Menyoal RPP Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Laut

Senin, 20 Desember 2021 - 21:54 WIB
Mantan Kabais TNI Soleman B Ponto. Foto/ist
Soleman B Ponto

Kepala Bais TNI Periode 2011-2013

SAAT ini beredar surat dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM ( Menko Polhukam ) terkait Permohonan Rapat Terbatas (Ratas) membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Surat yang beredar melalui percakapan aplikasi WhatsApp (WA) tertanggal 14 Desember 2021 itu tidak mengundang Kepala Staf TNI AL (KSAL) Laksamana TNI Yudo Margono. Padahal KSAL adalah pihak yang bertugas dalam hal menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sebagaimana diatur pada Pasal 9 Huruf b UU Nomor 34/2004 tentang TNI.

Tidak diundangnya KSAL pada rapat yang membahas Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia tentunya mengundang tanda tanya. Ada tiga kemunginan alasan mengapa KSAL tidak diundang pada ratas tersebut. Pertama, topik pembicaraan tidak ada kaitannya dengan tugas KSAL.

Sekarang mari kita uji, pertama, topik yang dibahas pada rapat itu adalah Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Topik ini sangat erat hubungannya dengan tugas Angkatan laut sebagaimana yang diatur pada Pasal 9 Huruf b UU Nomor 34/2004 tentang TNI, yaitu menegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.



Artinya, ternyata topik yang dibahas dalam rapat sangat erat kaitannya dengan tugas TNI AL di bawah pimpinan KSAL KSAL sebenarnya mutlak harus hadir. Jadi, alasan pertama tidak bisa diterima. Alasan kedua, Kedua, KSAL sudah diwakili panglima TNI. Ini jelas adalah anggapan yang keliru. Mari kita uji lagi. Dalam UU Nomor 34/2004 tentang TNI. Di sana telah diatur secara tegas pembagian tugas antara panglima TNI dengan KSAL.

Panglima TNI bertugas menegakan kedaulatan yang dilaksanakan melalui Operasi Militer yang berprinsip kill or to be kill, sebagaimana yang diatur pada Pasal 7 UU Nomor 34/2004. Sementara tugas KSAL diatur pada Pasal 9 Huruf b, yaitu menegakan hukum dan menjaga keamaman wilayah laut yurisdiksi nasional dengan melaksanakan prinsip mengejar, menangkap, menyelidiki dan menyidik para pelanggar hukum untuk selanjutnya dibawa ke pengadilan. Jadi, dalam hal penegakan hukum di laut KSAL bertindak sebagai penyidik. Di sinilah bedanya, panglina TNI tidak bisa bertindak sebagai penyidik di laut. Akan tetapi dalam hal operasi militer, KSAL ada di bawah perintah Panglima TNI.



Mengingat topik rapat adalah menyangkut kewenagan penyidik dalam penegakan hukum di laut, yang merupakan tugas dari KSAL, kehadiran Panglima TNI tidak bisa dianggap telah mewakili KSAL. Kehadiran KSAL adalah mutlak karena topik rapat menyangkut penegakan hukum di laut yang berada di luar tugas TNI. Panglima TNI bisa saja tidak hadir, karena penegakan hukum di laut tidak ada kaitannya dengan tugas TNI. Jadi alasan kedua ini pun tidak bisa diterima.

Alasan ketiga, kemungkinan KSAL tidak diundang karena alasan diperkirakan akan menolak saran dari Menkopohukam kepada Presiden. Ada dua saran yang disampaikan Menkopolhukam kepada Presiden untuk dimintakan persetujuan pada rapat itu. Saran pertama yaitu menetapkan RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Keselamatan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia melalui Keputusan Rapat Terbatas, karena meskipun substansi RPP disetujui oleh para Menteri/Kepala Lembaga, namun dalam pembahasan tingkat Panitia Antar Kementrian (PAK) tidak ditemukan adanya kesepakatan, sehingga digunakan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7/2017 tentang Pengambilan, Pengawasan dan Pengendalian pelaksanaan kebijakan ditingkat Kementrian dan lembaga Pemerintah.

Sangat jelas dinyatakan bahwa pada pembahasan tingkat Panitia Antar Kementrian (PAK) RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Keselamtan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia sudah ditolak. Tapi anehnya Menkopolhukam tetap ngotot memajukan RPP ini untuk dimintakan Persetujuan Presiden pada rapat yang tidak dihadiri oleh KSAL itu.

Penolakan PAK itu adalah hal yang wajar, karena RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan dan Keselamtan dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia berpontensi menggiring Presiden untuk melanggar UUD 45 dan melanggar UU No.12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan, yang dapat mengakibatkan kegaduhan Politik.



Landasan Hukum Pembuatan PP

Perlu diingat bahwa ada dua landasan hukum pembuatan peraturan pemerintah. Pertama, Pasal 5 ayat (2) UUD 45, yang selengkapnya berbunyi : "Presiden menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya". Kedua, Pasal 12 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan selengkapnya berbunyi : “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya”.

Dari kedua landasan Undang-undang itu sangat jelas mengatur bahwa, Peraturan Pemerintah ditetapkan oleh Presiden adalah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya. Lalu apa yang dimaksud dengan “Menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya”?

Pada Penjelasan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah dirobah dengan UU 15 Tahun 2019 dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.

Sekarang mari kita uji RPP tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan Dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia. Apakah RPP tersebut memenuhi persyaratan “Menjalankan Undang-undang sebagaimana mestinya”

Materi pasal yang memuat perintah Undang-undang untuk membuat Peraturan Pemerintah berada pada Konsideran atau kolom “Mengingat”.

Coba perhatikan pada kolom mengingat tertulis; Bahwa dalam rangka menjamin pelaksanaan pembangunan kelautan di bidang keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum yang efektif dan efisien, perlu dilakukan penyinergian, pengintegrasian, dan pemaduan fungsi dari beberapa Kementerian/Lembaga serta untuk menjalankan Pasal 13 ayat (2) huruf c, Pasal 62 huruf a, huruf c dan huruf d, dan Pasal 63 ayat (1) huruf c Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan;

Pasal 13 ayat 2 Huruf c UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan selengkapnya berbunyi, “Pertahanan, keamanan, penegakan hukum, dan keselamatan di Laut”

Pasal 62 UU Nomor 32/2014 tentang Kelautan selengkapnya berbunyi, “Dalam melaksanakan tugas, Badan Keamanan Laut menyelenggarakan fungsi:

a. Menyusun kebijakan nasional di bidang keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;

b. Menyelenggarakan sistem peringatan dini keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia;

c. Melaksanakan penjagaan, pengawasan, pencegahan, dan penindakan pelanggaran hukum di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia.

d. Menyinergikan dan memonitor pelaksanaan patroli perairan oleh instansi terkait.

e. Memberikan dukungan teknis dan operasional kepada instansi terkait.
Halaman :
tulis komentar anda
Follow
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Video Rekomendasi
Berita Terkait
Rekomendasi
Terpopuler
Berita Terkini More