Cita-Cita Kartini yang Kian Terasa Jauh?

Kamis, 21 April 2022 - 14:34 WIB
loading...
Cita-Cita Kartini yang Kian Terasa Jauh?
Netty Prasetiyani (Foto: Ist)
A A A
Netty Prasetiyani
Anggota Komisi IX DPR RI, Dewan Pakar Wanita Persatuan Umat Islam (PUI), Ketua Bidang Kesejahteraan Sosial DPP PKS, Waketum Srikandi Pemuda Pancasila

RADEN Ajeng Kartini Djojo Adhiningrat telah wafat lebih dari seratus tahun lalu, namun semangat dan inspirasinya masih terasa hingga saat ini. RA Kartini dikenal sebagai sosok yang berani menentang zamannya yang saat itu berlaku diskriminatif terhadap perempuan. Ada perbedaan perlakuan budaya yang membuat perempuan dibatasi untuk belajar dan berkiprah di masyarakat.

Kartini yang gelisah dengan situasi tersebut bersuara dengan caranya di tengah kungkungan adat-istiadat. Dalam pikiran Kartini, perempuan juga punya hak yang sama dengan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan, bekerja, berpendapat dan berkontribusi bagi bangsa dan negara.

Melalui surat-suratnya untuk temannya di Belanda, Kartini menyampaikan isi pikirannya soal memperjuangkan hak dan martabat perempuan Jawa agar tidak sekadar menjadi konco wingking. Kartini ingin agar perempuan Jawa cerdas terdidik hingga mampu menjalankan tugas sebagai pendidik keluarga dan masyarakat.

Oleh karena itu, Kartini mendirikan sekolah sederhana khusus perempuan, persis di sebelah kantor pemerintahan Kabupaten Rembang. Kartini berjuang agar sekolah tersebut mendapat dukungan dari pemerintah.

“Permohonan saya ialah, sudilah pemerintah memberi saya pertolongan akan cita-cita yang tersebut diatas; sekarang akan memikul ongkos belajar itu semuanya dan kemudian sehabisnya saya belajar memberi saya kesempatan mengadakan internaat (Sekolah Asrama) untuk anak-anak gadis orang bumiputra yang berpangkat..." (Surat R.A. Kartini yang ditujukan kepada Tuan Van Kol, 21 Juni 1902).

Cerita hidup serta semangat Kartini telah menjadi inspirasi bagi rakyat Indonesia, terutama bagi perempuan. Bangsa dan negara pun mengakuinya dan memberikan perhatian khusus dengan menjadikan tanggal lahir Kartini yakni 21 April sebagai Hari Kartini.

Hari Kartini Jangan Hanya Jadi Peringatan
Hari Kartini yang diperingati setiap tahunnya seharusnya tidak hanya sekadar peringatan seremonial dengan ucapan, desain, quotes, twibbonize dan kata-kata mutiara lainnya. Hari Kartini harus jadi bahan evaluasi dan titik tolak untuk melihat realitas kondisi pemenuhan, pemajuan dan perlindungan hak-hak perempuan di lapangan. Apakah realitas kondisi perempuan pada saat ini sudah sejalan dengan cita-cita yang diperjuangkan Kartini? Bagaimana implementasi hak pendidikan bagi perempuan; bagaimana hak mendapatkan akses pekerjaan dan pendapatan bagi perempuan; bagaimana pula hak mendapatkan layanan kesehatan yang layak untuk Ibu dan anak-anak perempuan?

Sejumlah pertanyaan retoris masih dapat diajukan lagi untuk mengukur kondisi realitas dan cita-cita yang diharapkan.

Sebagai wakil rakyat yang bertugas di Komisi IX DPR RI yang juga membidangi masalah kesehatan dan ketenagakerjaan, saya melihat realitas perempuan Indonesia sampai saat ini masih jauh dari kondisi ideal dalam hal pemenuhan hak-hak kesehatan dan ketenagakerjaan.

Dalam hal pemenuhan hak kesehatan, perempuan Indonesia masih rentan dengan beragam problematika. Hal ini dibuktikan dengan tingginya angka kematian ibu (AKI) di Indonesia, juga angka stunting, yang selama pandemi Covid-19 cenderung meningkat. Angka kematian ibu dan bayi pada Januari sampai September 2021 mencapai angka 3.794 orang. Masih tingginya angka kematian ibu dan bayi ini tragis, mengingat setiap tahunnya pemerintah telah berupaya untuk menurunkannya. Misalnya dalam Kebijakan yang tertuang di Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pada RPJMN ini pemerintah memfokuskan pada lima hal yakni meningkatkan kesehatan ibu, anak, keluarga berencana dan kesehatan reproduksi, peningkatan pengendalian penyakit, gerakan masyarakat hidup sehat (Germas), mempercepat perbaikan gizi masyarakat dan memperkuat sistem kesehatan dan pengendalian obat serta makanan. Lantas kenapa AKI dan AKB masih tinggi di Indonesia?

Penyebab tingginya angka kematian ibu (AKI) dan angka kematian bayi (AKB) ini disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor pertama bisa dilihat dari sisi kesehatan. Faktor kesehatan yang berhubungan langsung dengan kematian ibu adalah gangguan obstetrik seperti pendarahan. Kematian juga bisa disebabkan eklamsi, infeksi atau adanya penyakit penyerta baik sebelum atau selama kehamilan yang dapat memperburuk kondisi kehamilan. Penyakit-penyakit penyerta ini seperti penyakit ginjal, malaria, tuberkulosis, jantung dan lain-lain.

Faktor penyebab tingginya angka kematian ibu selanjutnya adalah faktor yang berhubungan dengan sosiokultural masyarakat. Rendahnya pengetahuan masyarakat akan masalah kesehatan ibu hamil akan berdampak besar terhadap sukses atau tidaknya proses melahirkan. Umumnya ini dipengaruhi oleh tingkat ekonomi serta pendidikan keluarga. Masyarakat menengah ke atas notabene lebih sadar akan kesehatan ibu hamil. Sementara masyarakat menengah ke bawah terutama yang tinggal di daerah-daerah pelosok umumnya lebih rentan kondisinya. Kondisi ini semakin diperparah lagi dengan tidak meratanya pembangunan fasilitas kesehatan yang membuat akses terhadap fasilitas kesehatan menjadi sulit.

Berdasarkan data Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) tahun 2021, prevalensi stunting saat ini masih berada pada angka 24,4% atau 5,33 juta balita. Data ini tentu bermakna masih belum terpenuhinya hak dasar kesehatan untuk Ibu, perempuan dan anak secara layak.

Dalam bidang ketenagakerjaan, persoalan yang menimpa perempuan PMI - total 51.437 orang atau 74,83% dibandingkan PMI pria pada tahun 2019- juga masih perlu diberikan perhatian serius. Perempuan PMI masih sering menjadi korban trafficking dan kejahatan seksual, baik itu terjadi di dalam negeri maupun di luar negeri.

Angka PHK perempuan pekerja juga menunjukkan masih rentannya perlindungan terhadap mereka.

Sampai 2020, sebanyak 623.407 orang pekerja perempuan terdampak pandemi Covid-19.

Cita-cita yang Kian Jauh?
Fakta-fakta yang telah disampaikan di atas, sedikitnya membuat kita bertanya: kapankah tiba masanya perempuan Indonesia mendapatkan pemenuhan dan perlindungan hak-hak dasarnya secara layak dari negara?

Setiap peringatan Hari Kartini kita lantang meneriakkan semangatnya, tapi pada sisi yang lain ada masalah dasar yang belum teratasi; hilangnya nyawa demi nyawa perempuan Indonesia.

Hingga saat ini sebagai anak bangsa, kita masih memiliki ketakutan jika ada seseorang yang hamil. Kita masih menyimpan pertanyaan-pertanyaan "apakah ibunya akan selamat? apakah anaknya akan selamat? apakah gizi akan terpenuhi dengan baik?” dan seterusnya.

Tingginya angka kematian ibu ini sangat disayangkan, karena hilangnya seorang ibu dalam keluarga sama saja dengan hilangnya pendidik pertama dalam keluarga. Mayoritas keluarga di Indonesia, sosok ibulah yang paling dekat dengan anak-anaknya. Mereka tidak hanya memberikan kasih sayang, tapi juga mendidik agar anak-anaknya siap untuk menjalani kehidupan.

Seorang ibu bersama anggota keluarga lainnya juga yang memberikan perlindungan baik fisik maupun mental. Dengan begitu seorang anak akan lebih siap untuk berbaur dan menjadi anggota masyarakat yang lebih luas. Umumnya seorang ibu jugalah yang memiliki wewenang untuk menentukan asupan makanan apa yang dikonsumsi anggota keluarga. Sehat atau tidaknya makanan yang dikonsumsi biasanya tergantung dari seorang ibu. Oleh karena itu, bisa dibayangkan betapa mengkhwatirkannya apabila banyak anak-anak di Indonesia yang tumbuh tanpa kehadiran seorang ibu. Padahal, anak-anak ini jugalah yang menjadi generasi untuk melanjutkan cita-cita bangsa, termasuk cita-cita seorang RA Kartini.

Selamat Hari Kartini. Selamat berjuang terus untuk memenuhi dan melindungi hak-hak perempuan!

Baca Juga: koran-sindo.com

Lihat Juga: Hari Ibu, Ini Program Ganjar-Mahfud untuk Perempuan Indonesia
(bmm)
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1206 seconds (0.1#10.140)