PP No 109/2012 dan Fasisme Kesehatan

Senin, 15 Juni 2020 - 12:30 WIB
Kedua, nilai guna rokok dalam kehidupan masyarakat. Di daerah pedalaman masyarakat menggunakan rokok sebagai alat sesaji (ritual). Rokok juga digunakan sebagai sarana keakraban dalam pergaulan. Rokok juga digunakan sebagai sarana penghangat tubuh, terutama bagi warga masyarakat yang bertempat tinggal di daerah pegunungan.

Jadi, rokok tidak sekedar sebagai produk materi akan tetapi memiliki nilai sosial budaya yang khas bagi masyarakat Indonesia. Dari produk rokok tradisional yang berbahan baku tembakau dan cengkeh pada dasarnya merupakan produk kebudayaan komunal. Jika hasil budaya dari masyarakat Indonesia tersebut dihilangkan maka sama dengan menghilangkan budaya dasar bangsa Indonesia.

Secara normatif, PP No 109/2012 dalam hal pembuatanya dalam proses hukum hampir tidak memperhitungkan kondisi pranata sosial, budaya dan ekonomi masyarakat Indonesia. Jika keluarnya PP tersebut selain untuk menegakkan UU Kesehatan No 36/2009 juga dimaksud untuk mengubah tata cara kehidupan masyarakat Indonesia dari tradisional ke modern, maka faktor penting yang perlu diperhitungkan lebih dahulu adalah masalah ideologi dan pendidikan bangsa Indonesia.

Upaya perubahan masyarakat melalui jalan undang-undang memang dapat dilakukan (law as a tool of social engineering), namun hal itu perlu memperhatikan kondisi sosial. Pertama, compliance, yaitu dapat memenuhi harapan masyarakat akan adanya imbalan untuk menghindari hukuman yg mungkin dikenakan bila seseorang melanggar ketentuan.

Kedua, identification, mengarahkan kepatuhan masyarakat terhadap kaidah bukan karena takut terkena sanksi, tetapi memahami dan menghargai nilai intrinsiknya dari suatu peraturan. Ketiga, internalization, kepatuhan warga masyarakat tahap kaidah telah melembaga dalam dirinya.

Karena itu, penerapan PP No 109/2012 perlu memperhatikan basis-basis dalam kehidupan masyarakat, yaitu: hukum atau peraturan bukan sekedar “alat” yang dapat dimanfaatkan untuk suatu tujuan tertentu, akan tetapi merupakan perangkat tradisi, objek pertukaran nilai yang tidak netral dari pengaruh sosial dan budaya.

Dalam kasus konsumsi tembakau (khususnya) di Indonesia akhir-akhir ini, ada dua konstruksi sosial yang berjalan bersamaan. Pertama, adalah konstruksi sosial yang menganggap mengkonsumsi rokok tidak berdampak buruk pada kesehatan. Konstruksi sosial kedua, adalah lawan dari yang pertama.

Singkat kata, persoalan rokok bukan semata-mata soal kesehatan, namun juga masalah sosial, mirip-mirip dengan kasus konsumsi pinang, di berbagai wilayah di Indonesia. Misalnya, tradisi warga Papua yang biasa mengunyah buah pinang.

Selain karena tradisi, mengunyah pinang adalah untuk memelihara gigi, jadi berfungsi seperti pasta gigi. Dalam kadar tertentu mengunyah pinang juga memberi kenikmatan bagi pemakainya, layaknya orang yang mengonsumsi rokok atau (bahkan) ganja, pemakai bisa merasakan halusinasi (fly).

Hanya saja yang jadi masalah, kebiasaan mengunyah pinang ini menimbulkan limbah dari pemakainya, berupa air liur berwarna kemerahan, yang sering dibuang di sembarang tempat, bahkan di tempat-tempat yang sangat disiplin dalam hal kebersihan, seperti di bandara dan hotel.

Dari segi konstitusi, pertama, PP No 109/2012 ini tidak sesuai bahkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan lebih tinggi. Kedua, PP No 109/2012 ini bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana termuat dalam pembukaan UUD 45.

Ketiga, PP No 109/2012 ini tidak sejalan dengan pasal 33 UUD 45. Keempat, PP No 109/2012 ini tidak sejalan dengan pasal 27 UUD 45. Dengan demikian PP ini layak untuk dibatalkan.

Pemerintah selayaknya harus melakukan langkah nyata. Pertama, memberikan perlindungan yang wajar bagi industri dalam negeri terhadap kegiatan-kegiatan industri dan perdagangan luar negeri yang bertentangan dengan kepentingan nasional pada umumnya serta kepentingan perkembangan industri dalam negeri pada khususnya.

Kedua, pencegahan timbulnya kerusakan dan pencemaran terhadap lingkungan hidup, serta pengamanan terhadap keseimbangan dan kelestarian sumber daya alam.

Pada titik ini perlunya sosialisasi ke masyarakat soal bagaimana para perokok harus berperilaku, semisal dengan cara menghisap rokok di tempat yang telah disediakan. Rasanya sosialisasi, dengan pendekatan persuasif ke masyarakat lebih efektif ketimbang pendekatan hukum, berupa pemberian sanksi bagi yang merokok di sembarang tempat.

Ini bisa dilihat dari banyaknya perda (peraturan daerah) soal KTR (kawasan tanpa rokok) dan pemasangan iklan media luar ruang, yang tidak berjalan, sementara eksekusinya juga sulit ketika diterapkan di lapangan. Bagaimana mungkin diterapkan, karena kebiasaan merokok itu sudah demikian kuatnya di masyarakat kita. Termasuk petugasnya sendiri (Satpol PP), juga pecandu rokok, hingga diliputi kegamangan saat operasi di lapangan.

Dan lagi pro dan kontra soal rokok ini sudah menjadi isu nasional, jadi kurang tepat bila PP 109/2012 ini didelegasikan pada perda. Dikhawatirkan masing-masing daerah memiliki persepsi sendiri-sendiri, dan ini sudah terjadi. Sehingga peraturan yang muncul menjadi beragam, mulai dari yang lunak sampai yang keras.

Sekeras apa pun peraturan juga akan sia-sia bila pada akhirnya akan sulit dijalankan. Karena itu seluruh perda terkait KTR dan pemasangan iklan media luar, perlu ditinjau ulang.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Terpopuler
Berita Terkini More