PP No 109/2012 dan Fasisme Kesehatan
loading...
A
A
A
Agus Surono
Direktur Eksekutif Re-Ide Indonesia, Jakarta
KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) saat ini tengah merevisi Peraturan Pemerintah No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP No 109/2012 yang prosesnya menuai kontroversi itu ditengarai cacat hukum.
Apa pasal? PP No 109/2012 sebagai produk hukum adalah gegabah, karena hanya melihat produk tembakau dalam kaitannya dengan dimensi kesehatan saja. Padahal dalam dimensi kesehatan pun masih debatable tentang manfaat dan kerugiannya.
PP No 109/2012 yang isinya mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ini, diduga kuat ingin mematikan keberlangsungan industri kretek nasional. Berbagai strategi dilakukan oleh kaum antirokok untuk mengampanyekan bahaya rokok bagi kesehatan.
Gerakan mereka tidak bedanya dengan sebentuk fasisme kesehatan. Dalihnya jelas, karena argumentasi yang dibangun melulu bahaya rokok atas kesehatan dengan mengesampingkan argumentasi bahwa sebenarnya tembakau juga memberikan manfaat bagi kesehatan.
Merujuk pandangan seorang profesor di Manchester Polytechnic (Inggris), Stephen Davies, fasisme kesehatan (health fascism) adalah pandangan paternalistik tentang pentingnya kesehatan yang harus diwujudkan melalui kekuasaan Negara. Ditargetkan secara sepihak kepada kelompok sasaran tertentu, dengan menyebarkan diskursus kepanikan moral tentang konsekuensi ketidaksehatan yang dapat terjadi.
Kampanye yang digaungkan pelbagai lembaga antirokok oleh sebagian orang atau kelompok telah dianggap sebagai teror yang menakutkan sekaligus menyebarkan aroma kematian. Nikotin dan tar sebagai toksin yang terdapat di dalam rokok ditengarai ikut membesarkan potensi seseorang untuk terkena komplikasi pelbagai penyakit kronis.
PP No 109/2012 tidak melihat kaitan struktural tentang produk tembakau yang tidak saja berdimensi kesehatan. Melainkan juga dimensi soial, ekonomi, politik bahkan juga dimensi peradaban dan kebudayaan nusantara.
Ditinjau dari Teori Risiko (Risk Theory), merokok berisiko terhadap kesehatan masih dalam bentuk persepsi, belum risiko nyata. Berbeda dengan jika rokok memang sudah membunuh sekian juta orang. Jadi, risiko rokok terhadap kesehatan masih dikategorikan risiko yang dipersepsikan (perceived risk), belum riil. Dengan demikian pengaturan rokok berdasarkan PP ini tidak tepat, kecuali risiko ini sudah manifes, risiko ini betul-betul sudah secara akademik terbuktikan, yang dalam kenyataan sangat sulit.
Jurnal-jurnal kesehatan belum terlalu banyak mengupas hal ini. Harus ada pertanggungjawaban akademik ilmiah yang memadai, sebelum diundangkan. Bukan yang meyakinkan masyarakat ini sungguh berisiko, bukan akan menjadi.
Data-data scientific pendukung ini sangat lemah, sangat terbatas, yang ada akhirnya mitos, yang ada generalisasi, yang kemudian menciptakan ketakutan massal yang tidak berdasar. Lalu ini dijadikan alasan untuk dijadikan aturan. Jadi kecemasan yang dibuat, kecemasan yang dikonstruksi sebenarnya, bukan kecemasan sungguhan.
Orang yang terkena serangan jantung karena rokok atau karena dia kurang olah raga, bagaimana membuktikannya? Seberapa besar kontribusi nikotin terhadap serangan jantung dibandingkan dengan makanan berlemak yang membuat sumbatan di pembuluh darah itu disebabkan oleh nikotinnya atau karena konsumsi lemaknya.
Tidak bisa orang membuat hukum berdasarkan kecemasan. Kecemasan ada sesuatu yang bakal terjadi. Misalnya aturan emisi, sudah ada data-data ilmiah, permukaan laut di kutub utara itu sudah hilang sekian persen, itu ada data-datanya ada bukti-buktinya, bukti ilmiah, ada ratusan jurnal yang menulis tentang hal itu
Suatu aturan bukan sekedar dibuat berdasarkan apa yang disangkakan menjadi risiko, tapi harus didasarkan pada resiko yang sungguh-sungguh riil. Risiko nyata tidak bisa dengan mengatakan bahwa ada 4000 zat adiktif, harus betul-betul dibuktikan satu per satu memiliki dampak terhadap kesehatan, dibuktikan betul secara rinci, secara detail, baru kemudian dijadikan PP. Kita tidak bisa membuat undang-undang berdasarkan resiko yang dicemaskan.
Secara sosiologi, PP No 109/2012 pada hakekatnya menggeser tatanan kehidupan tradisional ke modern dari kebudayaan masyarakat yang bersifat komunal (falsafah oriental) ke kehidupan masyarakat yang bersifat individual (falsafah oksidental).
Rokok tradisional dapat dikaji dari dua sudut pandang. Pertama, dari proses pembuatan rokok di dalam masyarakat baik dikerjakan secara individual maupun oleh pabrik, seluruh bahan bakunya bersifat alami. Artinya, rokok tidak dibuat dari satu bahan, tetapi dihasilkan/kombinasi dari beberapa bahan lain (klobot/daun jagung, cengkeh) yang masing-masing merupakan mata pencaharian dari masyarakat.
Penyatuan bahan-bahan itu menjadi rokok menggambarkan adanya suatu hubungan sosial yang saling melengkapi atau kehidupan yang saling berkontribusi yang disebut sebagai kehidupan komunal. Inilah cermin dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Kedua, nilai guna rokok dalam kehidupan masyarakat. Di daerah pedalaman masyarakat menggunakan rokok sebagai alat sesaji (ritual). Rokok juga digunakan sebagai sarana keakraban dalam pergaulan. Rokok juga digunakan sebagai sarana penghangat tubuh, terutama bagi warga masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan.
Jadi, rokok tidak sekedar sebagai produk materi akan tetapi memiliki nilai sosial budaya yang khas bagi masyarakat Indonesia. Dari produk rokok tradisional yang berbahan baku tembakau dan cengkeh pada dasarnya merupakan produk kebudayaan komunal. Jika hasil budaya dari masyarakat Indonesia tersebut dihilangkan maka sama dengan menghilangkan budaya dasar bangsa Indonesia.
Secara normatif, PP No 109/2012 dalam hal pembuatanya dalam proses hukum hampir tidak memperhitungkan kondisi pranata sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia. Jika keluarnya PP tersebut selain untuk menegakkan UU Kesehatan No 36/2009 juga dimaksud untuk mengubah tata cara kehidupan masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern, maka faktor penting yang perlu diperhitungkan lebih dahulu adalah masalah ideologi dan pendidikan bangsa Indonesia.
Upaya perubahan masyarakat melalui jalan undang-undang memang dapat dilakukan (law as a tool of social engineering), namun hal itu perlu memperhatikan kondisi sosial. Pertama, compliance, yaitu dapat memenuhi harapan masyarakat akan adanya imbalan untuk menghindari hukuman yg mungkin dikenakan bila seseorang melanggar ketentuan.
Kedua, identification, mengarahkan kepatuhan masyarakat terhadap kaidah bukan karena takut terkena sanksi, tetapi memahami dan menghargai nilai intrinsiknya dari suatu peraturan. Ketiga, internalization, kepatuhan warga masyarakat tahap kaidah telah melembaga dalam dirinya.
Karena itu, penerapan PP No 109/2012 perlu memperhatikan basis-basis dalam kehidupan masyarakat, yaitu: hukum atau peraturan bukan sekedar “alat” yang dapat dimanfaatkan untuk suatu tujuan tertentu, akan tetapi merupakan perangkat tradisi, objek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan budaya.
Dalam kasus konsumsi tembakau (khususnya) di Indonesia akhir-akhir ini, ada dua konstruksi sosial yang berjalan bersamaan. Pertama, adalah konstruksi sosial yang menganggap mengkonsumsi rokok tidak berdampak buruk pada kesehatan. Konstruksi sosial kedua, adalah lawan dari yang pertama.
Singkat kata, persoalan rokok bukan semata-mata soal kesehatan, namun juga masalah sosial, mirip-mirip dengan kasus konsumsi pinang, di berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya, tradisi warga Papua yang biasa mengunyah buah pinang.
Selain karena tradisi, mengunyah pinang adalah untuk memelihara gigi, jadi berfungsi seperti pasta gigi. Dalam kadar tertentu mengunyah pinang juga memberi kenikmatan bagi pemakainya, layaknya orang yang mengonsumsi rokok atau (bahkan) ganja, pemakai bisa merasakan halusinasi (fly).
Hanya saja yang jadi masalah, kebiasaan mengunyah pinang ini menimbulkan limbah dari pemakainya, berupa air liur berwarna kemerahan, yang sering dibuang di sembarang tempat, bahkan di tempat-tempat yang sangat disiplin dalam hal kebersihan, seperti di bandara dan hotel.
Dari segi konstitusi, pertama, PP No 109/2012 ini tidak sesuai bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Kedua, PP No 109/2012 ini bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 45.
Ketiga, PP No 109/2012 ini tidak sejalan dengan pasal 33 UUD 45. Keempat, PP No 109/2012 ini tidak sejalan dengan pasal 27 UUD 45. Dengan demikian PP ini layak untuk dibatalkan.
Pemerintah selayaknya harus melakukan langkah nyata. Pertama, memberikan perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya.
Kedua, pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Pada titik ini perlunya sosialisasi ke masyarakat soal bagaimana para perokok harus berperilaku, semisal dengan cara menghisap rokok di tempat yang telah disediakan. Rasanya sosialisasi, dengan pendekatan persuasif ke masyarakat lebih efektif ketimbang pendekatan hukum, berupa pemberian sanksi bagi yang merokok di sembarang tempat.
Ini bisa dilihat dari banyaknya perda (peraturan daerah) soal KTR (kawasan tanpa rokok) dan pemasangan iklan media luar ruang, yang tidak berjalan, sementara eksekusinya juga sulit ketika diterapkan di lapangan. Bagaimana mungkin diterapkan, karena kebiasaan merokok itu sudah demikian kuatnya di masyarakat kita. Termasuk petugasnya sendiri (Satpol PP), juga pecandu rokok, hingga diliputi kegamangan saat operasi di lapangan.
Dan lagi pro dan kontra soal rokok ini sudah menjadi isu nasional, jadi kurang tepat bila PP 109/2012 ini didelegasikan pada perda. Dikhawatirkan masing-masing daerah memiliki persepsi sendiri-sendiri, dan ini sudah terjadi. Sehingga peraturan yang muncul menjadi beragam, mulai dari yang lunak sampai yang keras.
Sekeras apa pun peraturan juga akan sia-sia bila pada akhirnya akan sulit dijalankan. Karena itu seluruh perda terkait KTR dan pemasangan iklan media luar, perlu ditinjau ulang.
Industri rokok memang berkepentingan dengan memasang iklan di media, baik di media elektronik, cetak, dan media luar ruang. Namun niat dari perokok, beserta lingkungan lebih menentukan. Tanpa iklan pun, kalau seseorang memang berniat menghisap rokok, dia akan tetap menghisap.
Direktur Eksekutif Re-Ide Indonesia, Jakarta
KEMENTERIAN Kesehatan (Kemenkes) saat ini tengah merevisi Peraturan Pemerintah No 109/2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan. PP No 109/2012 yang prosesnya menuai kontroversi itu ditengarai cacat hukum.
Apa pasal? PP No 109/2012 sebagai produk hukum adalah gegabah, karena hanya melihat produk tembakau dalam kaitannya dengan dimensi kesehatan saja. Padahal dalam dimensi kesehatan pun masih debatable tentang manfaat dan kerugiannya.
PP No 109/2012 yang isinya mengadopsi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) ini, diduga kuat ingin mematikan keberlangsungan industri kretek nasional. Berbagai strategi dilakukan oleh kaum antirokok untuk mengampanyekan bahaya rokok bagi kesehatan.
Gerakan mereka tidak bedanya dengan sebentuk fasisme kesehatan. Dalihnya jelas, karena argumentasi yang dibangun melulu bahaya rokok atas kesehatan dengan mengesampingkan argumentasi bahwa sebenarnya tembakau juga memberikan manfaat bagi kesehatan.
Merujuk pandangan seorang profesor di Manchester Polytechnic (Inggris), Stephen Davies, fasisme kesehatan (health fascism) adalah pandangan paternalistik tentang pentingnya kesehatan yang harus diwujudkan melalui kekuasaan Negara. Ditargetkan secara sepihak kepada kelompok sasaran tertentu, dengan menyebarkan diskursus kepanikan moral tentang konsekuensi ketidaksehatan yang dapat terjadi.
Kampanye yang digaungkan pelbagai lembaga antirokok oleh sebagian orang atau kelompok telah dianggap sebagai teror yang menakutkan sekaligus menyebarkan aroma kematian. Nikotin dan tar sebagai toksin yang terdapat di dalam rokok ditengarai ikut membesarkan potensi seseorang untuk terkena komplikasi pelbagai penyakit kronis.
PP No 109/2012 tidak melihat kaitan struktural tentang produk tembakau yang tidak saja berdimensi kesehatan. Melainkan juga dimensi soial, ekonomi, politik bahkan juga dimensi peradaban dan kebudayaan nusantara.
Ditinjau dari Teori Risiko (Risk Theory), merokok berisiko terhadap kesehatan masih dalam bentuk persepsi, belum risiko nyata. Berbeda dengan jika rokok memang sudah membunuh sekian juta orang. Jadi, risiko rokok terhadap kesehatan masih dikategorikan risiko yang dipersepsikan (perceived risk), belum riil. Dengan demikian pengaturan rokok berdasarkan PP ini tidak tepat, kecuali risiko ini sudah manifes, risiko ini betul-betul sudah secara akademik terbuktikan, yang dalam kenyataan sangat sulit.
Jurnal-jurnal kesehatan belum terlalu banyak mengupas hal ini. Harus ada pertanggungjawaban akademik ilmiah yang memadai, sebelum diundangkan. Bukan yang meyakinkan masyarakat ini sungguh berisiko, bukan akan menjadi.
Data-data scientific pendukung ini sangat lemah, sangat terbatas, yang ada akhirnya mitos, yang ada generalisasi, yang kemudian menciptakan ketakutan massal yang tidak berdasar. Lalu ini dijadikan alasan untuk dijadikan aturan. Jadi kecemasan yang dibuat, kecemasan yang dikonstruksi sebenarnya, bukan kecemasan sungguhan.
Orang yang terkena serangan jantung karena rokok atau karena dia kurang olah raga, bagaimana membuktikannya? Seberapa besar kontribusi nikotin terhadap serangan jantung dibandingkan dengan makanan berlemak yang membuat sumbatan di pembuluh darah itu disebabkan oleh nikotinnya atau karena konsumsi lemaknya.
Tidak bisa orang membuat hukum berdasarkan kecemasan. Kecemasan ada sesuatu yang bakal terjadi. Misalnya aturan emisi, sudah ada data-data ilmiah, permukaan laut di kutub utara itu sudah hilang sekian persen, itu ada data-datanya ada bukti-buktinya, bukti ilmiah, ada ratusan jurnal yang menulis tentang hal itu
Suatu aturan bukan sekedar dibuat berdasarkan apa yang disangkakan menjadi risiko, tapi harus didasarkan pada resiko yang sungguh-sungguh riil. Risiko nyata tidak bisa dengan mengatakan bahwa ada 4000 zat adiktif, harus betul-betul dibuktikan satu per satu memiliki dampak terhadap kesehatan, dibuktikan betul secara rinci, secara detail, baru kemudian dijadikan PP. Kita tidak bisa membuat undang-undang berdasarkan resiko yang dicemaskan.
Secara sosiologi, PP No 109/2012 pada hakekatnya menggeser tatanan kehidupan tradisional ke modern dari kebudayaan masyarakat yang bersifat komunal (falsafah oriental) ke kehidupan masyarakat yang bersifat individual (falsafah oksidental).
Rokok tradisional dapat dikaji dari dua sudut pandang. Pertama, dari proses pembuatan rokok di dalam masyarakat baik dikerjakan secara individual maupun oleh pabrik, seluruh bahan bakunya bersifat alami. Artinya, rokok tidak dibuat dari satu bahan, tetapi dihasilkan/kombinasi dari beberapa bahan lain (klobot/daun jagung, cengkeh) yang masing-masing merupakan mata pencaharian dari masyarakat.
Penyatuan bahan-bahan itu menjadi rokok menggambarkan adanya suatu hubungan sosial yang saling melengkapi atau kehidupan yang saling berkontribusi yang disebut sebagai kehidupan komunal. Inilah cermin dari kehidupan sosial masyarakat Indonesia.
Kedua, nilai guna rokok dalam kehidupan masyarakat. Di daerah pedalaman masyarakat menggunakan rokok sebagai alat sesaji (ritual). Rokok juga digunakan sebagai sarana keakraban dalam pergaulan. Rokok juga digunakan sebagai sarana penghangat tubuh, terutama bagi warga masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan.
Jadi, rokok tidak sekedar sebagai produk materi akan tetapi memiliki nilai sosial budaya yang khas bagi masyarakat Indonesia. Dari produk rokok tradisional yang berbahan baku tembakau dan cengkeh pada dasarnya merupakan produk kebudayaan komunal. Jika hasil budaya dari masyarakat Indonesia tersebut dihilangkan maka sama dengan menghilangkan budaya dasar bangsa Indonesia.
Secara normatif, PP No 109/2012 dalam hal pembuatanya dalam proses hukum hampir tidak memperhitungkan kondisi pranata sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia. Jika keluarnya PP tersebut selain untuk menegakkan UU Kesehatan No 36/2009 juga dimaksud untuk mengubah tata cara kehidupan masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern, maka faktor penting yang perlu diperhitungkan lebih dahulu adalah masalah ideologi dan pendidikan bangsa Indonesia.
Upaya perubahan masyarakat melalui jalan undang-undang memang dapat dilakukan (law as a tool of social engineering), namun hal itu perlu memperhatikan kondisi sosial. Pertama, compliance, yaitu dapat memenuhi harapan masyarakat akan adanya imbalan untuk menghindari hukuman yg mungkin dikenakan bila seseorang melanggar ketentuan.
Kedua, identification, mengarahkan kepatuhan masyarakat terhadap kaidah bukan karena takut terkena sanksi, tetapi memahami dan menghargai nilai intrinsiknya dari suatu peraturan. Ketiga, internalization, kepatuhan warga masyarakat tahap kaidah telah melembaga dalam dirinya.
Karena itu, penerapan PP No 109/2012 perlu memperhatikan basis-basis dalam kehidupan masyarakat, yaitu: hukum atau peraturan bukan sekedar “alat” yang dapat dimanfaatkan untuk suatu tujuan tertentu, akan tetapi merupakan perangkat tradisi, objek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan budaya.
Dalam kasus konsumsi tembakau (khususnya) di Indonesia akhir-akhir ini, ada dua konstruksi sosial yang berjalan bersamaan. Pertama, adalah konstruksi sosial yang menganggap mengkonsumsi rokok tidak berdampak buruk pada kesehatan. Konstruksi sosial kedua, adalah lawan dari yang pertama.
Singkat kata, persoalan rokok bukan semata-mata soal kesehatan, namun juga masalah sosial, mirip-mirip dengan kasus konsumsi pinang, di berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya, tradisi warga Papua yang biasa mengunyah buah pinang.
Selain karena tradisi, mengunyah pinang adalah untuk memelihara gigi, jadi berfungsi seperti pasta gigi. Dalam kadar tertentu mengunyah pinang juga memberi kenikmatan bagi pemakainya, layaknya orang yang mengonsumsi rokok atau (bahkan) ganja, pemakai bisa merasakan halusinasi (fly).
Hanya saja yang jadi masalah, kebiasaan mengunyah pinang ini menimbulkan limbah dari pemakainya, berupa air liur berwarna kemerahan, yang sering dibuang di sembarang tempat, bahkan di tempat-tempat yang sangat disiplin dalam hal kebersihan, seperti di bandara dan hotel.
Dari segi konstitusi, pertama, PP No 109/2012 ini tidak sesuai bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Kedua, PP No 109/2012 ini bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 45.
Ketiga, PP No 109/2012 ini tidak sejalan dengan pasal 33 UUD 45. Keempat, PP No 109/2012 ini tidak sejalan dengan pasal 27 UUD 45. Dengan demikian PP ini layak untuk dibatalkan.
Pemerintah selayaknya harus melakukan langkah nyata. Pertama, memberikan perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya.
Kedua, pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.
Pada titik ini perlunya sosialisasi ke masyarakat soal bagaimana para perokok harus berperilaku, semisal dengan cara menghisap rokok di tempat yang telah disediakan. Rasanya sosialisasi, dengan pendekatan persuasif ke masyarakat lebih efektif ketimbang pendekatan hukum, berupa pemberian sanksi bagi yang merokok di sembarang tempat.
Ini bisa dilihat dari banyaknya perda (peraturan daerah) soal KTR (kawasan tanpa rokok) dan pemasangan iklan media luar ruang, yang tidak berjalan, sementara eksekusinya juga sulit ketika diterapkan di lapangan. Bagaimana mungkin diterapkan, karena kebiasaan merokok itu sudah demikian kuatnya di masyarakat kita. Termasuk petugasnya sendiri (Satpol PP), juga pecandu rokok, hingga diliputi kegamangan saat operasi di lapangan.
Dan lagi pro dan kontra soal rokok ini sudah menjadi isu nasional, jadi kurang tepat bila PP 109/2012 ini didelegasikan pada perda. Dikhawatirkan masing-masing daerah memiliki persepsi sendiri-sendiri, dan ini sudah terjadi. Sehingga peraturan yang muncul menjadi beragam, mulai dari yang lunak sampai yang keras.
Sekeras apa pun peraturan juga akan sia-sia bila pada akhirnya akan sulit dijalankan. Karena itu seluruh perda terkait KTR dan pemasangan iklan media luar, perlu ditinjau ulang.
Industri rokok memang berkepentingan dengan memasang iklan di media, baik di media elektronik, cetak, dan media luar ruang. Namun niat dari perokok, beserta lingkungan lebih menentukan. Tanpa iklan pun, kalau seseorang memang berniat menghisap rokok, dia akan tetap menghisap.
(poe)