Ancaman Pandemi, Tirani, dan Oknum Demokrasi 'Negara -62'
Rabu, 09 Maret 2022 - 15:25 WIB
Arief Budiman
Ketua Harian Panitia Konvensi Partai Perindo
KENDURI demokrasi akan digelar di sebuah negeri, sebutlah namanya “Negara -62” pada 2024 nanti. Siapa yang tidak penasaran seperti apa kemeriahannya? Kebetulan waktu pemilunya sama dengan Negara +62 yakni pada 2024.
Atau bisa jadi banyak yang tidak terlalu peduli karena nasib perut toh tidak banyak bergantung pada coblos atau contreng pada kertas suara. Mungkin ada saja yang gembira dari nasi bungkus atau kotak kudapan yang dibagikan saat acara kampanye untuk ganjalan makan siang. Syukur-syukur bisa dapat lebihan ongkos jalan. Itu pun kalau pandemi sudah tidak terlalu menghantui. Kabarnya suara pemilih Negara -62 bisa ditawar murah.
Pemilu 2024 dinanti untuk menyongsong siapa pengganti Sang Presiden Rakyat, yaitu presiden kedua teramat populer yang akan duduk satu dekade utuh. Sebelumnya pula, di Negara -62 ada presiden yang pernah berkuasa 32 tahun, dan itu tentu bisa hilang dari obrolan karena Negara -62 telah berubah menjadi negara demokrasi.
Sayangnya, menjelang pesta demokrasi Negara -62 itu, beredar kabar ada ancaman pandemi tirani yang menjangkiti sebagian besar elite politiknya. Elite politik tersebut menjadi “oknum demokrasi” yang tiba-tiba berseliweran dan merasa masa jabatan Sang Presiden Rakyat perlu bonus top up 1 periode atau tambah masa berkuasa 2 sampai 3 tahun lagi.
Di Negara -62, konstitusi negaranya menetapkan bahwa pemilu diadakan 5 tahun sekali dan presidennya hanya boleh menjabat maksimal 2 periode (lagi-lagi serupa dengan Negara +62). Tetapi ada oknum demokrasi yang mengatakan karena ada 3-4 proyek akbar yang belum selesai. Ihwal tanggung saja, daripada orang lain yang nanti tinggal potong pita, lebih baik pemilu ditunda. Apa hendak dikata, toh ada presiden yang bisa sampai 32 tahun.
Masalah kehormatan konstitusi Negara -62, beberapa oknum demokrasi negeri itu diketahui lagi terkena wabah baru, yaitu rabun langka. Lancar membaca angka-angka untuk keuntungan pribadi, namun mendadak rabun mata kalau disuruh membaca Undang-Undang Dasar Negara -62. Aneh tapi nyata.
Kemunculan mendadak segelintir oknum demokrasi yang mungkin lagi enak-enaknya tanggung berkuasa dan jika berhenti di Oktober 2024, maka tidak cukup waktu bagi mereka untuk menambah tebal cuan-nya karena wabah korona. Sebenarnya kasihan. Mereka mungkin tidak berniat menjadi oknum demokrasi, tetapi diam-diam terkena “kejadian ikutan pasca imunisasi” atau KIPI langka untuk mencegah pandemi tirani yang tidak ada di Negara +62, yaitu penyakit tuli. Tuli nurani. Kasihan betul Presiden Rakyat, pemimpin yang dielu-elukan lahir dari amanah penderitaan rakyat, keluar dari rahim demokrasi sejati tiba-tiba disorong segelintir oknum demokrasi untuk coba-coba berubah wajah menjadi tirani. Mungkin sudah saatnya Presiden Rakyat mengganti muka-muka mereka meski dengan topeng sementara, asal sanggup menjaga integritas negara.
Ketua Harian Panitia Konvensi Partai Perindo
KENDURI demokrasi akan digelar di sebuah negeri, sebutlah namanya “Negara -62” pada 2024 nanti. Siapa yang tidak penasaran seperti apa kemeriahannya? Kebetulan waktu pemilunya sama dengan Negara +62 yakni pada 2024.
Atau bisa jadi banyak yang tidak terlalu peduli karena nasib perut toh tidak banyak bergantung pada coblos atau contreng pada kertas suara. Mungkin ada saja yang gembira dari nasi bungkus atau kotak kudapan yang dibagikan saat acara kampanye untuk ganjalan makan siang. Syukur-syukur bisa dapat lebihan ongkos jalan. Itu pun kalau pandemi sudah tidak terlalu menghantui. Kabarnya suara pemilih Negara -62 bisa ditawar murah.
Pemilu 2024 dinanti untuk menyongsong siapa pengganti Sang Presiden Rakyat, yaitu presiden kedua teramat populer yang akan duduk satu dekade utuh. Sebelumnya pula, di Negara -62 ada presiden yang pernah berkuasa 32 tahun, dan itu tentu bisa hilang dari obrolan karena Negara -62 telah berubah menjadi negara demokrasi.
Sayangnya, menjelang pesta demokrasi Negara -62 itu, beredar kabar ada ancaman pandemi tirani yang menjangkiti sebagian besar elite politiknya. Elite politik tersebut menjadi “oknum demokrasi” yang tiba-tiba berseliweran dan merasa masa jabatan Sang Presiden Rakyat perlu bonus top up 1 periode atau tambah masa berkuasa 2 sampai 3 tahun lagi.
Di Negara -62, konstitusi negaranya menetapkan bahwa pemilu diadakan 5 tahun sekali dan presidennya hanya boleh menjabat maksimal 2 periode (lagi-lagi serupa dengan Negara +62). Tetapi ada oknum demokrasi yang mengatakan karena ada 3-4 proyek akbar yang belum selesai. Ihwal tanggung saja, daripada orang lain yang nanti tinggal potong pita, lebih baik pemilu ditunda. Apa hendak dikata, toh ada presiden yang bisa sampai 32 tahun.
Masalah kehormatan konstitusi Negara -62, beberapa oknum demokrasi negeri itu diketahui lagi terkena wabah baru, yaitu rabun langka. Lancar membaca angka-angka untuk keuntungan pribadi, namun mendadak rabun mata kalau disuruh membaca Undang-Undang Dasar Negara -62. Aneh tapi nyata.
Kemunculan mendadak segelintir oknum demokrasi yang mungkin lagi enak-enaknya tanggung berkuasa dan jika berhenti di Oktober 2024, maka tidak cukup waktu bagi mereka untuk menambah tebal cuan-nya karena wabah korona. Sebenarnya kasihan. Mereka mungkin tidak berniat menjadi oknum demokrasi, tetapi diam-diam terkena “kejadian ikutan pasca imunisasi” atau KIPI langka untuk mencegah pandemi tirani yang tidak ada di Negara +62, yaitu penyakit tuli. Tuli nurani. Kasihan betul Presiden Rakyat, pemimpin yang dielu-elukan lahir dari amanah penderitaan rakyat, keluar dari rahim demokrasi sejati tiba-tiba disorong segelintir oknum demokrasi untuk coba-coba berubah wajah menjadi tirani. Mungkin sudah saatnya Presiden Rakyat mengganti muka-muka mereka meski dengan topeng sementara, asal sanggup menjaga integritas negara.
tulis komentar anda