Mengatasi Licinnya Harga Minyak Goreng

Kamis, 06 Januari 2022 - 11:50 WIB
loading...
Mengatasi Licinnya Harga...
Muhammad Nalar Al Khair, Peneliti SIGMAPHI. Foto/Dok. Pribadi
A A A
Muhammad Nalar Al Khair SE, ME
Peneliti SIGMAPHI

TAHUN 2022 diawali dengan kegundahan yang dirasakan oleh kebanyakan kaum ibu rumah tangga di Indonesia. Kegundahan yang mereka bawa dari tahun 2021 sebelumnya ketika harga-harga kebutuhan pokok terus merangkak naik. Minyak goreng menjadi komoditas dengan kenaikan harga yang cukup menonjol. Tingginya harga minyak goreng seperti pada saat ini belum pernah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.

Menurut Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan, Per 24 Desember 2021, harga minyak goreng di pasar senilai Rp 18.400 per liter. Ini cukup miris untuk sebuah negara penghasil sawit nomor satu di dunia. Harga tersebut jugalebih tinggi 67% dari harga acuan pemerintah yaitu Rp 11.000 per liter.

Acuan itu tercantum padaPermendag nomor 7 tahun 2020 tentang harga acuan pembelian di petani dan harga acuan penjualan di
konsumen. Secara y-t-d harga tersebut juga telah meningkat sebesar 36%. Luar biasa.

Pada tahun 2019, harga minyak goreng tertinggi terjadi menjelang hari raya Idul Fitri, di level Rp12.000 per liter. Harga itu sempat turun lantas naik terus mulai akhir 2020 sampai saat ini.

Itu salah satunya ditengarai oleh penurunan produksi CPO di Indonesia dan Malaysia. Produksi CPO Indonesia turun sekitar 1% pada September 2021 dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Begitu pula dengan Malaysia yang turun sekitar 0,39% pada periode yang sama.

Maka kenaikan harga minyak goreng saat ini menjadi sangat besar dan itu memberikan andil lumayan terhadap inflasi November 2021, sebesar 0,08%. Angka yang cukup tinggi dibandingkan dengan produk pangan lainnya. Makanya, pemerintah perlu segera mengambil tindakan. Jangan sampai masyarakat yang masih terpuruk kondisi ekonominya, akibat Covid-19, diperparah lagi dengan harga kebutuhan pangan kian mahal.

Tanpa intervensi negara, harga minyak goreng kemungkinan akan terus naik. Produksi Malaysia masih belum pulih akibat kekurangan tenaga kerja. Lantas, apa yang bisa dilakukan pemerintah?

Tindakan awal dapat dilakukan melalui pelaksanaan Pasal 3 Ayat 2 Permendag No 7/2020 mengenai harga acuan. Beleid itumenyatakan bahwa Menteri dapat menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) melakukan penjualan sesuai harga acuan penjualan di tingkat konsumen setelah mendapatkan persetujuan Menteri BUMN.

Jadi, pemerintah dapat mewajibkan BUMN untuk menyediakan minyak goreng dengan harga yang telah ditetapkan. Beberapa BUMN, dan anak perusahaannya, dapat ditugaskan. PT Perkebunan Nusantara III, IV, dan V bisa menyediakan minyak sawit kepada PT Industri Nabati Lestari-- anak perusahaan mereka-- untuk mengolah minyak sawit menjadi minyak goreng yang bisa dipasarkan ke masyarakat dengan mengikuti harga acuan konsumen. Hal ini perlu segera dieksekusi meskipun luas areal pengusahaan lahan sawit oleh BUMN hanya 4% dan yang paling besar diusahakan oleh perusahaan besar swasta (PBS).

Menurut Badan Pusat Statistik 2019, pengusahaan lahan sawit olehPBS berkisar 55% dari 14,6 juta ha lahan sawit nasional. Perlu menjadi perhatian pemerintah karena lahan sawit tersebut sejatinya merupakan tanah negara yang harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga pemerintah dapat mewajibkan perusahaan swasta untuk menyediakan kebutuhan minyak goreng nasional yang sesuai dengan harga acuan.

Pentingnya pemerintah dalam mendorong BUMN dan PBS menyediakan minyak goreng sesuai harga yang ditetapkan pemerintah karena tanah yang ditanami sawit oleh perusahaan-perusahaan tersebut sejatinya adalah tanah milik negara. Langkah tersebut adalah amanat dari adanya Pasal 33Ayat 3 UUD 1945 bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Sementara itu, pemilik perusahaan besar sawit adalah para konglomerat yang termasuk ke dalam kategori 40 orang terkaya di Indonesia. Bahkan salah satu perusahaan perkebunan sawit seperti PT Astra Agro Lestari berhasil menggenjot laba hingga 600% pada September 2021,hingga mencapai Rp 1.544 triliun, dibandingkan tahun sebelumnya yang “hanya” Rp 244 triliun. Dengan keuntungan yang segede alaihim itu, mestinya mereka juga berperan dalam penyediaan barang kebutuhan rakyat seperti minyak goreng,produk turunan sawit itu sendiri.

Para konglomerat itu sudah teramat kaya dan mereka perlu dimintakan tanggung jawabnya untuk menciptakan kesejahteraan rakyat secara lebih merata. Pada 2020, lembaga riset SIGMAPHI melakukan perhitungan Material Power Index (MPI) dari 40 orang terkaya di Indonesia.

Hasilnya menunjukkan bahwa nilai MPI dari 40 orang terkaya di Indonesia sebesar hampir 800.000. Artinya, rata-rata aset milik 40 orang terkaya di sini setara dengan 800 ribu kali lipat aset yang dimiliki oleh rata-rata orang Indonesia. Kalau ini dibiarkan, alamat bahaya bagi keutuhan negara ini.

Maka, semakin mendesaklah kebutuhan pemerintah untuk mengatur lebih rinci kontribusi para konglomerat bagi kesejehateraan rakyat, termasuk dalam urusan penyediaan minyak goreng. Pemerintah harus bisa “memaksa” para konglomerat menciptakan harga sesuai acuan yang ditetapkan.

Daron Acemoglu dan James A Robinson, dalam buku WhyNation Fail (2012) mengemukakan bahwa, institusi pemerintah sangat menentukan keberhasilan ataupun kegagalan suatu bangsa.

Saat ini perusahaan besar sawit lebih fokus untuk mengekspor produk mereka karena kondisi harga yang tinggi dan lebih menguntungkan. Pemerintah perlu membuat aturan khusus terkait syarat ekspor sawit yang didalamnya tercantum tentang kewajiban pemenuhan kebutuhan minyak sawit dalam negeri sesuai harga yang ditentukan pemerintah.

Pemerintah juga perlu mengatur harga penjualan minyak sawit dalam negeri karena akan itu berdampak pada produk turunannya seperti minyak goreng.

Untuk jangka pendek pemerintah dapat melakukan operasi pasar dalam rangka menyediakan minyak goreng yang sesuai dengan aturan berlaku. Sehingga masyarakat terbantu dalam memenuhi kebutuhan dapur mereka.

Pada dasarnya pemerintah melalui kementerian/lembaga serta BUMN harus fokus dalam merealisasikan amanat Pasal 33 Ayat 3 UUD 1945. Pembentukan instrumen stabilisasi harga minyak goreng melalui kebijakan serta terus melakukan pemantauan terkait pelaksanaannya menjadi hal yang tak terelakkan. Bahkan jika terjadi pelanggaran akan aturan yang telah dibentuk, pemerintah harus mampu mengambil tindakan tegas sampai dengan pencabutan ijin usaha perusahaan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1075 seconds (0.1#10.140)