Ancaman Krisis Gizi di Tengah Pandemi
loading...
A
A
A
Ali Khomsan
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
COVID-19 started as a health crisis, but disruptions in food systems and on people’s livelihood could create not only a food crisis, but a nutrition crisis (FAO-2020). Kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rawan menderita krisis gizi (the most nutritionally vulnerable groups).
Dalam kondisi normal saja mereka sudah termasuk golongan berisiko, apalagi dalam suasana darurat seperti saat pandemi Covid-19 menyerbu. Perempuan hamil dan menyusui serta anak-anak balita perlu mendapat perhatian besar, karena kebutuhan gizinya relatif lebih banyak namun kondisi kelangkaan pangan di tingkat rumah tangga menyebabkan mereka sulit memenuhinya.
Hingga kini sektor yang diberi tanggung jawab besar untuk mengatasi masalah gizi adalah Kementerian Kesehatan. Penderita gizi buruk atau gizi kurang memang menjadi urusan kesehatan. Namun, pencegahan munculnya masalah gizi seharusnya ditangani oleh sektor yang mengurusi produksi pangan. Kurang kalori protein, anemia kurang gizi besi, kurang vitamin A, dan kurang gizi mikro lainnya adalah karena kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang buruk. Rendahnya konsumsi pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran, dan buah merupakan persoalan bangsa yang belum teratasi.
Sektor pertanian mempunyai tugas berat untuk merealisasikan tercukupinya ketersediaan pangan nasional. Di Amerika Serikat (AS), peran USDA (United States Department of Agriculture) sangatlah besar dalam penanggulangan masalah gizi. Sebagai contoh, USDA membantu penyelenggaraan program susu sekolah di berbagai negara berkembang. Selain itu, ilmuwan USDA berperan aktif dalam perumusan Dietary Guidelines untuk mendukung rakyat yang sehat dengan pola makan yang baik.
Kurangnya asupan gizi menyebabkan rendahnya status gizi anak dan anak akan semakin mudah terserang infeksi yang menyebabkan kematian. Demikian pula apabila ibu hamil kekurangan gizi maka akan lahir bayi stunting (panjang badan <48 cm) dan bayi berat lahir rendah (BBLR) yaitu berat kelahiran <2.5 kg. Bayi yang lahir dengan berat <2.5 kg berisiko mengalami banyak gangguan kesehatan.
Dalam situasi pandemi seperti saat ini, ketika akses pangan rumah tangga terganggu, risiko kurang zat besi yang dihadapi kaum perempuan semakin besar karena mereka mengonsumsi bantuan pangan yang serba terbatas jenis dan jumlahnya.
Defisiensi asam folat karena kurang mengonsumsi sayuran berdaun hijau, kacang merah, brokoli, alpukat, dan tomat juga mengancam ibu hamil.
Ketika hamil, perempuan memerlukan asam folat lebih banyak daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin. Bila kadar asam folat rendah, akan menyebabkan bayi lahir cacat, mengalami gangguan saraf (spina bifida), atau retardasi mental. Kebutuhan asam folat pada orang dewasa adalah 400 mcg per hari. Kebutuhan ini menjadi dua kali lipat untuk perempuan hamil dan bertambah 50% untuk ibu menyusui.
Krisis gizi juga akan dialami oleh anak-anak balita di saat pandemi merebak dan pascapandemi bila pemulihan ekonomi berlangsung lamban. Meski anak balita sudah bisa makan makanan orang dewasa, sebenarnya golongan umur ini memerlukan asupan pangan dan gizi yang bermutu. Pada periode usia balita ini konsumsi protein relatif lebih tinggi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Bantuan sembako yang saat ini dibagikan utamanya memang berupa pangan pokok untuk keluarga. Perlu direnungkan bahwa korban pandemi juga ada dari kalangan anak balita dan bayi. Karena itu, bantuan berupa susu bubuk, susu formula, dan bubur bayi juga sangat dibutuhkan. Bantuan pangan untuk anak-anak ini bisa diusahakan dari industri-industri pangan olahan.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal Maret 2020 mengancam gizi anak. Kondisi ini akan semakin parah karena lingkungan sanitasi yang buruk (terutama pada pemukiman padat penduduk) sehingga infeksi merajalela. Sebagaimana diketahui terdapat hubungan saling memperkuat antara gizi kurang dan infeksi. Anak penderita gizi kurang akan rentan untuk menderita infeksi dan sebaliknya.
Gizi kurang (akut) umumnya disebabkan oleh kurang makan akibat suatu krisis. Krisis ekonomi keluarga sebagai dampak Covid-19 kini menimpa banyak rumah tangga Indonesia. Pengangguran di mana-mana dan penghasilan masyarakat telah jatuh merosot di titik nadir. Timbullah kemudian krisis pangan di masyarakat yang mendorong pemerintah meluncurkan program bantuan sembako.
"Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan," kata Liu Zhenmin, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.
Pemerintah di berbagai negara kini sibuk menangkal gonjang-ganjing ekonomi dunia akibat Covid-19. Turbulensi ekonomi dunia pasti akan berdampak buruk bagi orang miskin. Di bawah tekanan-tekanan ekonomi yang terjadi, orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya. Hak atas pangan yang menurut Maslow menduduki peringkat atas sebagai kebutuhan manusia hendaklah bisa dipenuhi di saat pandemi menyeruak di tengah kehidupan kita.
Kemiskinan telah membatasi berbagai akses kebutuhan masyarakat. Hal ini menyangkut ketidakberdayaan dalam mengakses pangan, pendidikan, perumahan dll. Deprivasi yang dialami orang miskin dalam segala dimensi membuat mereka menderita.
Suara-suara orang miskin adalah keluhan tentang kondisi sulitnya mengonsumsi makanan yang layak gizi, rumahnya yang tidak layak huni, rendahnya daya beli, buruknya sanitasi lingkungan, dan ketakutan bila ada anggota keluarga yang sakit karena tak mampu berobat. Kini, dengan adanya wabah Covid-19, keluhan utama masyarakat adalah bagaimana menyambung hidup sehari-hari untuk keperluan pemenuhan pangan agar asupan gizi mereka tetap optimal.
Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat IPB
COVID-19 started as a health crisis, but disruptions in food systems and on people’s livelihood could create not only a food crisis, but a nutrition crisis (FAO-2020). Kaum perempuan dan anak-anak adalah kelompok paling rawan menderita krisis gizi (the most nutritionally vulnerable groups).
Dalam kondisi normal saja mereka sudah termasuk golongan berisiko, apalagi dalam suasana darurat seperti saat pandemi Covid-19 menyerbu. Perempuan hamil dan menyusui serta anak-anak balita perlu mendapat perhatian besar, karena kebutuhan gizinya relatif lebih banyak namun kondisi kelangkaan pangan di tingkat rumah tangga menyebabkan mereka sulit memenuhinya.
Hingga kini sektor yang diberi tanggung jawab besar untuk mengatasi masalah gizi adalah Kementerian Kesehatan. Penderita gizi buruk atau gizi kurang memang menjadi urusan kesehatan. Namun, pencegahan munculnya masalah gizi seharusnya ditangani oleh sektor yang mengurusi produksi pangan. Kurang kalori protein, anemia kurang gizi besi, kurang vitamin A, dan kurang gizi mikro lainnya adalah karena kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang buruk. Rendahnya konsumsi pangan hewani, kacang-kacangan, sayuran, dan buah merupakan persoalan bangsa yang belum teratasi.
Sektor pertanian mempunyai tugas berat untuk merealisasikan tercukupinya ketersediaan pangan nasional. Di Amerika Serikat (AS), peran USDA (United States Department of Agriculture) sangatlah besar dalam penanggulangan masalah gizi. Sebagai contoh, USDA membantu penyelenggaraan program susu sekolah di berbagai negara berkembang. Selain itu, ilmuwan USDA berperan aktif dalam perumusan Dietary Guidelines untuk mendukung rakyat yang sehat dengan pola makan yang baik.
Kurangnya asupan gizi menyebabkan rendahnya status gizi anak dan anak akan semakin mudah terserang infeksi yang menyebabkan kematian. Demikian pula apabila ibu hamil kekurangan gizi maka akan lahir bayi stunting (panjang badan <48 cm) dan bayi berat lahir rendah (BBLR) yaitu berat kelahiran <2.5 kg. Bayi yang lahir dengan berat <2.5 kg berisiko mengalami banyak gangguan kesehatan.
Dalam situasi pandemi seperti saat ini, ketika akses pangan rumah tangga terganggu, risiko kurang zat besi yang dihadapi kaum perempuan semakin besar karena mereka mengonsumsi bantuan pangan yang serba terbatas jenis dan jumlahnya.
Defisiensi asam folat karena kurang mengonsumsi sayuran berdaun hijau, kacang merah, brokoli, alpukat, dan tomat juga mengancam ibu hamil.
Ketika hamil, perempuan memerlukan asam folat lebih banyak daripada biasanya untuk keperluan tumbuh kembang janin. Bila kadar asam folat rendah, akan menyebabkan bayi lahir cacat, mengalami gangguan saraf (spina bifida), atau retardasi mental. Kebutuhan asam folat pada orang dewasa adalah 400 mcg per hari. Kebutuhan ini menjadi dua kali lipat untuk perempuan hamil dan bertambah 50% untuk ibu menyusui.
Krisis gizi juga akan dialami oleh anak-anak balita di saat pandemi merebak dan pascapandemi bila pemulihan ekonomi berlangsung lamban. Meski anak balita sudah bisa makan makanan orang dewasa, sebenarnya golongan umur ini memerlukan asupan pangan dan gizi yang bermutu. Pada periode usia balita ini konsumsi protein relatif lebih tinggi untuk menjamin pertumbuhan dan perkembangan yang baik.
Bantuan sembako yang saat ini dibagikan utamanya memang berupa pangan pokok untuk keluarga. Perlu direnungkan bahwa korban pandemi juga ada dari kalangan anak balita dan bayi. Karena itu, bantuan berupa susu bubuk, susu formula, dan bubur bayi juga sangat dibutuhkan. Bantuan pangan untuk anak-anak ini bisa diusahakan dari industri-industri pangan olahan.
Pandemi Covid-19 yang telah berlangsung sejak awal Maret 2020 mengancam gizi anak. Kondisi ini akan semakin parah karena lingkungan sanitasi yang buruk (terutama pada pemukiman padat penduduk) sehingga infeksi merajalela. Sebagaimana diketahui terdapat hubungan saling memperkuat antara gizi kurang dan infeksi. Anak penderita gizi kurang akan rentan untuk menderita infeksi dan sebaliknya.
Gizi kurang (akut) umumnya disebabkan oleh kurang makan akibat suatu krisis. Krisis ekonomi keluarga sebagai dampak Covid-19 kini menimpa banyak rumah tangga Indonesia. Pengangguran di mana-mana dan penghasilan masyarakat telah jatuh merosot di titik nadir. Timbullah kemudian krisis pangan di masyarakat yang mendorong pemerintah meluncurkan program bantuan sembako.
"Diperlukan langkah-langkah kebijakan yang mendesak dan berani, tidak hanya untuk menahan pandemi dan menyelamatkan nyawa, tetapi juga untuk melindungi yang paling rentan di masyarakat kita dari kehancuran ekonomi dan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi serta stabilitas keuangan," kata Liu Zhenmin, Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk Urusan Ekonomi dan Sosial.
Pemerintah di berbagai negara kini sibuk menangkal gonjang-ganjing ekonomi dunia akibat Covid-19. Turbulensi ekonomi dunia pasti akan berdampak buruk bagi orang miskin. Di bawah tekanan-tekanan ekonomi yang terjadi, orang miskin harus tetap mendapat garansi untuk mengakses berbagai pelayanan yang menjadi haknya. Hak atas pangan yang menurut Maslow menduduki peringkat atas sebagai kebutuhan manusia hendaklah bisa dipenuhi di saat pandemi menyeruak di tengah kehidupan kita.
Kemiskinan telah membatasi berbagai akses kebutuhan masyarakat. Hal ini menyangkut ketidakberdayaan dalam mengakses pangan, pendidikan, perumahan dll. Deprivasi yang dialami orang miskin dalam segala dimensi membuat mereka menderita.
Suara-suara orang miskin adalah keluhan tentang kondisi sulitnya mengonsumsi makanan yang layak gizi, rumahnya yang tidak layak huni, rendahnya daya beli, buruknya sanitasi lingkungan, dan ketakutan bila ada anggota keluarga yang sakit karena tak mampu berobat. Kini, dengan adanya wabah Covid-19, keluhan utama masyarakat adalah bagaimana menyambung hidup sehari-hari untuk keperluan pemenuhan pangan agar asupan gizi mereka tetap optimal.
(maf)