Mengatasi Licinnya Harga Minyak Goreng
Kamis, 06 Januari 2022 - 11:50 WIB
Tanpa intervensi negara, harga minyak goreng kemungkinan akan terus naik. Produksi Malaysia masih belum pulih akibat kekurangan tenaga kerja. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah?
Tindakan awal dapat dilakukan melalui pelaksanaan Pasal 3 Ayat 2 Permendag No 7/2020 mengenai harga acuan. Beleid itumenyatakan bahwa Menteri dapat menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan penjualan sesuai harga acuan penjualan di tingkat konsumen setelah mendapatkan persetujuan Menteri BUMN.
Jadi, pemerintah dapat mewajibkan BUMN untuk menyediakan minyak goreng dengan harga yang telah ditetapkan. Beberapa BUMN, dan anak perusahaannya, dapat ditugaskan. PT Perkebunan Nusantara III, IV, dan V bisa menyediakan minyak sawit kepada PT Industri Nabati Lestari-- anak perusahaan mereka-- untuk mengolah minyak sawit menjadi minyak goreng yang bisa dipasarkan ke masyarakat dengan mengikuti harga acuan konsumen. Hal ini perlu segera dieksekusi meskipun luas areal pengusahaan lahan sawit oleh BUMN hanya 4% dan yang paling besar diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS).
Menurut Badan Pusat Statistik 2019, pengusahaan lahan sawit olehPBS berkisar 55% dari 14,6 juta ha lahan sawit nasional. Perlu menjadi perhatian pemerintah karena lahan sawit tersebut sejatinya merupakan tanah negara yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga pemerintah dapat mewajibkan perusahaan swasta untuk menyediakan kebutuhan minyak goreng nasional yang sesuai dengan harga acuan.
Pentingnya pemerintah dalam mendorong BUMN dan PBS menyediakan minyak goreng sesuai harga yang ditetapkan pemerintah karena tanah yang ditanami sawit oleh perusahaan-perusahaan tersebut sejatinya adalah tanah milik negara. Langkah tersebut adalah amanat dari adanya Pasal 33Ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sementara itu, pemilik perusahaan besar sawit adalah para konglomerat yang termasuk ke dalam kategori 40 orang terkaya di Indonesia. Bahkan salah satu perusahaan perkebunan sawit seperti PT Astra Agro Lestari berhasil menggenjot laba hingga 600% pada September 2021,hingga mencapai Rp 1.544 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang “hanya” Rp 244 triliun. Dengan keuntungan yang segede alaihim itu, mestinya mereka juga berperan dalam penyediaan barang kebutuhan rakyat seperti minyak goreng,produk turunan sawit itu sendiri.
Para konglomerat itu sudah teramat kaya dan mereka perlu dimintakan tanggung jawabnya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat secara lebih merata. Pada 2020, lembaga riset SIGMAPHI melakukan perhitungan Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa nilai MPI dari 40 orang terkaya di Indonesia sebesar hampir 800.000. Artinya, rata-rata aset milik 40 orang terkaya di sini setara dengan 800 ribu kali lipat aset yang dimiliki oleh rata-rata orang Indonesia. Kalau ini dibiarkan, alamat bahaya bagi keutuhan negara ini.
Maka, semakin mendesaklah kebutuhan pemerintah untuk mengatur lebih rinci kontribusi para konglomerat bagi kesejehateraan rakyat, termasuk dalam urusan penyediaan minyak goreng. Pemerintah harus bisa “memaksa” para konglomerat menciptakan harga sesuai acuan yang ditetapkan.
Daron Acemoglu dan James A Robinson, dalam buku WhyNation Fail (2012) mengemukakan bahwa, institusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan suatu bangsa.
Tindakan awal dapat dilakukan melalui pelaksanaan Pasal 3 Ayat 2 Permendag No 7/2020 mengenai harga acuan. Beleid itumenyatakan bahwa Menteri dapat menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan penjualan sesuai harga acuan penjualan di tingkat konsumen setelah mendapatkan persetujuan Menteri BUMN.
Jadi, pemerintah dapat mewajibkan BUMN untuk menyediakan minyak goreng dengan harga yang telah ditetapkan. Beberapa BUMN, dan anak perusahaannya, dapat ditugaskan. PT Perkebunan Nusantara III, IV, dan V bisa menyediakan minyak sawit kepada PT Industri Nabati Lestari-- anak perusahaan mereka-- untuk mengolah minyak sawit menjadi minyak goreng yang bisa dipasarkan ke masyarakat dengan mengikuti harga acuan konsumen. Hal ini perlu segera dieksekusi meskipun luas areal pengusahaan lahan sawit oleh BUMN hanya 4% dan yang paling besar diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS).
Menurut Badan Pusat Statistik 2019, pengusahaan lahan sawit olehPBS berkisar 55% dari 14,6 juta ha lahan sawit nasional. Perlu menjadi perhatian pemerintah karena lahan sawit tersebut sejatinya merupakan tanah negara yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga pemerintah dapat mewajibkan perusahaan swasta untuk menyediakan kebutuhan minyak goreng nasional yang sesuai dengan harga acuan.
Pentingnya pemerintah dalam mendorong BUMN dan PBS menyediakan minyak goreng sesuai harga yang ditetapkan pemerintah karena tanah yang ditanami sawit oleh perusahaan-perusahaan tersebut sejatinya adalah tanah milik negara. Langkah tersebut adalah amanat dari adanya Pasal 33Ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sementara itu, pemilik perusahaan besar sawit adalah para konglomerat yang termasuk ke dalam kategori 40 orang terkaya di Indonesia. Bahkan salah satu perusahaan perkebunan sawit seperti PT Astra Agro Lestari berhasil menggenjot laba hingga 600% pada September 2021,hingga mencapai Rp 1.544 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang “hanya” Rp 244 triliun. Dengan keuntungan yang segede alaihim itu, mestinya mereka juga berperan dalam penyediaan barang kebutuhan rakyat seperti minyak goreng,produk turunan sawit itu sendiri.
Para konglomerat itu sudah teramat kaya dan mereka perlu dimintakan tanggung jawabnya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat secara lebih merata. Pada 2020, lembaga riset SIGMAPHI melakukan perhitungan Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di Indonesia.
Hasilnya menunjukkan bahwa nilai MPI dari 40 orang terkaya di Indonesia sebesar hampir 800.000. Artinya, rata-rata aset milik 40 orang terkaya di sini setara dengan 800 ribu kali lipat aset yang dimiliki oleh rata-rata orang Indonesia. Kalau ini dibiarkan, alamat bahaya bagi keutuhan negara ini.
Maka, semakin mendesaklah kebutuhan pemerintah untuk mengatur lebih rinci kontribusi para konglomerat bagi kesejehateraan rakyat, termasuk dalam urusan penyediaan minyak goreng. Pemerintah harus bisa “memaksa” para konglomerat menciptakan harga sesuai acuan yang ditetapkan.
Daron Acemoglu dan James A Robinson, dalam buku WhyNation Fail (2012) mengemukakan bahwa, institusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan suatu bangsa.
tulis komentar anda