Tiga Mazhab Pandemi
Rabu, 02 Maret 2022 - 16:03 WIB
Neo-Progresif
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul mazhab ketiga, yang penulis sebut sebagai kelompok Neo-Progresif. Kelompok ini sebenarnya berawal dari kelompok progresif yang sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19, taat terhadap protokol kesehatan dan mendukung program vaksinasi pemerintah. Namun kemunculan varian Omicron yang menurut para ahli tidak menimbulkan dampak yang serius layaknya varian Delta atau Alfa telah membuat kelompok ini “nyempal” dari kelompok progresif pada umumnya. Lebih daripada itu semua, kelompok Neo-Progresif ini justru bersikap layaknya kelompok konservatif.
Sebagaimana sikap kelompok konservatif, kelompok Neo-Progresif saat ini cenderung lebih rileks dalam menghadapi Covid-19, khususnya varian Omicron. Kelompok ini mendukung agar protokol kesehatan mulai dilonggarkan, mulai dari pewajiban masker hingga larangan berkumpul. Dalam hemat penulis, aksi-aksi konvoi kebebasan yang belakangan marak terjadi di negara-negara Eropa (sebagaimana telah disampaikan di atas) merupakan bagian dari kelompok Neo-Progresif.
Ke depan, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak kelompok masyarakat yang bersuara atau bahkan beraksi seperti dilakukan oleh kelompok Neo-Progresif, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi selama ini memang banyak kelompok konservatif di Indonesia yang suaranya menjadi sama dengan suara kelompok Neo-Progresif sekarang.
Sementara dari sisi pemerintah, banyak negara yang sepertinya mulai mengakomodasi aspirasi dari kelompok Neo-Progresif di atas. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kebijakan beberapa negara di Eropa yang berencana akan mulai menghentikan peraturan terkait protokol kesehatan per akhir Februari nanti. Pemerintah Indonesia sepertinya mengikuti arah kebijakan negara-negara Eropa ini, walaupun tidak disampaikan secara terus terang. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pelonggaran-pelonggaran khusus pada saat penerapan PPKM Level 3 (di sebagian wilayah) seperti sekarang.
Apabila varian Omicron benar-benar menjadi awal dari akhir pandemi, kebijakan beberapa negara sebagaimana di atas (termasuk pemerintah Indonesia) tentu tidak ada salahnya. Persoalannya sampai sekarang belum ada ahli yang berani mendeklarasikan sekaligus memastikan bahwa varian Omicron akan menjadi awal dari akhir pandemi. Sebaliknya ada pihak yang menengarai bahwa setelah varian Omicron diperkirakan akan ada varian lain yang lebih ganas daripada Omicron.
Oleh karenanya, pemerintah sejatinya mengambil kebijakan yang lebih hati-hati. Selain karena kemungkinan masih akan ada varian baru yang lebih ganas, juga mengingat vaksinasi di Indonesia belum sekuat negara-negara Eropa. Secara umum varian Omicron mungkin bersifat lebih ringan daripada Delta. Tapi faktanya tidak sedikit orang, teman atau kolega yang terkena Covid-19 belakangan dengan gejala cukup parah. Ditambah pula dengan belum meratanya jangkauan vaksinasi, khususnya di kalangan masyarakat dalam kelompok konservatif sebagaimana dijelaskan di atas.
Upaya pembebasan dari Covid-19 membutuhkan kebersamaan dan keserentakan. Tanpa kebersamaan dan keserentakan, bukan tidak mungkin Pandemi Covid-19 akan terus berkelanjutan. Mengingat masih ada orang yang bisa tertular virus ini dan menimbulkan varian-varian baru. Begitu seterusnya hingga tak bisa diprediksi secara pasti kapan pandemi akan berakhir.
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul mazhab ketiga, yang penulis sebut sebagai kelompok Neo-Progresif. Kelompok ini sebenarnya berawal dari kelompok progresif yang sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19, taat terhadap protokol kesehatan dan mendukung program vaksinasi pemerintah. Namun kemunculan varian Omicron yang menurut para ahli tidak menimbulkan dampak yang serius layaknya varian Delta atau Alfa telah membuat kelompok ini “nyempal” dari kelompok progresif pada umumnya. Lebih daripada itu semua, kelompok Neo-Progresif ini justru bersikap layaknya kelompok konservatif.
Sebagaimana sikap kelompok konservatif, kelompok Neo-Progresif saat ini cenderung lebih rileks dalam menghadapi Covid-19, khususnya varian Omicron. Kelompok ini mendukung agar protokol kesehatan mulai dilonggarkan, mulai dari pewajiban masker hingga larangan berkumpul. Dalam hemat penulis, aksi-aksi konvoi kebebasan yang belakangan marak terjadi di negara-negara Eropa (sebagaimana telah disampaikan di atas) merupakan bagian dari kelompok Neo-Progresif.
Ke depan, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak kelompok masyarakat yang bersuara atau bahkan beraksi seperti dilakukan oleh kelompok Neo-Progresif, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi selama ini memang banyak kelompok konservatif di Indonesia yang suaranya menjadi sama dengan suara kelompok Neo-Progresif sekarang.
Sementara dari sisi pemerintah, banyak negara yang sepertinya mulai mengakomodasi aspirasi dari kelompok Neo-Progresif di atas. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kebijakan beberapa negara di Eropa yang berencana akan mulai menghentikan peraturan terkait protokol kesehatan per akhir Februari nanti. Pemerintah Indonesia sepertinya mengikuti arah kebijakan negara-negara Eropa ini, walaupun tidak disampaikan secara terus terang. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pelonggaran-pelonggaran khusus pada saat penerapan PPKM Level 3 (di sebagian wilayah) seperti sekarang.
Apabila varian Omicron benar-benar menjadi awal dari akhir pandemi, kebijakan beberapa negara sebagaimana di atas (termasuk pemerintah Indonesia) tentu tidak ada salahnya. Persoalannya sampai sekarang belum ada ahli yang berani mendeklarasikan sekaligus memastikan bahwa varian Omicron akan menjadi awal dari akhir pandemi. Sebaliknya ada pihak yang menengarai bahwa setelah varian Omicron diperkirakan akan ada varian lain yang lebih ganas daripada Omicron.
Oleh karenanya, pemerintah sejatinya mengambil kebijakan yang lebih hati-hati. Selain karena kemungkinan masih akan ada varian baru yang lebih ganas, juga mengingat vaksinasi di Indonesia belum sekuat negara-negara Eropa. Secara umum varian Omicron mungkin bersifat lebih ringan daripada Delta. Tapi faktanya tidak sedikit orang, teman atau kolega yang terkena Covid-19 belakangan dengan gejala cukup parah. Ditambah pula dengan belum meratanya jangkauan vaksinasi, khususnya di kalangan masyarakat dalam kelompok konservatif sebagaimana dijelaskan di atas.
Upaya pembebasan dari Covid-19 membutuhkan kebersamaan dan keserentakan. Tanpa kebersamaan dan keserentakan, bukan tidak mungkin Pandemi Covid-19 akan terus berkelanjutan. Mengingat masih ada orang yang bisa tertular virus ini dan menimbulkan varian-varian baru. Begitu seterusnya hingga tak bisa diprediksi secara pasti kapan pandemi akan berakhir.
(bmm)
Lihat Juga :
tulis komentar anda