Pembangunan Berkelanjutan: Mengharmoniskan Ekonomi dan Lingkungan

Kamis, 11 Juni 2020 - 04:59 WIB
Maka itu, tantangannya adalah bagaimana kita bisa terus melakukan berbagai kegiatan pembangunan, pemanfaatan SDA dan jasa-jasa lingkungan, dan industrialisasi untuk memajukan bangsa dan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia, dengan tetap menjaga kualitas dan keberlanjutan dari ekosistem alam kita. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan dapat terwujud di suatu wilayah (kabupaten, kota, provinsi, negara, atau dunia), apabila laju pembangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan manusia tidak melampaui daya dukung lingkungan dari wilayah tersebut. Fakta empiris menunjukkan, bahwa daya dukung lingkungan (DDL) suatu wilayah dapat ditingkatkan melalui aplikasi teknologi, seperti pengolahan limbah, 3R (reduce , reuse , dan recycle ), pemupukan, penghijauan, smart city , dan river training (memperlancar aliran sungai), dan impor komditas SDA.

Pada tataran praksis, pertama yang harus dikerjakan adalah implementasi RT/RW secara benar dan konsisten. Dalam RTRW, minimal 30% dari total luas suatu wilayah (kabupaten, kota, provinsi, dan negara) mesti dialokasikan untuk kawasan lindung (protected areas ) berupa ruang terbuka hijau, sempadan pantai, sempadan sungai, hutan lindung, kawasan konservasi laut, dan lainnya. Kemudian di 70% wilayah sisanya, kita kembangkan untuk berbagai aktivitas (sektor) pembangunan seperti permukiman, perkotaan, industri, pertanian, perikanan, pertambangan, pariwisata, dan infrastruktur sesuai dengan kesesuaian lahan. Semua kegiatan pembangunan ini harus didahului dengan amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Maka demi mewujudkan kedaulatan pangan nasional, pemerintah mulai sekarang harus melarang konversi lahan pertanian, terutama di Pulau Jawa dan lahan subur lainnya. Kedua, merehabilitasi semua ekosistem alam yang telah rusak melalui reboisasi hutan, gerakan penanaman pohon di lahan-lahan kritis dan terbengkalai, dan penebaran kembali (restocking ) berbagai jenis ikan, udang, rajungan, lobster, dan biota lainnya ke wilayah-wilayah perairan yang mengalami overfishing atau kepunahan jenis (species extinction ).

Ketiga , pastikan laju pemanfaatan setiap SDA terbarukan (seperti perikanan, hutan, dan biodiversitas) tidak melebihi potensi produksi lestari atau kemampuan pulihnya. Teknik pemanfaatannya pun harus dikerjakan secara ramah lingkungan dan sosial. Keempat , pemanfaatan (eksploitasi) SDA tak terbarukan (seperti minyak dan gas bumi, batu bara, mineral, dan bahan tambang) harus dilakukan dengan cara meminimalkan dampak negatifnya terhadap lingkungan alam maupun sosial. Selain itu, sebagian keuntungannya mesti dialokasikan untuk pemberdayaan ekonomi dan menyejahterakan masyarakat sekitar, dan untuk pengembangan material baru sebagai substitusi. Kelima , semua komoditas dari SDA terbarukan maupun SDA tak terbarukan itu harus diproses (hilirisasi) menjadi berbagai produk akhir (final products ) secara ramah lingkungan. Mulai sekarang, tidak ada lagi kita mengekspor komoditas mentah. Dengan mengembangkan industri hilir ini, kita akan meraup nilai tambah dari SDA, meningkatkan daya saing ekonomi, menciptakan lapangan kerja yang jauh lebih banyak, permintaan dan harga produk jadi lebih stabil ketimbang komoditas mentahnya, dan multiplier effects yang luas.

Keenam, kita harus bekerja ekstrakeras, cerdas, dan ikhlas untuk tidak lagi membuang limbah B3 (bahan berbahaya beracun) ke lingkungan alam. Limbah jenis lain pun, baik berupa limbah padat, cair maupun gas (emisi karbon dan gas rumah kaca lain) harus seminimal mungkin dibuang ke lingkungan alam, agar tidak mengakibatkan pencemaran. Hal ini adalah keniscayaan dengan menggunakan teknologi proses (pabrik) yang zero waste (tanpa limbah), teknologi 3R, nanno bubble , dan teknologi industri 4.0. Ketujuh, kita harus menggalakkan program aksi untuk konservasi biodiversity (keanekaragaman hayati), baik pada tingkat gen, spesies, maupun ekosistem. Kedelapan, semua kegiatan pembukaan lahan, pembangunan kawasan industri, kawasan permukiman, perkotaan, konstruksi gedung dan bangunan lain, infrastruktur, dan pengubahan bentang alam (landscape ) lainnya, harus dirancang dan dikonstruksi dengan mengikuti struktur, karakteristik, dan dinamika lingkungan alam setempat (design and construction with nature ). Kesembilan, kita harus melakukan upaya mitigasi dan adaptasi secara serius terhadap perubahan iklim global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.

Solusi paradigmatik

Pada saat yang sama, kita mesti mengganti sistem ekonomi kapitalis yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi untuk memenuhi hawa nafsu dan keserakahan manusia, tanpa menghiraukan kesejahteraan sesama yang masih fakir-miskin dan tidak peduli dengan kelestarian lingkungan bumi. Dengan paradigma ekonomi baru yang lebih ramah lingkungan (green, blue, and circular economy ), yang lebih inklusif dan berkeadilan, dan ramah sosial dan budaya. Perilaku individual kita manusia pun harus berubah. Dari yang konsumtif, boros, menumpuk harta, dan hedonis menjadi lebih hemat, tidak boros SDA, hidup sederhana, dan bahagia dengan berbagi kelebihan kepada sesama insan yang membutuhkan pertolongan.

Akhirnya, segenap solusi teknikal dan paradigmatik di atas hanya akan membuahkan hasil, jika didukung oleh sistem dan mekanisme politik yang kondusif bagi implementasi ekonomi hijau, biru, dan sirkular serta perbaikan gaya hidup individu manusia.
Dapatkan berita terbaru, follow WhatsApp Channel SINDOnews sekarang juga!
(mpw)
Halaman :
tulis komentar anda
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More