Mewaspadai Dampak dari Amerika Serikat
Kamis, 11 Juni 2020 - 04:36 WIB
AMERIKA Serikat (AS) sebagai negara penggerak utama perekonomian dunia akan menyelenggarakan pemilihan presiden pada 3 November mendatang. Partai Demokrat AS sudah pasti mengusung Joe Biden, bekas Wapres Barrack Obama, sebagai penantang Presiden Donald Trump. Saat ini negara Paman Sam tersebut menyelenggarakan Pemilihan Pendahuluan (Primary Election) untuk memilih kandidat senator yang akan bertarung menduduki kursi senat di pemilihan umum nanti.
Meski masih lima bulan lagi, namun politik AS kian memanas. Ditambah lagi kasus terbunuhnya seorang warga kulit hitam AS yang memiliki catatan kriminal saat ditangkap oleh petugas kepolisian di Minneapolis akhir Mei lalu. Sontak hal itu memicu kemarahan sebagian publik AS. Demonstrasi yang awalnya hanya menuntut agar oknum polisi tersebut diadili bergeser ke arah rasial. Bahkan, di beberapa negara bagian yang disebut "Blue State" yakni negara bagian yang dimenangkan oleh Partai Demokrat AS seperti di New York, Minneapolis, California, hingga ibu kota Washington DC tak hanya dilanda kerusuhan, tetapi juga pembakaran dan penjarahan. Di kawasan elite Beverly Hills sejumlah gerai merek ternama bahkan dijarah. Di Portland, Oregon gerai Louis Vuitton tak luput dari penjarahan, begitu pula gerai Gucci di New York.
Media-media arus utama di AS yang oleh Presiden Trump disebut sebagai Lamestream Media , karena keberpihakannya ke Partai Demokrat AS, terlihat mendukung demonstrasi yang sudah mengarah ke politik tersebut. Situasi di AS semakin runyam tatkala beberapa negara bagian seperti New York dan Minneapolis sedang membahas pembubaran kepolisian lokal.
Sebagai negara adidaya dan kekuatan utama perekonomian dunia, kondisi politik di AS tersebut tentu akan memengaruhi perekonomiannya. Meskipun Presiden Trump mengumumkan ada 2,5 juta tenaga kerja baru yang terserap, namun pengangguran di AS masih puluhan juta orang. Perang dagang dengan China pun masih terjadi hingga saat ini. Juga, pandemi virus korona (Covid-19) yang belum usai, dan perseteruan AS dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) membuat ekonomi AS semakin kurang menentu.
Setiap kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah AS, pengaruhnya tak hanya dirasakan orang masyarakat di negeri itu, tetapi juga seluruh dunia. Bahkan, negara-negara berkembang yang ekonominya baik-baik saja bisa ikut kena getahnya. Apalagi, negara berkembang yang ekonominya sedang tidak baik-baik saja.
Ambil contoh krisis ekonomi global yang terjadi pada 2008. Yang dipicu oleh krisis ekonomi di AS lalu menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi AS disebabkan ada dorongan untuk konsumsi yang berlebihan. Rakyat AS dikenal hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam utang untuk pembiayaan belanja dan kredit perumahan. Akibat itu, lembaga keuangan yang memberikan kredit perumahan kolaps karena debitur gagal membayar cicilan.
Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs tak sanggup bertahan. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan nonkeuangan di seluruh dunia.
Daya beli masyarakat AS yang dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia anjlok. Penurunan daya beli tersebut berpengaruh terhadap impor AS. Akibat itu, negara pengekspor di seluruh dunia terkena imbasnya, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.
Meski tak ada kasus serupa yang terjadi tahun ini, namun pandemi Covid-19 membuat Pemerintah AS harus menambah utang. Tak tanggung-tanggung, surat utang (bond ) yang diterbitkan nilainya sekitar USD3 triliun. Utang itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanggulangan Covid-19, termasuk pendanaan kesehatan dan paket kebijakan ekonomi.
Tentu tak bisa dibayangkan apabila terjadi gagal bayar terhadap surat utang yang diterbitkan tersebut. Dampaknya tak hanya dirasakan oleh publik AS, tetapi juga dunia. Ditambah lagi, defisit anggaran AS sudah mencapai USD738 miliar pada April lalu, menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi AS tidak sedang baik-baik saja. Karena itu, Pemerintah Indonesia, selain berfokus pada penanganan pandemi, juga tetap menyiapkan langkah antisipatif terhadap kemungkinan dampak negatif dari situasi di AS.
Meski masih lima bulan lagi, namun politik AS kian memanas. Ditambah lagi kasus terbunuhnya seorang warga kulit hitam AS yang memiliki catatan kriminal saat ditangkap oleh petugas kepolisian di Minneapolis akhir Mei lalu. Sontak hal itu memicu kemarahan sebagian publik AS. Demonstrasi yang awalnya hanya menuntut agar oknum polisi tersebut diadili bergeser ke arah rasial. Bahkan, di beberapa negara bagian yang disebut "Blue State" yakni negara bagian yang dimenangkan oleh Partai Demokrat AS seperti di New York, Minneapolis, California, hingga ibu kota Washington DC tak hanya dilanda kerusuhan, tetapi juga pembakaran dan penjarahan. Di kawasan elite Beverly Hills sejumlah gerai merek ternama bahkan dijarah. Di Portland, Oregon gerai Louis Vuitton tak luput dari penjarahan, begitu pula gerai Gucci di New York.
Media-media arus utama di AS yang oleh Presiden Trump disebut sebagai Lamestream Media , karena keberpihakannya ke Partai Demokrat AS, terlihat mendukung demonstrasi yang sudah mengarah ke politik tersebut. Situasi di AS semakin runyam tatkala beberapa negara bagian seperti New York dan Minneapolis sedang membahas pembubaran kepolisian lokal.
Sebagai negara adidaya dan kekuatan utama perekonomian dunia, kondisi politik di AS tersebut tentu akan memengaruhi perekonomiannya. Meskipun Presiden Trump mengumumkan ada 2,5 juta tenaga kerja baru yang terserap, namun pengangguran di AS masih puluhan juta orang. Perang dagang dengan China pun masih terjadi hingga saat ini. Juga, pandemi virus korona (Covid-19) yang belum usai, dan perseteruan AS dengan Badan Kesehatan Dunia (WHO) membuat ekonomi AS semakin kurang menentu.
Setiap kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah AS, pengaruhnya tak hanya dirasakan orang masyarakat di negeri itu, tetapi juga seluruh dunia. Bahkan, negara-negara berkembang yang ekonominya baik-baik saja bisa ikut kena getahnya. Apalagi, negara berkembang yang ekonominya sedang tidak baik-baik saja.
Ambil contoh krisis ekonomi global yang terjadi pada 2008. Yang dipicu oleh krisis ekonomi di AS lalu menyebar ke negara-negara lain di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Krisis ekonomi AS disebabkan ada dorongan untuk konsumsi yang berlebihan. Rakyat AS dikenal hidup dalam konsumerisme di luar batas kemampuan pendapatan yang diterimanya. Mereka hidup dalam utang untuk pembiayaan belanja dan kredit perumahan. Akibat itu, lembaga keuangan yang memberikan kredit perumahan kolaps karena debitur gagal membayar cicilan.
Runtuhnya perusahaan-perusahaan finansial tersebut mengakibatkan bursa saham Wall Street menjadi tak berdaya, perusahaan-perusahaan besar seperti Lehman Brothers dan Goldman Sachs tak sanggup bertahan. Krisis tersebut terus merambat ke sektor riil dan nonkeuangan di seluruh dunia.
Daya beli masyarakat AS yang dikenal sebagai konsumen terbesar atas produk-produk dari berbagai negara di seluruh dunia anjlok. Penurunan daya beli tersebut berpengaruh terhadap impor AS. Akibat itu, negara pengekspor di seluruh dunia terkena imbasnya, terutama negara-negara yang mengandalkan ekspornya ke Amerika Serikat.
Meski tak ada kasus serupa yang terjadi tahun ini, namun pandemi Covid-19 membuat Pemerintah AS harus menambah utang. Tak tanggung-tanggung, surat utang (bond ) yang diterbitkan nilainya sekitar USD3 triliun. Utang itu akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan anggaran penanggulangan Covid-19, termasuk pendanaan kesehatan dan paket kebijakan ekonomi.
Tentu tak bisa dibayangkan apabila terjadi gagal bayar terhadap surat utang yang diterbitkan tersebut. Dampaknya tak hanya dirasakan oleh publik AS, tetapi juga dunia. Ditambah lagi, defisit anggaran AS sudah mencapai USD738 miliar pada April lalu, menunjukkan bahwa sebenarnya ekonomi AS tidak sedang baik-baik saja. Karena itu, Pemerintah Indonesia, selain berfokus pada penanganan pandemi, juga tetap menyiapkan langkah antisipatif terhadap kemungkinan dampak negatif dari situasi di AS.
(mpw)
Lihat Juga :
tulis komentar anda