Agama dan Ideologi Masyarakat Multikultural
Jum'at, 10 Juni 2022 - 18:01 WIB
Banyak yang menyangka hasrat atas Negara Islam Indonesia (NII) sudah wasalam semenjak penggeraknya, SM Kartosoewirjo, dihukum mati. Namun, baru-baru ini, diwartakan telah banyak simpatisan aktif NII hingga ribuan orang, tersebar di banyak daerah. “Kesuksesan” perekrutan ini tidak lepas dari daya tarik penggunaan embel-embel “negara Islam” sebagai brand yang dianggap paling “menjual”. Karena bakal bertabrakan dengan realitas yang majemuk, NII senyatanya tidak mendapatkan simpati rakyat Indonesia bahkan oleh mayoritas umat Islam. Tersebab keberadaannya mencederai nilai kebersamaan multikultural dan mendatangkan kemudaratan berupa perpecahan anak bangsa. Karena itu, sudah jauh-jauh hari sebelum perancangan Republik ini, para pendiri bangsa mewanti-wanti untuk selalu memperjuangkan konsep negara "islam" dengan huruf “i” kecil.
Negara “islam” dengan huruf “i” kecil, berarti Islam sebagai nilai dan praktik luhur dalam rangka menjalankan fungsi negara yang didiami oleh beraneka ragam suku dan penganut agama. Dari sinilah, kita bisa melihat kecemerlangan pemikiran dan langkah tokoh-tokoh Islam seperti KH. Wahid Hasyim, Agus Salim, Soekarno, Moh Hatta yang menempatkan secara tepat relasi negara dan agama.
Cara-cara kekerasan, teror, pemberontakan, yang selalu dipakai kelompok yang melabelkan dirinya dengan “negara Islam”, baik yang dilakukan NII maupun ISIS, justru menjadi bukti valid bahwa gerakan ini lebih sebagai kelompok kriminal yang mendompleng istilah-istilah keagamaan dengan motif politik-ekonomi. Sekaligus menunjukkan gagal paham dan salah kaprah terhadap definisi dan implementasi “negara Islam” itu sendiri. Padahal senyatanya, yang mesti terus diperjuangkan adalah ikhtiar bernegara-berbangsa dengan islami alias laku masyarakat yang senantiasa menyunggi tinggi keadaban publik.
Kebangsaan Buya Syafii
Dalam buku Titik-titik Kisar di Perjalananku (2009), Buya Syafii Maarif pernah mencita-citakan bentuk negara Islam di Indonesia. Hingga kemudian saat berguru kepada tokoh besar dunia, Fazlur Rahman, lekas menginsyafi hasrat tersebut. Buya Syafii lantas memilih jalan inklusif dan progresif. Bersama Gus Dur, keduanya menganggap tidak perlu untuk memformalkan agama dalam struktur baku pemerintahan (hukum negara). Islam sebagai agama, diidealkannya sebagai spirit dan inspirasi kehidupan umat dan masyarakat.
Pemformalan agama menjadi hukum negara dikhawatirkan mendiskrimanasikan penganut agama lain. Dengan kata lain, sekiranya agama dijalankan sebagai tata nilai dan senyawa yang mengilhami atas pelbagai macam produk undang-undang pemerintahan-kenegaraan. Agama menggelarkan cita-cita ideal pembentukan karakter pemerintahan seperti keadilan, amanah, dan penolakan atas kezaliman.
Usia panjang Buya Syafii yang mestinya genap berulang tahun ke-87 pada 31 Mei 2022, senyatanya memberikan banyak pengalaman dan pembelajaran hidup terhadap dinamika perkembangan negeri ini bagi generasi penerus bangsa selanjutnya. Berdasar itu, kiranya penting menjadikan sikap dan pikiran Buya Syafii tersebut, sebagai basis pegangan dan rujukan guna merawat eksistensi NKRI dan kerukunan masyarakat kita yang multikultural ini. Wallahu a’lam.
Baca Juga: koran-sindo.com
Negara “islam” dengan huruf “i” kecil, berarti Islam sebagai nilai dan praktik luhur dalam rangka menjalankan fungsi negara yang didiami oleh beraneka ragam suku dan penganut agama. Dari sinilah, kita bisa melihat kecemerlangan pemikiran dan langkah tokoh-tokoh Islam seperti KH. Wahid Hasyim, Agus Salim, Soekarno, Moh Hatta yang menempatkan secara tepat relasi negara dan agama.
Cara-cara kekerasan, teror, pemberontakan, yang selalu dipakai kelompok yang melabelkan dirinya dengan “negara Islam”, baik yang dilakukan NII maupun ISIS, justru menjadi bukti valid bahwa gerakan ini lebih sebagai kelompok kriminal yang mendompleng istilah-istilah keagamaan dengan motif politik-ekonomi. Sekaligus menunjukkan gagal paham dan salah kaprah terhadap definisi dan implementasi “negara Islam” itu sendiri. Padahal senyatanya, yang mesti terus diperjuangkan adalah ikhtiar bernegara-berbangsa dengan islami alias laku masyarakat yang senantiasa menyunggi tinggi keadaban publik.
Kebangsaan Buya Syafii
Dalam buku Titik-titik Kisar di Perjalananku (2009), Buya Syafii Maarif pernah mencita-citakan bentuk negara Islam di Indonesia. Hingga kemudian saat berguru kepada tokoh besar dunia, Fazlur Rahman, lekas menginsyafi hasrat tersebut. Buya Syafii lantas memilih jalan inklusif dan progresif. Bersama Gus Dur, keduanya menganggap tidak perlu untuk memformalkan agama dalam struktur baku pemerintahan (hukum negara). Islam sebagai agama, diidealkannya sebagai spirit dan inspirasi kehidupan umat dan masyarakat.
Pemformalan agama menjadi hukum negara dikhawatirkan mendiskrimanasikan penganut agama lain. Dengan kata lain, sekiranya agama dijalankan sebagai tata nilai dan senyawa yang mengilhami atas pelbagai macam produk undang-undang pemerintahan-kenegaraan. Agama menggelarkan cita-cita ideal pembentukan karakter pemerintahan seperti keadilan, amanah, dan penolakan atas kezaliman.
Usia panjang Buya Syafii yang mestinya genap berulang tahun ke-87 pada 31 Mei 2022, senyatanya memberikan banyak pengalaman dan pembelajaran hidup terhadap dinamika perkembangan negeri ini bagi generasi penerus bangsa selanjutnya. Berdasar itu, kiranya penting menjadikan sikap dan pikiran Buya Syafii tersebut, sebagai basis pegangan dan rujukan guna merawat eksistensi NKRI dan kerukunan masyarakat kita yang multikultural ini. Wallahu a’lam.
Baca Juga: koran-sindo.com
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda