Tiga Mazhab Pandemi
loading...
A
A
A
Hasibullah Satrawi
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
SEJAK kemunculannya pada akhir 2019, pandemi Covid-19 berhasil menjadi faktor, bahkan faktor utama dalam kehidupan manusia. Tidak hanya dalam konteks pribadi, melainkan juga dalam konteks negara. Di hadapan Covid-19, semua orang dan seluruh negara-bangsa dapat melihat siapa hakikat dirinya; ketaatan pada peraturan, kepedulian terhadap diri sendiri juga orang lain, kepatuhan terhadap pemerintah dan lain sebagainya. Bahkan Covid-19 juga bisa mengungkap “jati diri” dari sebuah bangsa.
Dalam beberapa hari terakhir, contohnya, banyak negara di Eropa yang mulai diwarnai aksi “konvoi kebebasan” dari pelbagai macam peraturan pembatasan sosial akibat Covid-19. Di mana salah satu peraturan yang timbul dari ini semua ialah kewajiban menggunakan masker. Sementara di negara-negara lain seperti Indonesia, menggunakan masker mungkin tidak perlu diwajibkan seperti di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS). Yang harus diwajibkan di Indonesia adalah tidak berkerumun yang terbukti banyak dilanggar oleh masyarakat maupun unsur pemerintah sendiri, baik pada momen-momen penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3 atau 4, dan terlebih lagi pada momen pemberlakuan PPKM level 1 dan 2.
Secara kebudayaan, masyarakat Eropa sangat memerhatikan aspek kebebasan dalam kehidupan mereka. Sementara masyarakat Indonesia sangat memerhatikan aspek kebersamaan atau gotong royong dalam hidupnya (mangan ora mangan sing penting kumpul). Covid-19 telah membatasi semua ini. Tapi Covid-19 juga memperlihatkan siapa yang merindukan apa sebagai jati dirinya.
Dua Mazhab
Menurut pengamatan penulis, ada dua mazhab atau kecenderungan dari masyarakat dunia dalam menyikapi Covid-19, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Pertama, mazhab konservatif. Masyarakat yang berada dalam kelompok ini biasanya cenderung rileks dalam menghadapi Covid-19; sebagian tidak terlalu memerhatikan protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan sebagian lainnya ada yang sampai tidak percaya dengan keberadaan Covid-19. Kalau pun sakit, kelompok masyarakat dalam kategori ini biasanya menganggap sebagai penyakit biasa; tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Bahkan kalau pun ada yang meninggal, sebagian masyarakat dalam kelompok ini juga menganggapnya sebagai kematian biasa; toh kematian dari dulu sudah biasa terjadi dalam kehidupan umat manusia.
Hal yang menarik adalah, masyarakat yang masuk dalam kategori pertama ini biasanya cenderung tidak terlalu antusias dalam menyambut program vaksinasi yang dilakukan oleh banyak negara di dunia. Mungkin karena pada dasarnya kelompok ini sudah tidak terlalu percaya terhadap Covid-19, maka ketidakpercayaan yang sama juga diberlakukan untuk upaya pencegahan ataupun perlindungan seperti vaksinasi. Alih-alih mau beli vaksin (andai vaksinasi jadi diperjual-belikan), bahkan sebagian pihak tetap tidak mau untuk mengikuti vaksinasi walaupun dibayar dengan “imbalan-imbalan” tertentu.
Kedua, mazhab progresif. Berbeda dengan kelompok konservatif, kelompok progresif sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19. Kelompok ini kerap melakukan segala daya dan upaya untuk menjaga diri dan orang lain agar tidak tertular oleh virus yang masih diupayakan obatnya ini. Sebagai turunannya, kelompok ini sangat patuh terhadap protokol kesehatan; mulai dari tidak keluar rumah, menghindari kerumunan masyarakat, rajin mencuci tangan dan hal-hal lainnya. Pun demikian, kelompok ini sangat positif dalam menghadapi program vaksinasi pemerintah sebagai upaya pencegahan dan perlindungan dari Covid-19. Andai pemerintah tetap memberlakukan vaksinasi berbayar, kelompok ini mungkin akan membelinya.
Neo-Progresif
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul mazhab ketiga, yang penulis sebut sebagai kelompok Neo-Progresif. Kelompok ini sebenarnya berawal dari kelompok progresif yang sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19, taat terhadap protokol kesehatan dan mendukung program vaksinasi pemerintah. Namun kemunculan varian Omicron yang menurut para ahli tidak menimbulkan dampak yang serius layaknya varian Delta atau Alfa telah membuat kelompok ini “nyempal” dari kelompok progresif pada umumnya. Lebih daripada itu semua, kelompok Neo-Progresif ini justru bersikap layaknya kelompok konservatif.
Sebagaimana sikap kelompok konservatif, kelompok Neo-Progresif saat ini cenderung lebih rileks dalam menghadapi Covid-19, khususnya varian Omicron. Kelompok ini mendukung agar protokol kesehatan mulai dilonggarkan, mulai dari pewajiban masker hingga larangan berkumpul. Dalam hemat penulis, aksi-aksi konvoi kebebasan yang belakangan marak terjadi di negara-negara Eropa (sebagaimana telah disampaikan di atas) merupakan bagian dari kelompok Neo-Progresif.
Ke depan, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak kelompok masyarakat yang bersuara atau bahkan beraksi seperti dilakukan oleh kelompok Neo-Progresif, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi selama ini memang banyak kelompok konservatif di Indonesia yang suaranya menjadi sama dengan suara kelompok Neo-Progresif sekarang.
Sementara dari sisi pemerintah, banyak negara yang sepertinya mulai mengakomodasi aspirasi dari kelompok Neo-Progresif di atas. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kebijakan beberapa negara di Eropa yang berencana akan mulai menghentikan peraturan terkait protokol kesehatan per akhir Februari nanti. Pemerintah Indonesia sepertinya mengikuti arah kebijakan negara-negara Eropa ini, walaupun tidak disampaikan secara terus terang. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pelonggaran-pelonggaran khusus pada saat penerapan PPKM Level 3 (di sebagian wilayah) seperti sekarang.
Apabila varian Omicron benar-benar menjadi awal dari akhir pandemi, kebijakan beberapa negara sebagaimana di atas (termasuk pemerintah Indonesia) tentu tidak ada salahnya. Persoalannya sampai sekarang belum ada ahli yang berani mendeklarasikan sekaligus memastikan bahwa varian Omicron akan menjadi awal dari akhir pandemi. Sebaliknya ada pihak yang menengarai bahwa setelah varian Omicron diperkirakan akan ada varian lain yang lebih ganas daripada Omicron.
Oleh karenanya, pemerintah sejatinya mengambil kebijakan yang lebih hati-hati. Selain karena kemungkinan masih akan ada varian baru yang lebih ganas, juga mengingat vaksinasi di Indonesia belum sekuat negara-negara Eropa. Secara umum varian Omicron mungkin bersifat lebih ringan daripada Delta. Tapi faktanya tidak sedikit orang, teman atau kolega yang terkena Covid-19 belakangan dengan gejala cukup parah. Ditambah pula dengan belum meratanya jangkauan vaksinasi, khususnya di kalangan masyarakat dalam kelompok konservatif sebagaimana dijelaskan di atas.
Upaya pembebasan dari Covid-19 membutuhkan kebersamaan dan keserentakan. Tanpa kebersamaan dan keserentakan, bukan tidak mungkin Pandemi Covid-19 akan terus berkelanjutan. Mengingat masih ada orang yang bisa tertular virus ini dan menimbulkan varian-varian baru. Begitu seterusnya hingga tak bisa diprediksi secara pasti kapan pandemi akan berakhir.
Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
SEJAK kemunculannya pada akhir 2019, pandemi Covid-19 berhasil menjadi faktor, bahkan faktor utama dalam kehidupan manusia. Tidak hanya dalam konteks pribadi, melainkan juga dalam konteks negara. Di hadapan Covid-19, semua orang dan seluruh negara-bangsa dapat melihat siapa hakikat dirinya; ketaatan pada peraturan, kepedulian terhadap diri sendiri juga orang lain, kepatuhan terhadap pemerintah dan lain sebagainya. Bahkan Covid-19 juga bisa mengungkap “jati diri” dari sebuah bangsa.
Dalam beberapa hari terakhir, contohnya, banyak negara di Eropa yang mulai diwarnai aksi “konvoi kebebasan” dari pelbagai macam peraturan pembatasan sosial akibat Covid-19. Di mana salah satu peraturan yang timbul dari ini semua ialah kewajiban menggunakan masker. Sementara di negara-negara lain seperti Indonesia, menggunakan masker mungkin tidak perlu diwajibkan seperti di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS). Yang harus diwajibkan di Indonesia adalah tidak berkerumun yang terbukti banyak dilanggar oleh masyarakat maupun unsur pemerintah sendiri, baik pada momen-momen penerapan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) Level 3 atau 4, dan terlebih lagi pada momen pemberlakuan PPKM level 1 dan 2.
Secara kebudayaan, masyarakat Eropa sangat memerhatikan aspek kebebasan dalam kehidupan mereka. Sementara masyarakat Indonesia sangat memerhatikan aspek kebersamaan atau gotong royong dalam hidupnya (mangan ora mangan sing penting kumpul). Covid-19 telah membatasi semua ini. Tapi Covid-19 juga memperlihatkan siapa yang merindukan apa sebagai jati dirinya.
Dua Mazhab
Menurut pengamatan penulis, ada dua mazhab atau kecenderungan dari masyarakat dunia dalam menyikapi Covid-19, tak terkecuali masyarakat Indonesia. Pertama, mazhab konservatif. Masyarakat yang berada dalam kelompok ini biasanya cenderung rileks dalam menghadapi Covid-19; sebagian tidak terlalu memerhatikan protokol kesehatan yang dikeluarkan oleh pemerintah. Bahkan sebagian lainnya ada yang sampai tidak percaya dengan keberadaan Covid-19. Kalau pun sakit, kelompok masyarakat dalam kategori ini biasanya menganggap sebagai penyakit biasa; tidak ada yang perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Bahkan kalau pun ada yang meninggal, sebagian masyarakat dalam kelompok ini juga menganggapnya sebagai kematian biasa; toh kematian dari dulu sudah biasa terjadi dalam kehidupan umat manusia.
Hal yang menarik adalah, masyarakat yang masuk dalam kategori pertama ini biasanya cenderung tidak terlalu antusias dalam menyambut program vaksinasi yang dilakukan oleh banyak negara di dunia. Mungkin karena pada dasarnya kelompok ini sudah tidak terlalu percaya terhadap Covid-19, maka ketidakpercayaan yang sama juga diberlakukan untuk upaya pencegahan ataupun perlindungan seperti vaksinasi. Alih-alih mau beli vaksin (andai vaksinasi jadi diperjual-belikan), bahkan sebagian pihak tetap tidak mau untuk mengikuti vaksinasi walaupun dibayar dengan “imbalan-imbalan” tertentu.
Kedua, mazhab progresif. Berbeda dengan kelompok konservatif, kelompok progresif sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19. Kelompok ini kerap melakukan segala daya dan upaya untuk menjaga diri dan orang lain agar tidak tertular oleh virus yang masih diupayakan obatnya ini. Sebagai turunannya, kelompok ini sangat patuh terhadap protokol kesehatan; mulai dari tidak keluar rumah, menghindari kerumunan masyarakat, rajin mencuci tangan dan hal-hal lainnya. Pun demikian, kelompok ini sangat positif dalam menghadapi program vaksinasi pemerintah sebagai upaya pencegahan dan perlindungan dari Covid-19. Andai pemerintah tetap memberlakukan vaksinasi berbayar, kelompok ini mungkin akan membelinya.
Neo-Progresif
Dalam beberapa waktu terakhir, muncul mazhab ketiga, yang penulis sebut sebagai kelompok Neo-Progresif. Kelompok ini sebenarnya berawal dari kelompok progresif yang sangat percaya terhadap keberadaan Covid-19, taat terhadap protokol kesehatan dan mendukung program vaksinasi pemerintah. Namun kemunculan varian Omicron yang menurut para ahli tidak menimbulkan dampak yang serius layaknya varian Delta atau Alfa telah membuat kelompok ini “nyempal” dari kelompok progresif pada umumnya. Lebih daripada itu semua, kelompok Neo-Progresif ini justru bersikap layaknya kelompok konservatif.
Sebagaimana sikap kelompok konservatif, kelompok Neo-Progresif saat ini cenderung lebih rileks dalam menghadapi Covid-19, khususnya varian Omicron. Kelompok ini mendukung agar protokol kesehatan mulai dilonggarkan, mulai dari pewajiban masker hingga larangan berkumpul. Dalam hemat penulis, aksi-aksi konvoi kebebasan yang belakangan marak terjadi di negara-negara Eropa (sebagaimana telah disampaikan di atas) merupakan bagian dari kelompok Neo-Progresif.
Ke depan, hampir bisa dipastikan akan semakin banyak kelompok masyarakat yang bersuara atau bahkan beraksi seperti dilakukan oleh kelompok Neo-Progresif, termasuk di Indonesia. Terlebih lagi selama ini memang banyak kelompok konservatif di Indonesia yang suaranya menjadi sama dengan suara kelompok Neo-Progresif sekarang.
Sementara dari sisi pemerintah, banyak negara yang sepertinya mulai mengakomodasi aspirasi dari kelompok Neo-Progresif di atas. Paling tidak hal ini bisa dilihat dari kebijakan beberapa negara di Eropa yang berencana akan mulai menghentikan peraturan terkait protokol kesehatan per akhir Februari nanti. Pemerintah Indonesia sepertinya mengikuti arah kebijakan negara-negara Eropa ini, walaupun tidak disampaikan secara terus terang. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya pelonggaran-pelonggaran khusus pada saat penerapan PPKM Level 3 (di sebagian wilayah) seperti sekarang.
Apabila varian Omicron benar-benar menjadi awal dari akhir pandemi, kebijakan beberapa negara sebagaimana di atas (termasuk pemerintah Indonesia) tentu tidak ada salahnya. Persoalannya sampai sekarang belum ada ahli yang berani mendeklarasikan sekaligus memastikan bahwa varian Omicron akan menjadi awal dari akhir pandemi. Sebaliknya ada pihak yang menengarai bahwa setelah varian Omicron diperkirakan akan ada varian lain yang lebih ganas daripada Omicron.
Oleh karenanya, pemerintah sejatinya mengambil kebijakan yang lebih hati-hati. Selain karena kemungkinan masih akan ada varian baru yang lebih ganas, juga mengingat vaksinasi di Indonesia belum sekuat negara-negara Eropa. Secara umum varian Omicron mungkin bersifat lebih ringan daripada Delta. Tapi faktanya tidak sedikit orang, teman atau kolega yang terkena Covid-19 belakangan dengan gejala cukup parah. Ditambah pula dengan belum meratanya jangkauan vaksinasi, khususnya di kalangan masyarakat dalam kelompok konservatif sebagaimana dijelaskan di atas.
Upaya pembebasan dari Covid-19 membutuhkan kebersamaan dan keserentakan. Tanpa kebersamaan dan keserentakan, bukan tidak mungkin Pandemi Covid-19 akan terus berkelanjutan. Mengingat masih ada orang yang bisa tertular virus ini dan menimbulkan varian-varian baru. Begitu seterusnya hingga tak bisa diprediksi secara pasti kapan pandemi akan berakhir.
(bmm)