Gaya Hidup Digital Zaman Pandemi
loading...
A
A
A
Dr Firman Kurniawan S
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, pendiri LITEROS.org
PANDEMI Covid-19 mengubah banyak hal. Bukan hanya soal perilaku hidup sehat yang dipaksa berubah demi mencegah penularan. Namun cara berperilaku dan menggunakan perangkat komunikasi digital, drastis mengalami penyesuaian.
Dan justru mungkin perubahan ini, yang lebih cocok disebut sebagai new normal ketimbang new normal yang artinya jalani hidup sehari-hari seakan normal, tapi bersama virus yang sejatinya tetap mengintai.
Fenomena nyata hari ini, aneka platform aplikasi digital yang selama pra-pandemi digunakan sebatas fungsi intinya, Instagram untuk pampangkan foto, Twitter untuk sampaikan lontaran-lontaran pendek dan Youtube untuk menampung atraksi audiovisual berdurasi sedang, di zaman pandemi ada gejala pemakaian fitur aplikasi hingga maksimal.
Pelaku pemaksimalan, juga kalangan yang lebih luas. Pesohor yang telah tenar namanya, hingga orang biasa yang bukan siapa-siapa. Coba saja buka aplikasi Instagram sebagaimana lazimnya. Tak berapa lama akan muncul notifikasi berlangsungnya Instagram Live oleh seseorang. Tentu seseorang ini, telah Anda ikuti akunnya.
Fenomenanya, untuk tampil Ig Live ala pesohor, tak harus seseorang berasal dari kalangan pesohor. Siapa saja boleh. Atau periksa Facebook maupun Twitter, tawaran webinar bertopik sangat sehari-hari hingga tema yang menyangkut hajat hidup orang sejagad, bertaburan di berbagai platform. Pelakunya tak harus akademisi tenar, seniman kondang, olahragawan juara atau artis ternama. Kalangan orang biasa, bebas tampil.
Hingga seorang rekan jurnalis merepresentasi rasa sebal beberapa pihak, “Duh, orang ini sok penting betul, bukan pesohor tapi rajin banget live streaming. Obrolannya pun nggak terlalu penting”.
Terhadap gejala di atas hal yang dapat dipahami, relasi lazim yang biasa dilakukan lewat kehadiran fisik, membagi pengetahuan lewat seminar di hotel atau belajar mengajar di ruang-ruang kelas maupun kampus, di jaman pandemi ini semua sudah tahu, terhalang untuk jumpa fisik. Keperluan kehadiran mau tak mau ditumpukan pada fitur-fitur perangkat digital.
Maka, webinar, Ig live, maupun pertemuan online lainnya yang tampak marak itu, hanya pergeseran ruang. Pergeseran dari ruang analog ke ruang digital. Syaratnya, selama seseorang punya akun aplikasi digital tertentu dan perangkatnya terhubung dengan jaringan internet, hajat memanggungkan gagasan terfasilitasi.
Pelaku yang semula sebatas mereka yang punya prestasi diakui publik lantaran kepakaran, keahlian, gelar juara maupun kesohoran lainnya, sekarang bisa dilakukan siapa saja. Asal mereka ini punya akun dan follower sebagai audiens. Terjadi demokratisasi media dan ekspresi diri. Ini sesungguhnya bukan hal baru.
Adanya perangkat digital beserta aplikasinya, dan akses pada internet, memberi bagi pada siapapun, untuk memproduksi dan mendistribusikan konten. Inilah implikasi era user generated content.
Sepantasnya, definisi pesohor, artis, selebritis, figure public, tidak lagi ditentukan oleh pihak luar yang memberi kesempatan maupun medium untuk tampil. Setiap orang lewat produksi dan distribusi konten yang konsisten, boleh mendefinisikan diri sebagai pesohor.
Jika persoalannya ada yang mengakui atau tidak, itu soal lain. Tiadanya pengakuan itu, tak menghalanginya untuk kerap melakukan Ig Live, atau menawarkan webinar gratis. Dan hari-hari ini, gejala itu terbukti: banyak kalangan nobody, namun intensif memproduksi dan mendistribusi konten, ketenaran pribadinya terbentuk. Ia berhasil menjadi somebody dan memiliki penggemar.
Semangat nobody yang melakukan Ig live, webinar, berbagi tentang apa saja kepada follower-nya, tak peduli jumlah pesertanya sedikit atau banyak, dapat disamakan dengan motif melakukan posting di media sosial zaman pra-pandemi.
Hadirnya Ig Live, webinar pertemuan online, di waktu akan datang mungkin dalam bentuk baru, itu jadi konsekuensi media sosial dengan kecanggihan fitur-fitur yang mampu mewadahi aneka ekspresi. Media ini dapat dimanfaatkan untuk memediasi aktivitas sosial apapun. Sehingga terhadap pihak yang terganggu dengan interupsi Ig Live yang sedang berlangsung, tersedia fitur untuk mematikan notifikasi live. Mestinya itu tidak jadi soal. Atau cara yang paling final, unfollow saja mereka yang sering melakukan Ig Live. Habis perkara.
Adanya keluhan nyinyir, “duh orang ini sok penting banget”, justru menunjukkan posisi ahistoris pelontarnya. Dan itu, tentu saja mengingkari hakikat media sosial itu sendiri. Coba bayangkan era dimana belum ada blog, dimana orang belum pernah ada yang memampangkan catatan hariannya, bahkan catatan yang tak istimewa. Era sebelum ada Facebook, dimana tak lazim orang mem-posting keluh kesahnya di hadapan khalayak. Atau era sebelum populernya instagram, yang tidak memberi kesempatan orang memamerkan foto makanan yang hendak disantapnya.
Keberadaan media-media digital ini, memberi panggung bagi siapapun, bahkan orang tak penting dengan kegiatan biasa-biasa saja, maupun atraksi yang tak istimewa atau informasi yang ada urusannya dengan keperluan hidup khalayak luas, untuk tampil di hadapan khalayak luas.
Maka demikian juga dengan Ig Live, maupun webinar, dimana orang tak penting beserta gagasan yang tak selalu ada gunanya, juga tidak bisa dibendung kehadirannya. Itu adalah konsekuensi media digital yang user generated content. Itu semua adalah implikasi demokratisasi media.
Justru pertanyaan besarnya, lalu apa yang baru dan salah dari Ig Live maupun webinar gratis yang dapat dilakukan oleh setiap orang, pada perangkat media digital yang dimilikinya, selama tidak melanggar etika komunikasi?
Pemerhati Budaya dan Komunikasi Digital, pendiri LITEROS.org
PANDEMI Covid-19 mengubah banyak hal. Bukan hanya soal perilaku hidup sehat yang dipaksa berubah demi mencegah penularan. Namun cara berperilaku dan menggunakan perangkat komunikasi digital, drastis mengalami penyesuaian.
Dan justru mungkin perubahan ini, yang lebih cocok disebut sebagai new normal ketimbang new normal yang artinya jalani hidup sehari-hari seakan normal, tapi bersama virus yang sejatinya tetap mengintai.
Fenomena nyata hari ini, aneka platform aplikasi digital yang selama pra-pandemi digunakan sebatas fungsi intinya, Instagram untuk pampangkan foto, Twitter untuk sampaikan lontaran-lontaran pendek dan Youtube untuk menampung atraksi audiovisual berdurasi sedang, di zaman pandemi ada gejala pemakaian fitur aplikasi hingga maksimal.
Pelaku pemaksimalan, juga kalangan yang lebih luas. Pesohor yang telah tenar namanya, hingga orang biasa yang bukan siapa-siapa. Coba saja buka aplikasi Instagram sebagaimana lazimnya. Tak berapa lama akan muncul notifikasi berlangsungnya Instagram Live oleh seseorang. Tentu seseorang ini, telah Anda ikuti akunnya.
Fenomenanya, untuk tampil Ig Live ala pesohor, tak harus seseorang berasal dari kalangan pesohor. Siapa saja boleh. Atau periksa Facebook maupun Twitter, tawaran webinar bertopik sangat sehari-hari hingga tema yang menyangkut hajat hidup orang sejagad, bertaburan di berbagai platform. Pelakunya tak harus akademisi tenar, seniman kondang, olahragawan juara atau artis ternama. Kalangan orang biasa, bebas tampil.
Hingga seorang rekan jurnalis merepresentasi rasa sebal beberapa pihak, “Duh, orang ini sok penting betul, bukan pesohor tapi rajin banget live streaming. Obrolannya pun nggak terlalu penting”.
Terhadap gejala di atas hal yang dapat dipahami, relasi lazim yang biasa dilakukan lewat kehadiran fisik, membagi pengetahuan lewat seminar di hotel atau belajar mengajar di ruang-ruang kelas maupun kampus, di jaman pandemi ini semua sudah tahu, terhalang untuk jumpa fisik. Keperluan kehadiran mau tak mau ditumpukan pada fitur-fitur perangkat digital.
Maka, webinar, Ig live, maupun pertemuan online lainnya yang tampak marak itu, hanya pergeseran ruang. Pergeseran dari ruang analog ke ruang digital. Syaratnya, selama seseorang punya akun aplikasi digital tertentu dan perangkatnya terhubung dengan jaringan internet, hajat memanggungkan gagasan terfasilitasi.
Pelaku yang semula sebatas mereka yang punya prestasi diakui publik lantaran kepakaran, keahlian, gelar juara maupun kesohoran lainnya, sekarang bisa dilakukan siapa saja. Asal mereka ini punya akun dan follower sebagai audiens. Terjadi demokratisasi media dan ekspresi diri. Ini sesungguhnya bukan hal baru.
Adanya perangkat digital beserta aplikasinya, dan akses pada internet, memberi bagi pada siapapun, untuk memproduksi dan mendistribusikan konten. Inilah implikasi era user generated content.
Sepantasnya, definisi pesohor, artis, selebritis, figure public, tidak lagi ditentukan oleh pihak luar yang memberi kesempatan maupun medium untuk tampil. Setiap orang lewat produksi dan distribusi konten yang konsisten, boleh mendefinisikan diri sebagai pesohor.
Jika persoalannya ada yang mengakui atau tidak, itu soal lain. Tiadanya pengakuan itu, tak menghalanginya untuk kerap melakukan Ig Live, atau menawarkan webinar gratis. Dan hari-hari ini, gejala itu terbukti: banyak kalangan nobody, namun intensif memproduksi dan mendistribusi konten, ketenaran pribadinya terbentuk. Ia berhasil menjadi somebody dan memiliki penggemar.
Semangat nobody yang melakukan Ig live, webinar, berbagi tentang apa saja kepada follower-nya, tak peduli jumlah pesertanya sedikit atau banyak, dapat disamakan dengan motif melakukan posting di media sosial zaman pra-pandemi.
Hadirnya Ig Live, webinar pertemuan online, di waktu akan datang mungkin dalam bentuk baru, itu jadi konsekuensi media sosial dengan kecanggihan fitur-fitur yang mampu mewadahi aneka ekspresi. Media ini dapat dimanfaatkan untuk memediasi aktivitas sosial apapun. Sehingga terhadap pihak yang terganggu dengan interupsi Ig Live yang sedang berlangsung, tersedia fitur untuk mematikan notifikasi live. Mestinya itu tidak jadi soal. Atau cara yang paling final, unfollow saja mereka yang sering melakukan Ig Live. Habis perkara.
Adanya keluhan nyinyir, “duh orang ini sok penting banget”, justru menunjukkan posisi ahistoris pelontarnya. Dan itu, tentu saja mengingkari hakikat media sosial itu sendiri. Coba bayangkan era dimana belum ada blog, dimana orang belum pernah ada yang memampangkan catatan hariannya, bahkan catatan yang tak istimewa. Era sebelum ada Facebook, dimana tak lazim orang mem-posting keluh kesahnya di hadapan khalayak. Atau era sebelum populernya instagram, yang tidak memberi kesempatan orang memamerkan foto makanan yang hendak disantapnya.
Keberadaan media-media digital ini, memberi panggung bagi siapapun, bahkan orang tak penting dengan kegiatan biasa-biasa saja, maupun atraksi yang tak istimewa atau informasi yang ada urusannya dengan keperluan hidup khalayak luas, untuk tampil di hadapan khalayak luas.
Maka demikian juga dengan Ig Live, maupun webinar, dimana orang tak penting beserta gagasan yang tak selalu ada gunanya, juga tidak bisa dibendung kehadirannya. Itu adalah konsekuensi media digital yang user generated content. Itu semua adalah implikasi demokratisasi media.
Justru pertanyaan besarnya, lalu apa yang baru dan salah dari Ig Live maupun webinar gratis yang dapat dilakukan oleh setiap orang, pada perangkat media digital yang dimilikinya, selama tidak melanggar etika komunikasi?
(dam)