Family Megashift in the New Normal

Sabtu, 20 Juni 2020 - 09:02 WIB
Misalnya saja, seseorang bekerja selama 8 jam per hari dengan durasi perjalan dari rumah ke tempat kerja kurang lebih 1 jam. Setidaknya dalam waktu satu hari, 40% waktu dihabiskan di luar rumah sehingga sulit sekali mencari waktu untuk ngobrol santai dengan keluarga.

Setelah lebih dari dua bulan mulai beradaptasi dengan stay at home lifestyle. Antaranggota keluarga mulai membangun sense of togetherness. Apapun masalah yang dihadapi keluarga selalu ada yang menemani.

Studi dari McKinsey menunjukkan, para eksekutif di China mengaku dekat dengan keluarga dan hal ini membantu mereka untuk lebih memahami emosi dan dukungan yang dibutuhkan saat mengalami masalah di tempat kerja.

#4. Healthy Is the New Caring

Diri kita adalah tameng pertama dari pertahanan melawan virus COVID-19. Semenjak awal virus merebak, masyarakat mulai peduli untuk menjaga kebersihan diri. Salah satunya ditunjukkan dengan perilaku mencuci tangan. (Baca juga: Viral Aksi TNI Adang Tank Israel di Lebanon)

Survei dari Nippon, perilaku personal hygiene seperti mencuci tangan, menggunakan hand sanitizer, dan memakai masker mengalami peningkatan dibandingkan saat virus Influenza tahun 2018.

Menjaga kesehatan diri sendiri adalah bentuk cinta kasih kepada keluarga. Dengan menjaga kesehatan dan tertib mengikuti protokol kesehatan yang diinstruksikan berarti turut melindungi keluarga dari penyebaran virus.

#5. Comeback of Homecooking

“After pandemic, everyone is a good cook”

Survei dari Bernstein menunjukkan, perilaku makan berubah selama masa pandemi dimana 59,5% responden menjawab mereka lebih sering memasak mulai dengan mengolah bahan mentah.

Studi ini berkebalikan dengan saat kondisi normal dimana milenial disebut sebagai generasi yang paling tidak bisa memasak. Milenial lebih senang mengejar karir. Namun, ketika pekerjaan mereka bisa dikerjakan di rumah, milenial menjadi lebih fleksibel work-life balance mereka. Terutama untuk mengasah keahlian baru.

Pada mulanya, memasak hanya sebagai aktivitas mengisi waktu luang. Namun, seiring tren WFH yang permanen, kebiasaan makan ini akan mengubah pola konsumsi. Seperti mengurangi membeli menu indulgence dan berganti ke belanja groseri. (Lihat videonya: Terpisah dari Rombongan, Seorang Pesepeda Dibegal di Jakarta Selatan)

#6. "Work-Life-Play" Balance

Ketika flexible working hour (FWH) menjadi kenormalan baru, maka batas antara bekerja (working), mengurus keluarga dan menjalankan parenting ke anak (living) serta menikmati leisure time (playing) menjadi kian kabur.

Di masa sebelumnya (era normal), waktu karyawan mayoritas untuk bekerja dan sedikit sekali bisa digunakan untuk living dan playing. Dengan FWH, maka mereka lebih leluasa mengatur waktunya dimana porsi living dan playing akan lebih besar dari sebelumnya. (Baca juga: Menkeu Rogoh Rp607,7 T untuk Pemulihan Ekonomi, Ini Realisasinya)

Keseimbangan work-live-play yang lebih baik ini pada akhirnya akan meningkatkan kualitas dan kebahagiaan (well-being). Menjalani WFH, ibarat seperti juggling dalam atraksi sirkus. Awalnya kerepotan. Namun, seiring waktu working parents akan piawai berusaha menyeimbangkan waktu untuk working-living-playing.

Dengan WFH dan FWH keluarga bisa memiliki waktu yang lebih intimate dan orang tua bisa mengamati tumbuh kembang anak.

Welcome the well-being revolution.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More