Cita-Cita Kartini yang Kian Terasa Jauh?
Kamis, 21 April 2022 - 14:34 WIB
Hari Kartini yang diperingati setiap tahunnya seharusnya tidak hanya sekadar peringatan seremonial dengan ucapan, desain, quotes, twibbonize dan kata-kata mutiara lainnya. Hari Kartini harus jadi bahan evaluasi dan titik tolak untuk melihat realitas kondisi pemenuhan, pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan di lapangan. Apakah realitas kondisi perempuan pada saat ini sudah sejalan dengan cita-cita yang diperjuangkan Kartini? Bagaimana implementasi hak pendidikan bagi perempuan; bagaimana hak mendapatkan akses pekerjaan dan pendapatan bagi perempuan; bagaimana pula hak mendapatkan layanan kesehatan yang layak untuk Ibu dan anak-anak perempuan?
Sejumlah pertanyaan retoris masih dapat diajukan lagi untuk mengukur kondisi realitas dan cita-cita yang diharapkan.
Sebagai wakil rakyat yang bertugas di Komisi IX DPR RI yang juga membidangi masalah kesehatan dan ketenagakerjaan, saya melihat realitas perempuan Indonesia sampai saat ini masih jauh dari kondisi ideal dalam hal pemenuhan hak-hak kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dalam hal pemenuhan hak kesehatan, perempuan Indonesia masih rentan dengan beragam problematika. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, juga angka stunting, yang selama pandemi Covid-19 cenderung meningkat. Angka kematian ibu dan bayi pada Januari sampai September 2021 mencapai angka 3.794 orang. Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi ini tragis, mengingat setiap tahunnya pemerintah telah berupaya untuk menurunkannya. Misalnya dalam Kebijakan yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pada RPJMN ini pemerintah memfokuskan pada lima hal yakni meningkatkan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, peningkatan pengendalian penyakit, gerakan masyarakat hidup sehat (Germas), mempercepat perbaikan gizi masyarakat dan memperkuat sistem kesehatan dan pengendalian obat serta makanan. Lantas kenapa AKI dan AKB masih tinggi di Indonesia?
Penyebab tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pertama bisa dilihat dari sisi kesehatan. Faktor kesehatan yang berhubungan langsung dengan kematian ibu adalah gangguan obstetrik seperti pendarahan. Kematian juga bisa disebabkan eklamsi, infeksi atau adanya penyakit penyerta baik sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan. Penyakit-penyakit penyerta ini seperti penyakit ginjal, malaria, tuberkulosis, jantung dan lain-lain.
Faktor penyebab tingginya angka kematian ibu selanjutnya adalah faktor yang berhubungan dengan sosiokultural masyarakat. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan masalah kesehatan ibu hamil akan berdampak besar terhadap sukses atau tidaknya proses melahirkan. Umumnya ini dipengaruhi oleh tingkat ekonomi serta pendidikan keluarga. Masyarakat menengah ke atas notabene lebih sadar akan kesehatan ibu hamil. Sementara masyarakat menengah ke bawah terutama yang tinggal di daerah-daerah pelosok umumnya lebih rentan kondisinya. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan tidak meratanya pembangunan fasilitas kesehatan yang membuat akses terhadap fasilitas kesehatan menjadi sulit.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4% atau 5,33 juta balita. Data ini tentu bermakna masih belum terpenuhinya hak dasar kesehatan untuk Ibu, perempuan dan anak secara layak.
Dalam bidang ketenagakerjaan, persoalan yang menimpa perempuan PMI - total 51.437 orang atau 74,83% dibandingkan PMI pria pada tahun 2019- juga masih perlu diberikan perhatian serius. Perempuan PMI masih sering menjadi korban trafficking dan kejahatan seksual, baik itu terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Angka PHK perempuan pekerja juga menunjukkan masih rentannya perlindungan terhadap mereka.
Sejumlah pertanyaan retoris masih dapat diajukan lagi untuk mengukur kondisi realitas dan cita-cita yang diharapkan.
Sebagai wakil rakyat yang bertugas di Komisi IX DPR RI yang juga membidangi masalah kesehatan dan ketenagakerjaan, saya melihat realitas perempuan Indonesia sampai saat ini masih jauh dari kondisi ideal dalam hal pemenuhan hak-hak kesehatan dan ketenagakerjaan.
Dalam hal pemenuhan hak kesehatan, perempuan Indonesia masih rentan dengan beragam problematika. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, juga angka stunting, yang selama pandemi Covid-19 cenderung meningkat. Angka kematian ibu dan bayi pada Januari sampai September 2021 mencapai angka 3.794 orang. Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi ini tragis, mengingat setiap tahunnya pemerintah telah berupaya untuk menurunkannya. Misalnya dalam Kebijakan yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Pada RPJMN ini pemerintah memfokuskan pada lima hal yakni meningkatkan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, peningkatan pengendalian penyakit, gerakan masyarakat hidup sehat (Germas), mempercepat perbaikan gizi masyarakat dan memperkuat sistem kesehatan dan pengendalian obat serta makanan. Lantas kenapa AKI dan AKB masih tinggi di Indonesia?
Penyebab tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pertama bisa dilihat dari sisi kesehatan. Faktor kesehatan yang berhubungan langsung dengan kematian ibu adalah gangguan obstetrik seperti pendarahan. Kematian juga bisa disebabkan eklamsi, infeksi atau adanya penyakit penyerta baik sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan. Penyakit-penyakit penyerta ini seperti penyakit ginjal, malaria, tuberkulosis, jantung dan lain-lain.
Faktor penyebab tingginya angka kematian ibu selanjutnya adalah faktor yang berhubungan dengan sosiokultural masyarakat. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan masalah kesehatan ibu hamil akan berdampak besar terhadap sukses atau tidaknya proses melahirkan. Umumnya ini dipengaruhi oleh tingkat ekonomi serta pendidikan keluarga. Masyarakat menengah ke atas notabene lebih sadar akan kesehatan ibu hamil. Sementara masyarakat menengah ke bawah terutama yang tinggal di daerah-daerah pelosok umumnya lebih rentan kondisinya. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan tidak meratanya pembangunan fasilitas kesehatan yang membuat akses terhadap fasilitas kesehatan menjadi sulit.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4% atau 5,33 juta balita. Data ini tentu bermakna masih belum terpenuhinya hak dasar kesehatan untuk Ibu, perempuan dan anak secara layak.
Dalam bidang ketenagakerjaan, persoalan yang menimpa perempuan PMI - total 51.437 orang atau 74,83% dibandingkan PMI pria pada tahun 2019- juga masih perlu diberikan perhatian serius. Perempuan PMI masih sering menjadi korban trafficking dan kejahatan seksual, baik itu terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.
Angka PHK perempuan pekerja juga menunjukkan masih rentannya perlindungan terhadap mereka.
tulis komentar anda