Taji APBN Hadapi (Ancaman) Inflasi

Kamis, 07 Juli 2022 - 12:10 WIB
Daya beli masyarakat, yang menjadi komponen penting ekonomi nasional, masih terjaga terlihat dari pertumbuhan inflasi inti yang terkendali. Pelaku usaha, terutama industri, kembali aktif mendorong bergeraknya ekonomi. Hal ini tercermin pada Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang mampu bertahan di level ekspansi (50,8), di tengah tekanan global.

Indonesia mampu memaksimalkan tren kenaikan harga komoditas sebagai windfall. Kontributor utama ekspor nasional yang kental dengan komoditas primer, mendongkrak pendapatan negara baik melalui perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menteri Keuangan menyampaikan pada suatu kesempatan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022 hingga akhir Mei lalu surplus Rp132,2 triliun dan diperkirakan mencapai Rp420 triliun hingga akhir tahun.

Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter nasional, keukeuh menahan suku bunga acuan meskipun spread atau selisih suku bunganya dengan surat berharga AS semakin menyempit. Gubernur BI dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa kebijakan The Fed tidak serta merta menaikkan yield obligasi AS (US Treasury), padahal yield itulah yang menjadi pertimbangan para investor portofolio dalam menempatkan investasinya.

Rilis BPS juga menunjukkan bahwa ekonomi nasional Triwulan I tahun 2022 masih mampu tumbuh 5,0% meskipun dihadapkan dengan gelombang Omicron dan kenaikan tensi geopolitik. Pemulihan ekonomi tersebut menjadi pondasi penting ekonomi nasional paling tidak dalam jangka menengah.

Peran APBN sebagai Shock Absorber

Salah satu peran atau fungsi APBN adalah sebagai stabilisasi, dan menjadi penting dalam kondisi penuh tantangan dan ketidakpastian seperti saat ini. APBN harus bisa menjadi shock absorber yang dapat mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat sekaligus tingkat kemiskinan, hingga menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.

Menjalankan peran tersebut, pemerintah mau tidak mau harus mengoptimalkan aktifitas belanjanya. Tidak bisa dielakkan bila belanja pemerintah meningkat, karena harus menjamin subsidi, kompensasi, hingga bantuan sosial (bansos) sebagai antisipasi potensi krisis pangan dan energi. Padahal di sisi lain pemerintah masih dihadapkan pada keberlanjutan APBN, meskipun berita baiknya proyeksi pendapatan negara masih surplus.

Pengalaman APBN yang menjadi tulang punggung menghadapi 2 tahun pandemi dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), harus kembali bekerja keras tahun ini. Demi PEN, APBN menjadi garda terdepan demi menyelamatkan negara, tidak hanya sebagai respons darurat namun juga sebagai penopang konsumsi masyarakat dan keberlangsungan dunia usaha.

Harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang erat kaitannya dengan subsidi, realisasinya saat ini sudah jauh meninggalkan asumsinya di APBN tahun 2022. Selisih yang menganga tersebut otomatis mendorong subsidi menjadi bertambah besar. APBN harus fleksibel dan berani pasang badan menanggung penambahan subsidi maupun kompensasi, agar pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat tetap terjaga.

Proyeksi surplus pendapatan negara tahun 2022 yang diperkirakan Rp420 triliun, efek windfall harga komoditas, harus gercep dimaksimalkan sebagai darah segar APBN. Syukurlah melalui Perpres No 98/2022, pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyepakati penyesuaian beban subsidi untuk masyarakat dan kompensasi dalam rangka dukungan terhadap Pertamina dan PLN yang selama ini menalangi selisih antara Harga Jual Eceran (HJE) dan keekonomiannya.

Perpres tersebut juga menjadi bukti bahwa negara hadir dalam menjaga daya beli masyarakat (miskin), dengan menambah anggaran perlindungan sosial (perlinsos). Klaster perlinsos menurut Menteri Keuangan sejatinya memang dirancang untuk menjaga masyarakat yang terdampak secara ekonomi agar dapat terus memenuhi kebutuhan dasarnya.

Namun perlu diingat bahwa APBN bukan superhero, sehingga perlu untuk dijaga kesehatannya. Alhasil, setelah semua hajat strategis tertangani concern mengurangi defisit wajib diperhatikan.

Alih-alih persiapan menuju defisit APBN tahun 2023 yang kembali di bawah 3%, maka defisit APBN tahun 2022 pun diproyeksikan menjadi 4,5% atau lebih baik dari asumsi awal yang 4,85% PDB. Komitmen konsolidasi fiskal dengan mengupayakan pengelolaan fiskal yang sehat, berdaya tahan, dan berkelanjutan harus terus dijaga.

Reformasi perpajakan yang dimotori Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), harus terus berlanjut. Namun agar reformasi tidak mengganggu jalannya pemulihan ekonomi, maka perlu penguatan sisi belanja melalui program spending better, sehingga belanja negara baik pusat dan daerah semakin efisien dan efektif.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More