Gaya Hidup Digital Zaman Pandemi
Kamis, 25 Juni 2020 - 14:38 WIB
Maka, webinar, Ig live, maupun pertemuan online lainnya yang tampak marak itu, hanya pergeseran ruang. Pergeseran dari ruang analog ke ruang digital. Syaratnya, selama seseorang punya akun aplikasi digital tertentu dan perangkatnya terhubung dengan jaringan internet, hajat memanggungkan gagasan terfasilitasi.
Pelaku yang semula sebatas mereka yang punya prestasi diakui publik lantaran kepakaran, keahlian, gelar juara maupun kesohoran lainnya, sekarang bisa dilakukan siapa saja. Asal mereka ini punya akun dan follower sebagai audiens. Terjadi demokratisasi media dan ekspresi diri. Ini sesungguhnya bukan hal baru.
Adanya perangkat digital beserta aplikasinya, dan akses pada internet, memberi bagi pada siapapun, untuk memproduksi dan mendistribusikan konten. Inilah implikasi era user generated content.
Sepantasnya, definisi pesohor, artis, selebritis, figure public, tidak lagi ditentukan oleh pihak luar yang memberi kesempatan maupun medium untuk tampil. Setiap orang lewat produksi dan distribusi konten yang konsisten, boleh mendefinisikan diri sebagai pesohor.
Jika persoalannya ada yang mengakui atau tidak, itu soal lain. Tiadanya pengakuan itu, tak menghalanginya untuk kerap melakukan Ig Live, atau menawarkan webinar gratis. Dan hari-hari ini, gejala itu terbukti: banyak kalangan nobody, namun intensif memproduksi dan mendistribusi konten, ketenaran pribadinya terbentuk. Ia berhasil menjadi somebody dan memiliki penggemar.
Semangat nobody yang melakukan Ig live, webinar, berbagi tentang apa saja kepada follower-nya, tak peduli jumlah pesertanya sedikit atau banyak, dapat disamakan dengan motif melakukan posting di media sosial zaman pra-pandemi.
Hadirnya Ig Live, webinar pertemuan online, di waktu akan datang mungkin dalam bentuk baru, itu jadi konsekuensi media sosial dengan kecanggihan fitur-fitur yang mampu mewadahi aneka ekspresi. Media ini dapat dimanfaatkan untuk memediasi aktivitas sosial apapun. Sehingga terhadap pihak yang terganggu dengan interupsi Ig Live yang sedang berlangsung, tersedia fitur untuk mematikan notifikasi live. Mestinya itu tidak jadi soal. Atau cara yang paling final, unfollow saja mereka yang sering melakukan Ig Live. Habis perkara.
Adanya keluhan nyinyir, “duh orang ini sok penting banget”, justru menunjukkan posisi ahistoris pelontarnya. Dan itu, tentu saja mengingkari hakikat media sosial itu sendiri. Coba bayangkan era dimana belum ada blog, dimana orang belum pernah ada yang memampangkan catatan hariannya, bahkan catatan yang tak istimewa. Era sebelum ada Facebook, dimana tak lazim orang mem-posting keluh kesahnya di hadapan khalayak. Atau era sebelum populernya instagram, yang tidak memberi kesempatan orang memamerkan foto makanan yang hendak disantapnya.
Keberadaan media-media digital ini, memberi panggung bagi siapapun, bahkan orang tak penting dengan kegiatan biasa-biasa saja, maupun atraksi yang tak istimewa atau informasi yang ada urusannya dengan keperluan hidup khalayak luas, untuk tampil di hadapan khalayak luas.
Maka demikian juga dengan Ig Live, maupun webinar, dimana orang tak penting beserta gagasan yang tak selalu ada gunanya, juga tidak bisa dibendung kehadirannya. Itu adalah konsekuensi media digital yang user generated content. Itu semua adalah implikasi demokratisasi media.
Pelaku yang semula sebatas mereka yang punya prestasi diakui publik lantaran kepakaran, keahlian, gelar juara maupun kesohoran lainnya, sekarang bisa dilakukan siapa saja. Asal mereka ini punya akun dan follower sebagai audiens. Terjadi demokratisasi media dan ekspresi diri. Ini sesungguhnya bukan hal baru.
Adanya perangkat digital beserta aplikasinya, dan akses pada internet, memberi bagi pada siapapun, untuk memproduksi dan mendistribusikan konten. Inilah implikasi era user generated content.
Sepantasnya, definisi pesohor, artis, selebritis, figure public, tidak lagi ditentukan oleh pihak luar yang memberi kesempatan maupun medium untuk tampil. Setiap orang lewat produksi dan distribusi konten yang konsisten, boleh mendefinisikan diri sebagai pesohor.
Jika persoalannya ada yang mengakui atau tidak, itu soal lain. Tiadanya pengakuan itu, tak menghalanginya untuk kerap melakukan Ig Live, atau menawarkan webinar gratis. Dan hari-hari ini, gejala itu terbukti: banyak kalangan nobody, namun intensif memproduksi dan mendistribusi konten, ketenaran pribadinya terbentuk. Ia berhasil menjadi somebody dan memiliki penggemar.
Semangat nobody yang melakukan Ig live, webinar, berbagi tentang apa saja kepada follower-nya, tak peduli jumlah pesertanya sedikit atau banyak, dapat disamakan dengan motif melakukan posting di media sosial zaman pra-pandemi.
Hadirnya Ig Live, webinar pertemuan online, di waktu akan datang mungkin dalam bentuk baru, itu jadi konsekuensi media sosial dengan kecanggihan fitur-fitur yang mampu mewadahi aneka ekspresi. Media ini dapat dimanfaatkan untuk memediasi aktivitas sosial apapun. Sehingga terhadap pihak yang terganggu dengan interupsi Ig Live yang sedang berlangsung, tersedia fitur untuk mematikan notifikasi live. Mestinya itu tidak jadi soal. Atau cara yang paling final, unfollow saja mereka yang sering melakukan Ig Live. Habis perkara.
Adanya keluhan nyinyir, “duh orang ini sok penting banget”, justru menunjukkan posisi ahistoris pelontarnya. Dan itu, tentu saja mengingkari hakikat media sosial itu sendiri. Coba bayangkan era dimana belum ada blog, dimana orang belum pernah ada yang memampangkan catatan hariannya, bahkan catatan yang tak istimewa. Era sebelum ada Facebook, dimana tak lazim orang mem-posting keluh kesahnya di hadapan khalayak. Atau era sebelum populernya instagram, yang tidak memberi kesempatan orang memamerkan foto makanan yang hendak disantapnya.
Keberadaan media-media digital ini, memberi panggung bagi siapapun, bahkan orang tak penting dengan kegiatan biasa-biasa saja, maupun atraksi yang tak istimewa atau informasi yang ada urusannya dengan keperluan hidup khalayak luas, untuk tampil di hadapan khalayak luas.
Maka demikian juga dengan Ig Live, maupun webinar, dimana orang tak penting beserta gagasan yang tak selalu ada gunanya, juga tidak bisa dibendung kehadirannya. Itu adalah konsekuensi media digital yang user generated content. Itu semua adalah implikasi demokratisasi media.
tulis komentar anda