Taji APBN Hadapi (Ancaman) Inflasi
loading...
A
A
A
Gatot Priyoharto
Kepala Seksi Direktorat Penerimaan
dan Perencanaan Strategis
Ditjen Bea dan Cukai
ANCAMAN perekonomian Global Dunia saat ini dihantui kekhawatiran pelemahan ekonomi. Hal ini dipicu keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang menaikkan suku bunga acuannya 75 basis poin (1,5 – 1,75%). Aksi yang sebenarnya sudah diprediksi, mengingat tren inflasi AS yang di bulan Juni telah mencapai 8,6% (Bloomberg).
Pilihan The Fed mengerek suku bunga, bisa jadi pintu masuk terjadinya resesi di AS tahun ini dan berpotensi berlangsung hingga tahun 2023. Selain situasi di AS, masih ada ancaman merebaknya kembali Covid-19 di Tiongkok yang disikapi dengan kebijakan Zero Covid sehingga lockdown di sebagian wilayah (Shanghai).
Jangan lupakan perang Ukraina vs Rusia yang tensinya belum mereda dan menimbulkan dampak rembetan yang signifikan. Kedua negara yang berseteru, merupakan salah dua penyuplai kebutuhan pangan dan energi dunia (Eropa), sehingga mengakibatkan suplai menjadi terdisrupsi.
Bila berkepanjangan, maka seretnya pasokan namun demand yang tidak berkurang, jelas mendorong harga menjadi semakin brutal. Harga komoditas, terutama komoditas energi, di pasar global belum terlihat melambat. Kenaikan harga yang meroket otomatis mendorong tingkat inflasi yang juga sudah memberikan tekanan di beberapa negara, dan direspons dengan menaikkan suku bunga acuan.
Bila kebijakan ini diikuti banyak negara, maka bisa menimbulkan pengetatan kebijakan moneter. Pengetatan moneter menyebabkan ruang fiskal global menjadi semakin sempit.
Kombinasi inflasi yang tinggi namun menekan pertumbuhan, mengancam perekonomian dunia menjadi stagflasi tidak terkecuali Indonesia. World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) pun kompak merevisi pertumbuhan ekonomi dunia masing-masing (negatif) 1,2% dan 0,8%, atau menjadi 2,9% dan 3,6% (yoy).
Resiliensi Ekonomi Nasional Diuji
Patut disyukuri bahwa terkendalinya pandemi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di berbagai penjuru dunia lainnya. Bila melihat status kasus maupun kematian harian, merujuk pada worldmeters, maka Covid-19 global trennya terus menurun. Kondusifnya pandemi cukup memberi rasa nyaman dan aman bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi, meskipun tetap waspada dan disiplin protokol kesehatan.
Indonesia sebenarnya mempunyai modal kuat, yaitu hatrik surplus pada Neraca Perdagangan (NP), Neraca Transaksi Berjalan (NTB), hingga Fiskal. Sebagaimana rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei lalu, NP masih mampu surplus USD2,9 Miliar atau menjadi yang ke-25 bulan secara berturut-turut. Surplusnya NP, menjadi pendorong surplusnya NTB yang menurut BI pada Triwulan I tahun 2022 lalu surplus USD0,1 Miliar atau 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Daya beli masyarakat, yang menjadi komponen penting ekonomi nasional, masih terjaga terlihat dari pertumbuhan inflasi inti yang terkendali. Pelaku usaha, terutama industri, kembali aktif mendorong bergeraknya ekonomi. Hal ini tercermin pada Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang mampu bertahan di level ekspansi (50,8), di tengah tekanan global.
Indonesia mampu memaksimalkan tren kenaikan harga komoditas sebagai windfall. Kontributor utama ekspor nasional yang kental dengan komoditas primer, mendongkrak pendapatan negara baik melalui perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menteri Keuangan menyampaikan pada suatu kesempatan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022 hingga akhir Mei lalu surplus Rp132,2 triliun dan diperkirakan mencapai Rp420 triliun hingga akhir tahun.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter nasional, keukeuh menahan suku bunga acuan meskipun spread atau selisih suku bunganya dengan surat berharga AS semakin menyempit. Gubernur BI dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa kebijakan The Fed tidak serta merta menaikkan yield obligasi AS (US Treasury), padahal yield itulah yang menjadi pertimbangan para investor portofolio dalam menempatkan investasinya.
Rilis BPS juga menunjukkan bahwa ekonomi nasional Triwulan I tahun 2022 masih mampu tumbuh 5,0% meskipun dihadapkan dengan gelombang Omicron dan kenaikan tensi geopolitik. Pemulihan ekonomi tersebut menjadi pondasi penting ekonomi nasional paling tidak dalam jangka menengah.
Peran APBN sebagai Shock Absorber
Salah satu peran atau fungsi APBN adalah sebagai stabilisasi, dan menjadi penting dalam kondisi penuh tantangan dan ketidakpastian seperti saat ini. APBN harus bisa menjadi shock absorber yang dapat mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat sekaligus tingkat kemiskinan, hingga menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Menjalankan peran tersebut, pemerintah mau tidak mau harus mengoptimalkan aktifitas belanjanya. Tidak bisa dielakkan bila belanja pemerintah meningkat, karena harus menjamin subsidi, kompensasi, hingga bantuan sosial (bansos) sebagai antisipasi potensi krisis pangan dan energi. Padahal di sisi lain pemerintah masih dihadapkan pada keberlanjutan APBN, meskipun berita baiknya proyeksi pendapatan negara masih surplus.
Pengalaman APBN yang menjadi tulang punggung menghadapi 2 tahun pandemi dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), harus kembali bekerja keras tahun ini. Demi PEN, APBN menjadi garda terdepan demi menyelamatkan negara, tidak hanya sebagai respons darurat namun juga sebagai penopang konsumsi masyarakat dan keberlangsungan dunia usaha.
Harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang erat kaitannya dengan subsidi, realisasinya saat ini sudah jauh meninggalkan asumsinya di APBN tahun 2022. Selisih yang menganga tersebut otomatis mendorong subsidi menjadi bertambah besar. APBN harus fleksibel dan berani pasang badan menanggung penambahan subsidi maupun kompensasi, agar pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Proyeksi surplus pendapatan negara tahun 2022 yang diperkirakan Rp420 triliun, efek windfall harga komoditas, harus gercep dimaksimalkan sebagai darah segar APBN. Syukurlah melalui Perpres No 98/2022, pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyepakati penyesuaian beban subsidi untuk masyarakat dan kompensasi dalam rangka dukungan terhadap Pertamina dan PLN yang selama ini menalangi selisih antara Harga Jual Eceran (HJE) dan keekonomiannya.
Perpres tersebut juga menjadi bukti bahwa negara hadir dalam menjaga daya beli masyarakat (miskin), dengan menambah anggaran perlindungan sosial (perlinsos). Klaster perlinsos menurut Menteri Keuangan sejatinya memang dirancang untuk menjaga masyarakat yang terdampak secara ekonomi agar dapat terus memenuhi kebutuhan dasarnya.
Namun perlu diingat bahwa APBN bukan superhero, sehingga perlu untuk dijaga kesehatannya. Alhasil, setelah semua hajat strategis tertangani concern mengurangi defisit wajib diperhatikan.
Alih-alih persiapan menuju defisit APBN tahun 2023 yang kembali di bawah 3%, maka defisit APBN tahun 2022 pun diproyeksikan menjadi 4,5% atau lebih baik dari asumsi awal yang 4,85% PDB. Komitmen konsolidasi fiskal dengan mengupayakan pengelolaan fiskal yang sehat, berdaya tahan, dan berkelanjutan harus terus dijaga.
Reformasi perpajakan yang dimotori Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), harus terus berlanjut. Namun agar reformasi tidak mengganggu jalannya pemulihan ekonomi, maka perlu penguatan sisi belanja melalui program spending better, sehingga belanja negara baik pusat dan daerah semakin efisien dan efektif.
Saya yakin duet maut konsolidasi fiskal, melalui reformasi perpajakan dan spending better, dan penanganan pandemi yang berkelanjutan, dengan vaksinasi dan protokol kesehatan, mampu membawa bangsa ini melewati ancaman krisis global. Mari kita bekerja keras dan berpikir positif melewati masa sulit ini, karena hidup bukan tentang menunggu badai berlalu tetapi belajar menari di tengah guyuran hujan.
Kepala Seksi Direktorat Penerimaan
dan Perencanaan Strategis
Ditjen Bea dan Cukai
ANCAMAN perekonomian Global Dunia saat ini dihantui kekhawatiran pelemahan ekonomi. Hal ini dipicu keputusan Bank Sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed yang menaikkan suku bunga acuannya 75 basis poin (1,5 – 1,75%). Aksi yang sebenarnya sudah diprediksi, mengingat tren inflasi AS yang di bulan Juni telah mencapai 8,6% (Bloomberg).
Pilihan The Fed mengerek suku bunga, bisa jadi pintu masuk terjadinya resesi di AS tahun ini dan berpotensi berlangsung hingga tahun 2023. Selain situasi di AS, masih ada ancaman merebaknya kembali Covid-19 di Tiongkok yang disikapi dengan kebijakan Zero Covid sehingga lockdown di sebagian wilayah (Shanghai).
Jangan lupakan perang Ukraina vs Rusia yang tensinya belum mereda dan menimbulkan dampak rembetan yang signifikan. Kedua negara yang berseteru, merupakan salah dua penyuplai kebutuhan pangan dan energi dunia (Eropa), sehingga mengakibatkan suplai menjadi terdisrupsi.
Bila berkepanjangan, maka seretnya pasokan namun demand yang tidak berkurang, jelas mendorong harga menjadi semakin brutal. Harga komoditas, terutama komoditas energi, di pasar global belum terlihat melambat. Kenaikan harga yang meroket otomatis mendorong tingkat inflasi yang juga sudah memberikan tekanan di beberapa negara, dan direspons dengan menaikkan suku bunga acuan.
Bila kebijakan ini diikuti banyak negara, maka bisa menimbulkan pengetatan kebijakan moneter. Pengetatan moneter menyebabkan ruang fiskal global menjadi semakin sempit.
Kombinasi inflasi yang tinggi namun menekan pertumbuhan, mengancam perekonomian dunia menjadi stagflasi tidak terkecuali Indonesia. World Bank (WB) dan International Monetary Fund (IMF) pun kompak merevisi pertumbuhan ekonomi dunia masing-masing (negatif) 1,2% dan 0,8%, atau menjadi 2,9% dan 3,6% (yoy).
Resiliensi Ekonomi Nasional Diuji
Patut disyukuri bahwa terkendalinya pandemi tidak hanya terjadi di Indonesia, namun juga terjadi di berbagai penjuru dunia lainnya. Bila melihat status kasus maupun kematian harian, merujuk pada worldmeters, maka Covid-19 global trennya terus menurun. Kondusifnya pandemi cukup memberi rasa nyaman dan aman bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas ekonomi, meskipun tetap waspada dan disiplin protokol kesehatan.
Indonesia sebenarnya mempunyai modal kuat, yaitu hatrik surplus pada Neraca Perdagangan (NP), Neraca Transaksi Berjalan (NTB), hingga Fiskal. Sebagaimana rilis Badan Pusat Statistik (BPS) pada Mei lalu, NP masih mampu surplus USD2,9 Miliar atau menjadi yang ke-25 bulan secara berturut-turut. Surplusnya NP, menjadi pendorong surplusnya NTB yang menurut BI pada Triwulan I tahun 2022 lalu surplus USD0,1 Miliar atau 0,1% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Daya beli masyarakat, yang menjadi komponen penting ekonomi nasional, masih terjaga terlihat dari pertumbuhan inflasi inti yang terkendali. Pelaku usaha, terutama industri, kembali aktif mendorong bergeraknya ekonomi. Hal ini tercermin pada Purchasing Manager Index (PMI) manufaktur yang mampu bertahan di level ekspansi (50,8), di tengah tekanan global.
Indonesia mampu memaksimalkan tren kenaikan harga komoditas sebagai windfall. Kontributor utama ekspor nasional yang kental dengan komoditas primer, mendongkrak pendapatan negara baik melalui perpajakan maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Menteri Keuangan menyampaikan pada suatu kesempatan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2022 hingga akhir Mei lalu surplus Rp132,2 triliun dan diperkirakan mencapai Rp420 triliun hingga akhir tahun.
Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter nasional, keukeuh menahan suku bunga acuan meskipun spread atau selisih suku bunganya dengan surat berharga AS semakin menyempit. Gubernur BI dalam suatu kesempatan menyatakan bahwa kebijakan The Fed tidak serta merta menaikkan yield obligasi AS (US Treasury), padahal yield itulah yang menjadi pertimbangan para investor portofolio dalam menempatkan investasinya.
Rilis BPS juga menunjukkan bahwa ekonomi nasional Triwulan I tahun 2022 masih mampu tumbuh 5,0% meskipun dihadapkan dengan gelombang Omicron dan kenaikan tensi geopolitik. Pemulihan ekonomi tersebut menjadi pondasi penting ekonomi nasional paling tidak dalam jangka menengah.
Peran APBN sebagai Shock Absorber
Salah satu peran atau fungsi APBN adalah sebagai stabilisasi, dan menjadi penting dalam kondisi penuh tantangan dan ketidakpastian seperti saat ini. APBN harus bisa menjadi shock absorber yang dapat mengendalikan inflasi, menjaga daya beli masyarakat sekaligus tingkat kemiskinan, hingga menjaga momentum pemulihan ekonomi nasional.
Menjalankan peran tersebut, pemerintah mau tidak mau harus mengoptimalkan aktifitas belanjanya. Tidak bisa dielakkan bila belanja pemerintah meningkat, karena harus menjamin subsidi, kompensasi, hingga bantuan sosial (bansos) sebagai antisipasi potensi krisis pangan dan energi. Padahal di sisi lain pemerintah masih dihadapkan pada keberlanjutan APBN, meskipun berita baiknya proyeksi pendapatan negara masih surplus.
Pengalaman APBN yang menjadi tulang punggung menghadapi 2 tahun pandemi dengan program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), harus kembali bekerja keras tahun ini. Demi PEN, APBN menjadi garda terdepan demi menyelamatkan negara, tidak hanya sebagai respons darurat namun juga sebagai penopang konsumsi masyarakat dan keberlangsungan dunia usaha.
Harga minyak mentah Indonesia (ICP), yang erat kaitannya dengan subsidi, realisasinya saat ini sudah jauh meninggalkan asumsinya di APBN tahun 2022. Selisih yang menganga tersebut otomatis mendorong subsidi menjadi bertambah besar. APBN harus fleksibel dan berani pasang badan menanggung penambahan subsidi maupun kompensasi, agar pemulihan ekonomi dan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Proyeksi surplus pendapatan negara tahun 2022 yang diperkirakan Rp420 triliun, efek windfall harga komoditas, harus gercep dimaksimalkan sebagai darah segar APBN. Syukurlah melalui Perpres No 98/2022, pemerintah dan Badan Anggaran (Banggar) DPR telah menyepakati penyesuaian beban subsidi untuk masyarakat dan kompensasi dalam rangka dukungan terhadap Pertamina dan PLN yang selama ini menalangi selisih antara Harga Jual Eceran (HJE) dan keekonomiannya.
Perpres tersebut juga menjadi bukti bahwa negara hadir dalam menjaga daya beli masyarakat (miskin), dengan menambah anggaran perlindungan sosial (perlinsos). Klaster perlinsos menurut Menteri Keuangan sejatinya memang dirancang untuk menjaga masyarakat yang terdampak secara ekonomi agar dapat terus memenuhi kebutuhan dasarnya.
Namun perlu diingat bahwa APBN bukan superhero, sehingga perlu untuk dijaga kesehatannya. Alhasil, setelah semua hajat strategis tertangani concern mengurangi defisit wajib diperhatikan.
Alih-alih persiapan menuju defisit APBN tahun 2023 yang kembali di bawah 3%, maka defisit APBN tahun 2022 pun diproyeksikan menjadi 4,5% atau lebih baik dari asumsi awal yang 4,85% PDB. Komitmen konsolidasi fiskal dengan mengupayakan pengelolaan fiskal yang sehat, berdaya tahan, dan berkelanjutan harus terus dijaga.
Reformasi perpajakan yang dimotori Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dan Undang-Undang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD), harus terus berlanjut. Namun agar reformasi tidak mengganggu jalannya pemulihan ekonomi, maka perlu penguatan sisi belanja melalui program spending better, sehingga belanja negara baik pusat dan daerah semakin efisien dan efektif.
Saya yakin duet maut konsolidasi fiskal, melalui reformasi perpajakan dan spending better, dan penanganan pandemi yang berkelanjutan, dengan vaksinasi dan protokol kesehatan, mampu membawa bangsa ini melewati ancaman krisis global. Mari kita bekerja keras dan berpikir positif melewati masa sulit ini, karena hidup bukan tentang menunggu badai berlalu tetapi belajar menari di tengah guyuran hujan.
(poe)