PP No 109/2012 dan Fasisme Kesehatan
Senin, 15 Juni 2020 - 12:30 WIB
Pemerintah selayaknya harus melakukan langkah nyata. Pertama, memberikan perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya.
Kedua, pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Pada titik ini perlunya sosialisasi ke masyarakat soal bagaimana para perokok harus berperilaku, semisal dengan cara menghisap rokok di tempat yang telah disediakan. Rasanya sosialisasi, dengan pendekatan persuasif ke masyarakat lebih efektif ketimbang pendekatan hukum, berupa pemberian sanksi bagi yang merokok di sembarang tempat.
Ini bisa dilihat dari banyaknya perda (peraturan daerah) soal KTR (kawasan tanpa rokok) dan pemasangan iklan media luar ruang, yang tidak berjalan, sementara eksekusinya juga sulit ketika diterapkan di lapangan. Bagaimana mungkin diterapkan, karena kebiasaan merokok itu sudah demikian kuatnya di masyarakat kita. Termasuk petugasnya sendiri (Satpol PP), juga pecandu rokok, hingga diliputi kegamangan saat operasi di lapangan.
Dan lagi pro dan kontra soal rokok ini sudah menjadi isu nasional, jadi kurang tepat bila PP 109/2012 ini didelegasikan pada perda. Dikhawatirkan masing-masing daerah memiliki persepsi sendiri-sendiri, dan ini sudah terjadi. Sehingga peraturan yang muncul menjadi beragam, mulai dari yang lunak sampai yang keras.
Sekeras apa pun peraturan juga akan sia-sia bila pada akhirnya akan sulit dijalankan. Karena itu seluruh perda terkait KTR dan pemasangan iklan media luar, perlu ditinjau ulang.
Industri rokok memang berkepentingan dengan memasang iklan di media, baik di media elektronik, cetak, dan media luar ruang. Namun niat dari perokok, beserta lingkungan lebih menentukan. Tanpa iklan pun, kalau seseorang memang berniat menghisap rokok, dia akan tetap menghisap.
Kedua, pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Pada titik ini perlunya sosialisasi ke masyarakat soal bagaimana para perokok harus berperilaku, semisal dengan cara menghisap rokok di tempat yang telah disediakan. Rasanya sosialisasi, dengan pendekatan persuasif ke masyarakat lebih efektif ketimbang pendekatan hukum, berupa pemberian sanksi bagi yang merokok di sembarang tempat.
Ini bisa dilihat dari banyaknya perda (peraturan daerah) soal KTR (kawasan tanpa rokok) dan pemasangan iklan media luar ruang, yang tidak berjalan, sementara eksekusinya juga sulit ketika diterapkan di lapangan. Bagaimana mungkin diterapkan, karena kebiasaan merokok itu sudah demikian kuatnya di masyarakat kita. Termasuk petugasnya sendiri (Satpol PP), juga pecandu rokok, hingga diliputi kegamangan saat operasi di lapangan.
Dan lagi pro dan kontra soal rokok ini sudah menjadi isu nasional, jadi kurang tepat bila PP 109/2012 ini didelegasikan pada perda. Dikhawatirkan masing-masing daerah memiliki persepsi sendiri-sendiri, dan ini sudah terjadi. Sehingga peraturan yang muncul menjadi beragam, mulai dari yang lunak sampai yang keras.
Sekeras apa pun peraturan juga akan sia-sia bila pada akhirnya akan sulit dijalankan. Karena itu seluruh perda terkait KTR dan pemasangan iklan media luar, perlu ditinjau ulang.
Industri rokok memang berkepentingan dengan memasang iklan di media, baik di media elektronik, cetak, dan media luar ruang. Namun niat dari perokok, beserta lingkungan lebih menentukan. Tanpa iklan pun, kalau seseorang memang berniat menghisap rokok, dia akan tetap menghisap.
(poe)
tulis komentar anda