Agama dan Ideologi Masyarakat Multikultural

Jum'at, 10 Juni 2022 - 18:01 WIB
Muhammad Itsbatun Najih (Foto: Ist)
Muhammad Itsbatun Najih

Alumnus Madrasah Ibtidaul Falah, Kudus

SEBUAH masjid di Afghanistan menjadi sasaran teror bom saat gelaran salat Jumat, 22 April 2022. Puluhan jamaah meninggal dunia. Kejadian biadab itu hanya selang sehari, di mana teror bom serupa menyasar masjid komunitas Syiah di kota berbeda. Belasan orang meninggal dunia. Belakangan, ISIS alias Islamic State of Iraq and Syriamengklaim sebagai pelaku. Pun sebelumnya di Pakistan; pada Jumat, 4 Maret 2022, terjadi ledakan bom yang menarget masjid. Puluhan orang meregang nyawa. Kembali ISIS mendaku bertanggung jawab atas serangan brutal saat jamaah menggelar salat Jumat.

Dari dua peristiwa di dua negara berpenduduk mayoritas muslim itu, kita perlu menebalkan bahasan bahwa aksi terorisme dilakukan oleh mereka yang membawa jargon “Islamic State/Negara islam”. Kelompok ini amat tega menyasar orang yang sedang beribadah dan notabene sesama muslim pula (seagama). Dari sini bisa disimpulkan bahwa diksi “negara Islam” yang mereka tempelkan dalam identitas gerakan dan ideologi-pahamnya, adalah sekadar kedok yang justru mencemarkan dan merusak nama Islam itu sendiri sebagai agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Dengan memelintir tafsiran narasi “negara Islam”, lantas dibangunlah sebuah justifikasi bahwa yang tidak sepaham dengan kelompoknya, merupakan musuh dan kudu dilenyapkan; meski saudara seagama-sebangsa sekalipun. Di sinilah persoalan mulai timbul berkait penggunaan serta pemahaman atas “negara Islam”. Yakni, adanya kesewenang-wenangan yang menyeruak kepada pihak yang tidak sepaham/segolongan. Dus, upaya perwujudan “negara Islam” menjadi absurd. Islam dalam praktiknya, dipahami dan dijalankan oleh banyak mazhab serta firkah. Dan, masing-masing mazhab tidak bisa mengklaim golongannya paling otoritatif mewakili Islam.



Realitas juga menunjukkan bahwa negara-negara mayoritas muslim pun, memiliki corak pemerintahan yang berbeda-beda. Mulai dari sistem kerajaan hingga republik. Sedangkan agama Islam dijalankan sebagai tata nilai dan senyawa yang mengilhami atas pelbagai macam produk undang-undang pemerintahan-kenegaraan. Dari sini terlihat jelas, bahwa Islam sesungguhnya hanya menggelarkan cita-cita ideal pembentukan kepemimpinan seperti keadilan, amanah, dan penolakan atas kezaliman. Sedangkan babakan teknis, sepenuhnya merupakan area ijtihadiyyah; yang bentuknya beraneka rupa mengikuti corak dan habitus masing-masing wilayah.

Namun, bukan berarti pula agama lantas tersingkirkan. Kita bisa simak contoh perundang-undangan di Indonesia. Domain hajat hidup yang menyangkut urusan internal umat, sudah terakomodasi dengan pelbagai produk undang-undang macam zakat, haji, perkawinan. Menjawab relasi agama dan negara seperti inilah, kiranya bisa dianggap sebagai sebuah konsepsi “negara Islam” yang semestinya dan bisa diterima semua kalangan. Tidak ada teks agama yang secara sarih menjelaskan bentuk negara/pemerintahan, justru bisa dimaknai sebagai keluasan Islam dalam memayungi atas domain ijtihad masyarakat di pelbagai wilayah untuk menentukan model penyelenggaraan pemerintahan.

Absurditas NII

Dalam konteks Indonesia, setidaknya penggunaan label “negara Islam” sudah tersemat saat Republik baru seumur jagung. Padahal semua pihak telah bersepakat konsepsi negara Indonesia dengan Pancasila sebagai ideologi negara, sudah menjadi bagian dari ejawantah “negara Islam” (baca: negara islami). Tapi, karena faktor tendensi kuasa dan ego, sebagian kelompok melakukan perlawanan alias makar kepada pemerintahan sah. Kelompok ini mendompleng label yang seakan-akan religius; padahal di baliknya dominan hasrat beroleh kekuasaan besar.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More