Ancaman Krisis Gizi di Tengah Pandemi
Rabu, 10 Juni 2020 - 08:01 WIB
Ketika hamil, perempuan memerlukan asam folat lebih banyak daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin. Bila kadar asam folat rendah, akan menyebabkan bayi lahir cacat, mengalami gangguan saraf (spina bifida), atau retardasi mental. Kebutuhan asam folat pada orang dewasa adalah 400 mcg per hari. Kebutuhan ini menjadi dua kali lipat untuk perempuan hamil dan bertambah 50% untuk ibu menyusui.
Krisis gizi juga akan dialami oleh anak-anak balita di saat pandemi merebak dan pascapandemi bila pemulihan ekonomi berlangsung lamban. Meski anak balita sudah bisa makan makanan orang dewasa, sebenarnya golongan umur ini memerlukan asupan pangan dan gizi yang bermutu. Pada periode usia balita ini konsumsi protein relatif lebih tinggi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Bantuan sembako yang saat ini dibagikan utamanya memang berupa pangan pokok untuk keluarga. Perlu direnungkan bahwa korban pandemi juga ada dari kalangan anak balita dan bayi. Karena itu, bantuan berupa susu bubuk, susu formula, dan bubur bayi juga sangat dibutuhkan. Bantuan pangan untuk anak-anak ini bisa diusahakan dari industri-industri pangan olahan.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal Maret 2020 mengancam gizi anak. Kondisi ini akan semakin parah karena lingkungan sanitasi yang buruk (terutama pada pemukiman padat penduduk) sehingga infeksi merajalela. Sebagaimana diketahui terdapat hubungan saling memperkuat antara gizi kurang dan infeksi. Anak penderita gizi kurang akan rentan untuk menderita infeksi dan sebaliknya.
Gizi kurang (akut) umumnya disebabkan oleh kurang makan akibat suatu krisis. Krisis ekonomi keluarga sebagai dampak Covid-19 kini menimpa banyak rumah tangga Indonesia. Pengangguran di mana-mana dan penghasilan masyarakat telah jatuh merosot di titik nadir. Timbullah kemudian krisis pangan di masyarakat yang mendorong pemerintah meluncurkan program bantuan sembako.
"Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan," kata Liu Zhenmin, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.
Pemerintah di berbagai negara kini sibuk menangkal gonjang-ganjing ekonomi dunia akibat Covid-19. Turbulensi ekonomi dunia pasti akan berdampak buruk bagi orang miskin. Di bawah tekanan-tekanan ekonomi yang terjadi, orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya. Hak atas pangan yang menurut Maslow menduduki peringkat atas sebagai kebutuhan manusia hendaklah bisa dipenuhi di saat pandemi menyeruak di tengah kehidupan kita.
Kemiskinan telah membatasi berbagai akses kebutuhan masyarakat. Hal ini menyangkut ketidakberdayaan dalam mengakses pangan, pendidikan, perumahan dll. Deprivasi yang dialami orang miskin dalam segala dimensi membuat mereka menderita.
Suara-suara orang miskin adalah keluhan tentang kondisi sulitnya mengonsumsi makanan yang layak gizi, rumahnya yang tidak layak huni, rendahnya daya beli, buruknya sanitasi lingkungan, dan ketakutan bila ada anggota keluarga yang sakit karena tak mampu berobat. Kini, dengan adanya wabah Covid-19, keluhan utama masyarakat adalah bagaimana menyambung hidup sehari-hari untuk keperluan pemenuhan pangan agar asupan gizi mereka tetap optimal.
Krisis gizi juga akan dialami oleh anak-anak balita di saat pandemi merebak dan pascapandemi bila pemulihan ekonomi berlangsung lamban. Meski anak balita sudah bisa makan makanan orang dewasa, sebenarnya golongan umur ini memerlukan asupan pangan dan gizi yang bermutu. Pada periode usia balita ini konsumsi protein relatif lebih tinggi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Bantuan sembako yang saat ini dibagikan utamanya memang berupa pangan pokok untuk keluarga. Perlu direnungkan bahwa korban pandemi juga ada dari kalangan anak balita dan bayi. Karena itu, bantuan berupa susu bubuk, susu formula, dan bubur bayi juga sangat dibutuhkan. Bantuan pangan untuk anak-anak ini bisa diusahakan dari industri-industri pangan olahan.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal Maret 2020 mengancam gizi anak. Kondisi ini akan semakin parah karena lingkungan sanitasi yang buruk (terutama pada pemukiman padat penduduk) sehingga infeksi merajalela. Sebagaimana diketahui terdapat hubungan saling memperkuat antara gizi kurang dan infeksi. Anak penderita gizi kurang akan rentan untuk menderita infeksi dan sebaliknya.
Gizi kurang (akut) umumnya disebabkan oleh kurang makan akibat suatu krisis. Krisis ekonomi keluarga sebagai dampak Covid-19 kini menimpa banyak rumah tangga Indonesia. Pengangguran di mana-mana dan penghasilan masyarakat telah jatuh merosot di titik nadir. Timbullah kemudian krisis pangan di masyarakat yang mendorong pemerintah meluncurkan program bantuan sembako.
"Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan," kata Liu Zhenmin, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.
Pemerintah di berbagai negara kini sibuk menangkal gonjang-ganjing ekonomi dunia akibat Covid-19. Turbulensi ekonomi dunia pasti akan berdampak buruk bagi orang miskin. Di bawah tekanan-tekanan ekonomi yang terjadi, orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya. Hak atas pangan yang menurut Maslow menduduki peringkat atas sebagai kebutuhan manusia hendaklah bisa dipenuhi di saat pandemi menyeruak di tengah kehidupan kita.
Kemiskinan telah membatasi berbagai akses kebutuhan masyarakat. Hal ini menyangkut ketidakberdayaan dalam mengakses pangan, pendidikan, perumahan dll. Deprivasi yang dialami orang miskin dalam segala dimensi membuat mereka menderita.
Suara-suara orang miskin adalah keluhan tentang kondisi sulitnya mengonsumsi makanan yang layak gizi, rumahnya yang tidak layak huni, rendahnya daya beli, buruknya sanitasi lingkungan, dan ketakutan bila ada anggota keluarga yang sakit karena tak mampu berobat. Kini, dengan adanya wabah Covid-19, keluhan utama masyarakat adalah bagaimana menyambung hidup sehari-hari untuk keperluan pemenuhan pangan agar asupan gizi mereka tetap optimal.
(maf)
tulis komentar anda