyak pekerja yang tidak lagi berpenghasilan karena tidak bekerja. Maskapai penerbangan lokal mencatat rugi lebih dari Rp 2 triliun. Tentu sangat banyak karyawan yang dirumahkan atau berkurang pendapatannya. Di Jawa Tengah dan Yogyakarta, tidak kurang dari 30.000 pekerja sektor pariwisata terancam kehilangan pekerjaan. Sementara itu, dilaporkan juga bahwa petani dan buruh sawit terancam kelaparan karena tidak memiliki akses atas komoditas pangan. Hal ini terjadi karena ekspor sawit melambat. Bantuan sosial (bansos) sembako dari pemerintah tidak diterima oleh para petani dan buruh sawit. Ini adalah penggalan dari keseluruhan penderitaan yang dialami masyarakat akibat pandemi COVID-19 yang mengharuskan diterapkannya pembatasan sosial dengan ketat.
Masyarakat Indonesia perlu melihat negara lain untuk sekadar dijadikan contoh. Untuk menghindari kebuntuan, sejumlah negara mulai melonggarkan ketentuan penguncian atau lockdown. Pemerintah Tiongkok telah mencabut status isolasi provinsi Hubei dan Wuhan. Begitu juga dengan Korea Selatan. Di Eropa, mulai dari Italia, Spanyol, Jerman, Prancis, Denmark hingga Austria dan Ceko juga melakukan hal yang sama. Sejumlah kegiatan produktif masyarakat mulai bergeliat lagi. Masyarakat Indonesia pun harus berambisi segera memulihkan dinamika kehidupan bersama. Syaratnya, harus ditumbuhkan kesadaran dan keinginan bersama memutus rantai penularan COVID-19 guna menghindari kebuntuan akibat terhentinya aktivitas perekonomian.
(nbs)