Ijtihad Manajemen dan Fiqhiyyah Haji

Senin, 09 Mei 2022 - 07:46 WIB
Konon negosiasi pemerintah Indonesia masih berjalan terus untuk menambah kuota. Ini adalah ijtihad manajemen. Risiko publik adalah rumor dan gosip, sebagaimana juga hal-hal lain di negeri ini. Media sosial jika sudah mengambil peran, para netizen (warga internet) jauh lebih bersemangat daripada wartawan koran nasional dilihat dari segi persebaran gosip.

Misalnya, ada yang mengaitkan dana haji dengan pembangunan Ibukota Negara baru (IKN), bahwa dana haji akan dialihkan ke sana. Tidak penting siapa dan bagaimana gosip ini muncul, tetapi tahun-tahun politik menjelang 2024 mempengaruhi pola pikir warga Nusantara tercinta. Persoalan tidak pada persoalan itu sendiri, tetapi sensasi akan bisa mengalahkan esensi, sebagaimana biasa.

Dana haji sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2014 dan PP Nomor 5 Tahun 2018 yang pengelolaannya sudah di dalam manajemen BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Berbagai skema pengelolaan juga sudah modern dan transparan.

Ijtihad manajemen yang juga menyangkut pelayanan patut diapresiasi, baik pemerintah Saudi ataupun negara-negara yang mengirim jamaah, termasuk juga pemerintah Indonesia. Namun ijtihad idarati ini tidak bisa dimaksimalkan lagi selama ijtihad fiqhi tidak juga dipikirkan.

Diatur bagaimana pun juga secara tempat (makan) dan secara waktu (zaman) akan menumpuk di Makkah, Madinah dan Arafah di waktu yang sama, yaitu 9-13 Dzulhijjah. Jadi tidak mungkin menambah quota secara berlebih, karena harus berbagi sekian juta Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji dari berbagai negara dengan waktu dan tempat tertentu dan terbatas.

Kita lihat waiting list (antrian masa tunggu) di situs resmi Kemenag yang lengkap dari berbagai provinsi. Antrian tercepat saja tujuh tahun, sedangkan yang terlama bisa mencapai tiga puluh satu tahun. Jadi daftar sekarang tahun 2022, bisa melaksanakan ibadah haji tahun 2053. Ijtihad manejemen ada batasnya, perlu melakukan ijtihad fiqhi.

Sejak tahun 1990-an gagasan tentang zaman (bukan makan) sudah dilontarkan oleh Masdar F Mas'udi. Beliau adalah alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktivis dan direktur P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) sekaligus dulu Katib Syuriah PBNU.

Beliau menyoroti tafsir surah al-Baqarah ayat 197, al-hajj ashhurun ma’lumat (waktu haji adalah bulan-bulan tertentu). Demikian juga hadits yang berbunyi al-hajj arafah, tidak merujuk pada waktu tetapi tempat. Haji dilaksanakan di tempat tertentu, tetapi waktu bisa dinegosiasikan ulang, atau ditafsir ulang. Gagasan yang perlu mendapat perhatian dan dibahas secar serius. Begitu wawancaranya dengan Ulil Abshar Abdalla, sekarang direktur Lakpesdam PBNU.

Kita lihat sekarang dari segi perkembangan industri halal di dunia, haji dan umrah termasuk bisnis yang sangat menjanjikan. Peminat dari kalangan Muslim yang ingin melaksanakan ziarah ke tanah suci tak terbendung, sebagaimana juga terjadi bagi umat Katolik ke Vatikan, umat Kristen ke Jerusalem, Buddha ke Tibet, Hindu mungkin ke India, Konghucu mungkin ke China, Bahai ke tempel di Israel atau Amerika, dan lain-lain.

Ziarah ke tempat asal mula agama dan para nabi-nabi dalam berjuang membangun umat adalah fenomena semua agama. Karena meningkatnya ekonomi umat Islam di Indonesia dan dunia, haji akan lebih menantang dari segi manajemen. Menajemen tanpa ditopang perubahan teologi, dalam bahasa ritual Islamnya adalah fiqh, akan sulit.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More