Tombo Ati Membangun Komunikasi Beradab

Sabtu, 26 Februari 2022 - 11:50 WIB
Perilaku seperti ini jelas sebagai sebuah sikap selfish yang tidak bertanggung jawab. Mengapa? Karena berbeda dengan—katakanlah--Inggris, Belanda, atau yang dekat Malaysia atau Brunei Darussalam, sejarah terbangunnya Indonesia berbeda diametral dengan negara-negara tadi. Banyak negara-negara tersebut tumbuh relatif homogen (kalaupun terjadi migrasi, pendatang menyesuaikan dengan adat budaya negara tersebut), sebagai satu bangsa.

Indonesia justru terbangun dari keanekaragaman dan terajut dalam kemajemukan. Proses merajut kemajemukan juga berlangsung cukup lama sehingga terbentuk nilai-nilai seperi yang saat ini eksis. Dengan latar belakang seperi itu, seharusnya kita bisa lebih saling menghargai dan tidak begitu mudah mengorek-orek perbedaan berpoten menimbulkan gesekan sosial.

Nilai yang dipeluk erat bersama-sama itu tidak hanya dimulai dari 1905 yang ditandai dengan lahirnya Syarekat Dagang Islam sebagai organisasi pertama bumiputera, Sumpah Pemuda 1928, atau proklamasi 1945 hingga sekarang.

Runutannya pun tertanam hingga—paling tidak berdasarkan temuan saat ini--kakawin Sutasoma yang digubah Mpu Tantular pertengahan abad ke-14. Kakawin itu jelas benih kesadaran akan perbedaan yang disemai di kawasan kepulauan Nusantara yang layaknya tumbuh subur di sanubari semua anak bangsa. Salah satu bait dalam epos Sutasoma yakni “Bhinneka Tunggal Ika”, yang kemudian menjadi semboyan, menjadi napas bangsa Indonesia. Tertera dalam pita yang digenggam “burung garuda” lambang negara Republik Indonesia.

Dengan runutan sejarah sejauh itu, secara politik perkembangan kesadaran akan perbedaan di negeri ini harusnya sudah khatam, sudah selesai, dikukuhkan kaum muda lewat Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.

Tentu saja, ada turun-naik proses harmoni dan disharmoni yang berlangsung di tengah-tengah masyarakat. Di masa Orde Baru, persoalan kebangsaan ini tak bisa dinafikan berjalan relatif lebih baik walaupun terdapat juga letupan-letupan. Sebagai warga negara, kita saat itu sadar akan pentingnya Wawasan Nusantara, yang tak hanya mengakomodasi pemikiran keberagaman, namun tegas memaknai Indonesia sebagai wujud Pluralisme.

Akan tetapi, kini situasinya sudah berubah. Atas nama kebebasan berpendapat, hal yang berbeda terjadi belakangan ini. Dunia maya menjadi ruang cukup telanjang yang seakan menafikan keberagaman yang dimiliki oleh Indonesia.

Dalam sebulan terakhir ini saja kita bisa melihat betapa isu-isu sektarian begitu mudah menyengat kohesi sosial masyarakat. Mulai dari mempersoalkan berbahasa Sunda di rapat dewan yang terhormat, diksi Jin Buang Anak untuk menggambarkan pemindahan Ibu Kota Baru ke Kalimantan, persoalan toa mesjid, hingga masalah wayang.

Imbas dari itu semua, masyarakat kian mudah tersulut. Ada yang menggunakan jalur hukum atau melakukan perundungan di dunia maya. Sikap buruk yang tumbuh seperti itu sesungguhnya membahayakan kebersamaan sesama anak bangsa. Bukan mustahil ini kemudian akan mengubah kita menjadi predator keberagaman. Entah berbeda agama, suku, golongan, pilihan politik, dan sebagainya.

Seolah warisan budaya kita yang dikenal sebagai negara pemaaf sudah sirna. Kalaupun ada kata maaf sekarang ini maka akan selalu ada kalimat ”Soal maaf, kami bisa terima, tapi urusan hukum, jalan terus.”
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More