Ijtihad Manajemen dan Fiqhiyyah Haji

Senin, 09 Mei 2022 - 07:46 WIB
loading...
Ijtihad Manajemen dan Fiqhiyyah Haji
Setelah merayakan Idul Fitri dan menikmati ijtihad mudik dan halal bihalal, kita menanti ijtihad yang lain. Sebentar lagi kita memasuki musim haji. Foto/Ilustrasi/REUTERS
A A A
Al Makin
Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

SETELAH merayakan Idul Fitri dan menikmati ijtihad mudik dan halal bihalal, kita menanti ijtihad yang lain. Sebentar lagi kita memasuki musim haji yang selama masa pandemi harus terhenti total. Virus gaib ini memaksa kita umat beragama untuk melakukan terobosan-terobosan yang spektakuler.

Perkumpulan jamaah kita ketati demi protokol kesehatan, baik menurut fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) ataupun versi pemuka agama-agama lain di Indonesia. Misa virtual, sembahyang di rumah, puja mandiri, atau shalat Id hanya dengan keluarga. Haji pun tertunda. Tantangan menanti.

Pemerintah Saudi Arabia dan negara-negara yang mengirim jamaah haji ke Mekkah, Madinah dan Arafah harus mengatur menejemen dengan cepat dan cerdik. Haji terhenti tahun 2020 dan 2021. Tahun 2022 semoga terlaksana lagi dengan pengetatan kuota dari semua negara di dunia. Pemerintah mendapatkan gawe serius.

Dari segi ijtihad, dalam istilah fikih, berarti berusaha sungguh-sungguh untuk mencari terobosan mandiri karena adanya tantangan baru, kita hadapi dua macam. Ijtihad manejemen (idarah) yang sudah diupayakan oleh pemerintah dan ijtihad fiqhi (hukum Islam).

Yang kedua masih dan akan membutuhkan usaha lebih keras lagi, dan mungkin akan lebih menuai debat keagamaan. Bukan berarti ijtihad yang pertama tanpa risiko, tentu sudah kita lihat beberapa komentar publik tentang haji, bahkan kadangkala mengarah pada rumor, gosip bahkan hoaks.

Pemerintah Indonesia sudah mengupayakan ijtihad idaratiyyah atau menejemen yang bisa kita rasakan. Pertemuan Kementerian Agama dengan pemerintah Saudi Arabia sudah berkali-kali berbicara tentang quota jamaah Indonesia pasca-Covid-19 dan bagaimana menjaga dan menambah kuota itu bagi Muslim Indonesia.

Walhasil Indonesia mendapatkan kira-kira 100,51 orang untuk haji, di atas Pakistan 81, 132 atau India, 79, 237. Negara-negara lain jatahnya lebih sedikit, karena jumlah penduduk Muslimnya jauh di bawah Indonesia. Malaysia, misalnya, hanya mendapatkan kuota 14, 306.

Konon negosiasi pemerintah Indonesia masih berjalan terus untuk menambah kuota. Ini adalah ijtihad manajemen. Risiko publik adalah rumor dan gosip, sebagaimana juga hal-hal lain di negeri ini. Media sosial jika sudah mengambil peran, para netizen (warga internet) jauh lebih bersemangat daripada wartawan koran nasional dilihat dari segi persebaran gosip.

Misalnya, ada yang mengaitkan dana haji dengan pembangunan Ibukota Negara baru (IKN), bahwa dana haji akan dialihkan ke sana. Tidak penting siapa dan bagaimana gosip ini muncul, tetapi tahun-tahun politik menjelang 2024 mempengaruhi pola pikir warga Nusantara tercinta. Persoalan tidak pada persoalan itu sendiri, tetapi sensasi akan bisa mengalahkan esensi, sebagaimana biasa.

Dana haji sudah diatur dalam UU Nomor 34 Tahun 2014 dan PP Nomor 5 Tahun 2018 yang pengelolaannya sudah di dalam manajemen BPKH (Badan Pengelola Keuangan Haji). Berbagai skema pengelolaan juga sudah modern dan transparan.

Ijtihad manajemen yang juga menyangkut pelayanan patut diapresiasi, baik pemerintah Saudi ataupun negara-negara yang mengirim jamaah, termasuk juga pemerintah Indonesia. Namun ijtihad idarati ini tidak bisa dimaksimalkan lagi selama ijtihad fiqhi tidak juga dipikirkan.

Diatur bagaimana pun juga secara tempat (makan) dan secara waktu (zaman) akan menumpuk di Makkah, Madinah dan Arafah di waktu yang sama, yaitu 9-13 Dzulhijjah. Jadi tidak mungkin menambah quota secara berlebih, karena harus berbagi sekian juta Muslim yang ingin menunaikan ibadah haji dari berbagai negara dengan waktu dan tempat tertentu dan terbatas.

Kita lihat waiting list (antrian masa tunggu) di situs resmi Kemenag yang lengkap dari berbagai provinsi. Antrian tercepat saja tujuh tahun, sedangkan yang terlama bisa mencapai tiga puluh satu tahun. Jadi daftar sekarang tahun 2022, bisa melaksanakan ibadah haji tahun 2053. Ijtihad manejemen ada batasnya, perlu melakukan ijtihad fiqhi.

Sejak tahun 1990-an gagasan tentang zaman (bukan makan) sudah dilontarkan oleh Masdar F Mas'udi. Beliau adalah alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, aktivis dan direktur P3M (Pusat Pengembangan Pesantren dan Masyarakat) sekaligus dulu Katib Syuriah PBNU.

Beliau menyoroti tafsir surah al-Baqarah ayat 197, al-hajj ashhurun ma’lumat (waktu haji adalah bulan-bulan tertentu). Demikian juga hadits yang berbunyi al-hajj arafah, tidak merujuk pada waktu tetapi tempat. Haji dilaksanakan di tempat tertentu, tetapi waktu bisa dinegosiasikan ulang, atau ditafsir ulang. Gagasan yang perlu mendapat perhatian dan dibahas secar serius. Begitu wawancaranya dengan Ulil Abshar Abdalla, sekarang direktur Lakpesdam PBNU.

Kita lihat sekarang dari segi perkembangan industri halal di dunia, haji dan umrah termasuk bisnis yang sangat menjanjikan. Peminat dari kalangan Muslim yang ingin melaksanakan ziarah ke tanah suci tak terbendung, sebagaimana juga terjadi bagi umat Katolik ke Vatikan, umat Kristen ke Jerusalem, Buddha ke Tibet, Hindu mungkin ke India, Konghucu mungkin ke China, Bahai ke tempel di Israel atau Amerika, dan lain-lain.

Ziarah ke tempat asal mula agama dan para nabi-nabi dalam berjuang membangun umat adalah fenomena semua agama. Karena meningkatnya ekonomi umat Islam di Indonesia dan dunia, haji akan lebih menantang dari segi manajemen. Menajemen tanpa ditopang perubahan teologi, dalam bahasa ritual Islamnya adalah fiqh, akan sulit.

Akankah dua ijtihad idarati dan fiqhi kita lakukan segera?
(maf)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.0804 seconds (0.1#10.140)