Keadaban dalam Bernegara Hukum

Rabu, 06 Juli 2022 - 16:46 WIB
Walaupun legalitas politik, dan kekuasaan, memiliki sandaran hukum (perundang-undangan), tetapi perilaku para aktor-aktornya, tetap saja tampil sebagai kekuatan. Kondisi demikian sengaja direkayasa, agar hukum dapat tampil seolah-olah berisi kekuasaan yang semakin beradab. Ketelanjangannya sebagai perilaku biadab, diupayakan ditutupi, melalui rumusan pasal, ayat, penafsiran, dan deskresi.

Satjipto Rahardjo (1994) mengekspresikan keprihatinan atas situasi terurai di atas dengan pernyataan: “Pembuatan undang-undang, pengadilan, polisi, aparat birokrasi, penjara adalah penjabaran kekuasaan (negara) ke dalam orde hukum. Manusia warga negara setiap saat berada pada ujung “penodongan” kekuasan seperti itu. Orang harus mematuhi atau menerima risiko berhadapan dengan polisi”.

Sebagaimana berkembang di Amerika Serikat, di negeri ini pun telah sering muncul hired guns (penembak gelap). Oknum-konum dari corporate lawyers, sering bekerja sama dengan oknum aparat, maupun preman, untuk pemenangan perkara di pengadilan. Penahanan, penyanderaan (gijzeling), atau somasi, sering digunakan sebagai prosedur formal. Keampuhan kolaborasi, kong-kalingkong oknum-oknum tersebut sangat gegirisi.

Kembali pada permasalahan peradaban, bahwa kekuasaan mestinya netral, taat pada rambu-rambu hukum. Semua politikus, penguasa, dan penegak hukum, mestinya amanah atas jabatan yang dipercayakan kepadanya. Jangan sampai ada praktik aji mumpung, yakni menggunakan kekuasaan untuk keserakahan. Lord Acton menyatakan bahwa “kekuasaan itu cenderung korup, dan kekuasaan yang mutlak juga akan melakukan korupsi secara besar-besaran”. Bagi manusia beradab, pernyataan Lord Acton itu wajib ditepis, dilawan, diberantas. Perlawanan terhadap kekuasaan korup perlu terus ditingkatkan melalui institusionalisasi civil society (masyarakat berperadaban).

Dalam pada itu, kebiadaban sebagai sisi lain dari potensi dan perilaku manusia, sesungguhnya secara otentik dapat dimarginalkan, bila hukum, politik, dan kekuasaan dibuat, dilaksanakan, dan ditegakkan berdasarkan nilai-nilai moralitas-religius. Dengan kata lain, watak sekuler, liberal, dan serakah, wajib ditaklukkan dengan perilaku religius, amanah, dan visioner.

Dalam rangka peningkatan peradaban, sekaligus pemarginalan kebiadaban, kiranya negeri ini perlu mendayagunakan perlengkapan kenegaraan lain, yakni: moralitas-religius. Mengarusutamakan moralitas-religius dalam semua urusan, hendaknya menjadi program utama membangun sumberdaya manusia seutuhnya dan seluruhnya.

Dalam konteks negara hukum Pancasila, pengarusutamaan moralitas-regiligius itu, dikonkretkan dalam bentuk kehidupan bersama yang sarat dengan keseimbangan, keselarasan, dan keharmonisan. Segenap komponen bangsa wajib terus memupuk budaya musyawarah, dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lintasan sejarah kehidupan manusia telah memberikan bukti-bukti empiris bahwa melalui pengarusutamaan moralitas-religius, suatu bangsa dapat meraih kehidupan gemah-ripah loh jinawi, tata titi tentrem, kerta raharja, dalam rahmat Allah SWT.

Walllahu’alam.

Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More