Pembangunan Berkelanjutan: Mengharmoniskan Ekonomi dan Lingkungan
Kamis, 11 Juni 2020 - 04:59 WIB
Prof. Rokhmin Dahuri, Ph.D.
Peneliti Senior Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan-IPB,
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
DALAM perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development ), upaya kita untuk mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat sungguh berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita masih harus meningkatkan intensitas pembangunan, pemanfaatan SDA (sumber daya alam), dan industrialisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat, menciptangan lapangan kerja, dan meningkatkan status kita untuk menjadi bangsa maju dan makmur. Pasalnya, hingga tahun lalu Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah, dengan pendapatan kotor nasional (GNI) sebesar USD3.920 per kapita, belum menjadi negara makmur dengan GNI di atas USD12.165 per kapita (Bank Dunia, 2019).
Dengan garis kemiskinan Rp410.000/orang/bulan, rakyat miskin masih 25,6 juta orang (9,6% total penduduk), dan yang rentan miskin (pengeluaran per bulan di atas Rp410.000-652.500) sebanyak 69 juta jiwa (BPS, 2019). Status gizi anak-anak kita pun sangat mencemaskan, di mana sekitar 30% mengalami stunting , dan 33% menderita gizi buruk (Kemenkes, 2019). Yang lebih memprihatinkan, pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan jumlah pengangguran dan rakyat miskin kian membeludak, lebih dari 15 juta orang. Lebih dari itu, untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah, menjadi negara maju dan makmur, diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7% per tahun (Mc Kinsey Global Institute, 2012).
Di sisi lain, kerusakan SDA dan lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di lautan, begitu masif dan meluas. Kerusakan lingkungan di beberapa wilayah (seperti DKI Jakarta) sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem alam dalam mendukung pembangunan ekonomi. Sebelum pandemi virus korona, kualitas udara DKI Jakarta merupakan yang terburuk ketiga di antara kota-kota sedunia. Citarum menjadi sungai yang paling tercemar sejagat raya (UNEP, 2018). Kehilangan hutan primer Indonesia merupakan yang terbesar ketiga di dunia, sekitar 325.000 ha per tahun, setelah Brasil dan Kongo (Global Forest Watch, 2020 ).
Kendati tidak separah di darat, ekosistem laut di beberapa wilayah padat penduduk dan tinggi intensitas pembangunannya, seperti di sekitar Medan, Batam, dan sebagian kawasan Selat Malaka, pantura, perairan pesisir antara Balikpapan dan Bontang, Pantai selatan Sulawesi, dan muara Sungai Aijkwa di Papua, pun telah mengalami pencemaran yang cukup berat. Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah China yang membuang limbah plastik ke lautan. Setiap tahun kita membuang sampah plastik ke laut rata-rata 3,2 juta ton (Kemenko Maritim, 2019). Ekosistem terumbu karang (coral reefs ) yang menjadi tempat pemijahan (spawning ground ), mencari makan, asuhan, dan pembesaran berbagai jenis ikan serta biota laut lainnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Hanya sekitar 15% yang kualitasnya sangat baik, dan sekitar 30% tergolong baik. Selebihnya, 55% mengalami kerusakan berat sampai sangat berat (LIPI, 2019). Meskipun hingga 2019 tingkat penangkapan ikan laut baru mencapai 6,5 juta ton, sekitar 52% total potensi produksi lestarinya (12,54 juta ton per tahun). Namun, beberapa jenis stok ikan di sejumlah wilayah perairan laut, khususnya Laut Jawa, Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, dan sebagian wilayah Laut Arafura, telah mengalami overfishing yang bisa mengancam kelestariannya.
Reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, kawasan industri, tambak, dan berbagai kegiatan pembangunan wilayah pesisir lainnya yang tidak ramah lingkungan telah mengakibatkan tergerusnya (abrasi) dan tenggelamnya lahan pesisir (pantai) di sejumlah daerah, seperti Batam, Kepulauan Seribu, Semarang, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, pemanasan global juga dapat mengancam keberlanjutan ekosistem laut beserta segenap organisme yang ada di dalamnya. Pasalnya, pemanasan global mengakibatkan meningkatnya suhu perairan laut, permukaan laut, pemasaman air laut (ocean acidification ), banjir, badai, dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut lainnya.
Solusi Teknikal
Peneliti Senior Pusat Kajian Sumber Daya Pesisir dan Lautan-IPB,
Ketua Umum Masyarakat Akuakultur Indonesia
DALAM perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development ), upaya kita untuk mewujudkan Indonesia maju, adil-makmur, dan berdaulat sungguh berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita masih harus meningkatkan intensitas pembangunan, pemanfaatan SDA (sumber daya alam), dan industrialisasi untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat, menciptangan lapangan kerja, dan meningkatkan status kita untuk menjadi bangsa maju dan makmur. Pasalnya, hingga tahun lalu Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah, dengan pendapatan kotor nasional (GNI) sebesar USD3.920 per kapita, belum menjadi negara makmur dengan GNI di atas USD12.165 per kapita (Bank Dunia, 2019).
Dengan garis kemiskinan Rp410.000/orang/bulan, rakyat miskin masih 25,6 juta orang (9,6% total penduduk), dan yang rentan miskin (pengeluaran per bulan di atas Rp410.000-652.500) sebanyak 69 juta jiwa (BPS, 2019). Status gizi anak-anak kita pun sangat mencemaskan, di mana sekitar 30% mengalami stunting , dan 33% menderita gizi buruk (Kemenkes, 2019). Yang lebih memprihatinkan, pandemi Covid-19 ini telah menyebabkan jumlah pengangguran dan rakyat miskin kian membeludak, lebih dari 15 juta orang. Lebih dari itu, untuk mengeluarkan Indonesia dari jebakan negara berpendapatan menengah, menjadi negara maju dan makmur, diperlukan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 7% per tahun (Mc Kinsey Global Institute, 2012).
Di sisi lain, kerusakan SDA dan lingkungan, baik yang terjadi di daratan maupun di lautan, begitu masif dan meluas. Kerusakan lingkungan di beberapa wilayah (seperti DKI Jakarta) sudah pada tingkat yang telah mengancam kapasitas keberlanjutan ekosistem alam dalam mendukung pembangunan ekonomi. Sebelum pandemi virus korona, kualitas udara DKI Jakarta merupakan yang terburuk ketiga di antara kota-kota sedunia. Citarum menjadi sungai yang paling tercemar sejagat raya (UNEP, 2018). Kehilangan hutan primer Indonesia merupakan yang terbesar ketiga di dunia, sekitar 325.000 ha per tahun, setelah Brasil dan Kongo (Global Forest Watch, 2020 ).
Kendati tidak separah di darat, ekosistem laut di beberapa wilayah padat penduduk dan tinggi intensitas pembangunannya, seperti di sekitar Medan, Batam, dan sebagian kawasan Selat Malaka, pantura, perairan pesisir antara Balikpapan dan Bontang, Pantai selatan Sulawesi, dan muara Sungai Aijkwa di Papua, pun telah mengalami pencemaran yang cukup berat. Indonesia merupakan negara terbesar kedua di dunia setelah China yang membuang limbah plastik ke lautan. Setiap tahun kita membuang sampah plastik ke laut rata-rata 3,2 juta ton (Kemenko Maritim, 2019). Ekosistem terumbu karang (coral reefs ) yang menjadi tempat pemijahan (spawning ground ), mencari makan, asuhan, dan pembesaran berbagai jenis ikan serta biota laut lainnya, kondisinya sangat memprihatinkan. Hanya sekitar 15% yang kualitasnya sangat baik, dan sekitar 30% tergolong baik. Selebihnya, 55% mengalami kerusakan berat sampai sangat berat (LIPI, 2019). Meskipun hingga 2019 tingkat penangkapan ikan laut baru mencapai 6,5 juta ton, sekitar 52% total potensi produksi lestarinya (12,54 juta ton per tahun). Namun, beberapa jenis stok ikan di sejumlah wilayah perairan laut, khususnya Laut Jawa, Selat Malaka, Pantai Selatan Sulawesi, dan sebagian wilayah Laut Arafura, telah mengalami overfishing yang bisa mengancam kelestariannya.
Reklamasi pantai, pembangunan pelabuhan, kawasan industri, tambak, dan berbagai kegiatan pembangunan wilayah pesisir lainnya yang tidak ramah lingkungan telah mengakibatkan tergerusnya (abrasi) dan tenggelamnya lahan pesisir (pantai) di sejumlah daerah, seperti Batam, Kepulauan Seribu, Semarang, Bali, Lombok, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Utara. Jika tidak segera dilakukan langkah-langkah mitigasi dan adaptasi, pemanasan global juga dapat mengancam keberlanjutan ekosistem laut beserta segenap organisme yang ada di dalamnya. Pasalnya, pemanasan global mengakibatkan meningkatnya suhu perairan laut, permukaan laut, pemasaman air laut (ocean acidification ), banjir, badai, dan kerusakan lingkungan pesisir dan laut lainnya.
Solusi Teknikal
tulis komentar anda