Pengeras Suara: Bid’ah yang Baik atau Buruk?

Jum'at, 25 Februari 2022 - 07:55 WIB
Pengaturan penggunaan pengeras suara dikaitkan dengan politik, atau kepentingan politik, juga tidak tepat. Mari berfikir jernih, rasional, dan runtut. Tentang penggunaan dan tata tertib pengeras suara itu sudah diatur lama oleh Kementerian Agama 44 tahun yang lalu. Penggunaan pengeras suara adalah isu lama.

Peraturan itu termaktub dalam Instruksi Direktur Jendral bimbingan masyarakat Islam nomer KEP/D/I/78 dengan judul “Tuntutan penggunaan pengeras suara di masjid dan musholla”. Tuntunan itu disahkan di Jakarta tanggal 17 Juli 1978. Yang menandatangani Direktur Jenderal Drs. Kafrawi MA. Peraturan Dirjend itu termasuk rinci.

Pertama pengertian pengeras suara yang digunakan di masjid dan musala diterangkan. Lalu ada soal fungsi pengeras suara. Juga dibahas tentang syarat-starat pengeras suara. Bahkan ada aturan pemasangan, pemakaian, semua waktu salat, dan hari besar Islam. Ada juga hal-hal yang harus dihindari. Bahkan suara dan kaset pun dibahas. Peraturan itu lengkap dan bertujuan membantu kita semua soal penggunaan pengeras suara.

Namun, peraturan itu sebetulnya sudah tidak lagi menjawab banyak tantangan umat Islam Indonesia masa kini. Sudah 44 tahun yang lalu. Tentu pengeras suara tidak secanggih sekarang ini, dari sisi inovasi teknologi. Dulu teknologi pengeras suara masih analog, sekarang sudah digital. Dulu semua masih dengan tangan, sekarang sudah dengan remote control.

Dulu semua disimpan dalam pita kaset lalu diputar dengan tape rekorder. Saat ini sudah banyak teknologi yang berkembang, YouTube, Tiktok, dan telepon genggam dengan fitur yang canggih. Instruksi Dirjend tahun 1978 sudah tidak menjawab tantangan masyarakat, karena isu sudah bergulir. Era ini adalah demokrasi dan desentralisasi, 44 tahun yang lalu adalah era demokrasi ala otoritarianisme dengan peran militer yang ketat.

Masyarakat Indonesia sudah jauh berkembang, ada isu toleransi tidak sama lagi dengan 44 tahun yang lalu. Paham moderasi beragama, toleransi dan keberagaman (kebinekaan) diperlukan cara baru dalam masyarakat multi-kultural, multi-etnis, dan multi-agama kini. Era Orde Baru agama hanya lima yang diakui negara, saat ini ada enam.

Surat Edaran Menteri Agama nomer SE 05 Tahun 2022 jauh lebih sederhana dari Tuntunan Dirjend 1978. Tuntunan Dirjend 1978 lebih rinci, mengatur lebih banyak, dan lebih tebal. Surat Edaran 2022 hanya empat halaman, sedangkan tuntunan Dirjend 1978 ada 10 halaman. Ada persamaan dalam dua dokumen itu termasuk bagaimana rincian pengertian, waktu, pemasangan, tata cara.

Namun beberapa hal baru ditemukan, volume pengeras suara paling besar 100 dB (desibel). Yang lain tentu penggunaan bahasa dan gaya bahasa berbeda. Surat edaran lebih sederhana, mudah dimengerti, dan diperlukan. Pengeras suara sudah banyak mengganggu, tidak hanya dalam kaitan agama, di luar kebutuhan agama pun sama, sering bising di lingkungan kita. Surat Edaran Menteri Agama sudah tepat, bahkan diperlukan lebih jelas lagi.

Agama jelas wahyu ilahi, tetapi pelaksaanannya, apalagi penggunaan pengeras suara adalah perbuatan manusia. Manusia adalah warga negara, harus menunjukkan toleransi, tidak mengganggu manusia lain, dan bisa diatur. Penggunaan pengeras suara harus diatur, supaya menjadi bid’ah hasanah tidak bid’ah zalalah.
(rca)
Halaman :
Lihat Juga :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More