Menakar Efektivitas Larangan Ekspor CPO dan Minyak Goreng
Sabtu, 23 April 2022 - 09:49 WIB
Bantuan tersebut akan diberikan kepada 20,5 juta keluarga yang termasuk dalam daftar Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) dan Program Keluarga Harapan (PKH), serta 2,5 juta pedagang kaki lima (PKL).
Bantuan diberikan sebesar Rp100.000 setiap bulannya. Pemerintah memberikan bantuan tersebut untuk tiga bulan sekaligus, yaitu April, Mei, dan Juni, yang akan dibayarkan di muka pada bulan April 2022 sebesar Rp300.000.
Keputusan yang diambil oleh Presiden terkait larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya di satu sisi baik untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Namun di sisi lain juga memberikan efekshockkepada pelaku usaha.
Pasalnya, di tengah harga komoditas CPO yang sedang tinggi-tingginya, kebijakan larangan ekspor ini tentu saja menghilangkan potensi pendapatan dari devisa ekspor. Apalagi Indonesia merupakan eksportir terbesar CPO yang mengekspor tidak kurang dari 26,9 juta pada 2021. Angka tersebut setara dengan USD28,52 miliar, yang merupakan devisa ekspor terbesar dibanding sektor lain.
Adapun ekspor CPO Indonesia terbesar pada 2021 diekspor ke China dengan volume mencapai 4,7 juta ton senilai USD4,83 miliar. Diikuti India dengan volume 3,03 juta ton atau senilai USD3,28 miliar.
Maka, melihat betapa strategisnya ekspor CPO terjadap perekonomian nasional, patut dipertimbangkan bagaimana dampak larangan ekspor CPO dan minyak goreng ini. Lalu, dengan larangan ekspor ini apakah industri pengolahan CPO mau serta merta dan siap meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar?
Jika yang digembar-gemborkan adalah hilirisasi, maka kebijakan larangan ekspor ini semestinya juga melihat bagaimana industri hilir di dalam negeri dapat dikembangkan.
Satu lagi yang mesti diperhatikan adalah, bagaimana nanti pasar ekspor yang selama ini diisi oleh CPO dari Indonesia? Karena, bukan mustahil negara-negara importir minyak sawit akan mencari sumber-sumber CPO baru dari negara lain seperti Malaysia yang juga dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit.
Bantuan diberikan sebesar Rp100.000 setiap bulannya. Pemerintah memberikan bantuan tersebut untuk tiga bulan sekaligus, yaitu April, Mei, dan Juni, yang akan dibayarkan di muka pada bulan April 2022 sebesar Rp300.000.
Keputusan yang diambil oleh Presiden terkait larangan ekspor minyak goreng dan bahan bakunya di satu sisi baik untuk mengamankan pasokan dalam negeri. Namun di sisi lain juga memberikan efekshockkepada pelaku usaha.
Pasalnya, di tengah harga komoditas CPO yang sedang tinggi-tingginya, kebijakan larangan ekspor ini tentu saja menghilangkan potensi pendapatan dari devisa ekspor. Apalagi Indonesia merupakan eksportir terbesar CPO yang mengekspor tidak kurang dari 26,9 juta pada 2021. Angka tersebut setara dengan USD28,52 miliar, yang merupakan devisa ekspor terbesar dibanding sektor lain.
Adapun ekspor CPO Indonesia terbesar pada 2021 diekspor ke China dengan volume mencapai 4,7 juta ton senilai USD4,83 miliar. Diikuti India dengan volume 3,03 juta ton atau senilai USD3,28 miliar.
Maka, melihat betapa strategisnya ekspor CPO terjadap perekonomian nasional, patut dipertimbangkan bagaimana dampak larangan ekspor CPO dan minyak goreng ini. Lalu, dengan larangan ekspor ini apakah industri pengolahan CPO mau serta merta dan siap meningkatkan produksinya untuk memenuhi kebutuhan pasar?
Jika yang digembar-gemborkan adalah hilirisasi, maka kebijakan larangan ekspor ini semestinya juga melihat bagaimana industri hilir di dalam negeri dapat dikembangkan.
Satu lagi yang mesti diperhatikan adalah, bagaimana nanti pasar ekspor yang selama ini diisi oleh CPO dari Indonesia? Karena, bukan mustahil negara-negara importir minyak sawit akan mencari sumber-sumber CPO baru dari negara lain seperti Malaysia yang juga dikenal sebagai salah satu produsen minyak sawit.
(ynt)
tulis komentar anda