Guru Terus Bergerak di Era Digital
Kamis, 25 November 2021 - 10:39 WIB
Perbedaan pandangan, anggapan, dan kemampuan antargenerasi ini tentu menimbulkan masalah dalam pendidikan saat ini. Siswa yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap proses belajarnya, karena mereka memiliki akses informasi yang luas, berhadapan dengan guru yang masih mengandalkan buku lama sebagai rujukan.
Penelitian menyebut jika orang yang otaknya terbentuk secara digital memiliki kemampuan kognitif yang superior. Cirinya cenderung aktif, senang merencanakan dan mengorganisir sesuatu, cenderung menjadi pemimpin dalam bermain ataupun bekerja. Mereka juga tidak bergantung dan tahu apa yang diinginkan. Dengan karakteristik seperti ini, pertanyaannya sejauh mana guru bisa memikat mereka.
Belajar yang Menyenangkan
Proses belajar generasi Y dan Z sangatlah berbeda dengan generasi digital immigrant. Proses belajar generasi sekarang sangat cepat, karena semua informasi ada di ujung jari. Guru harus mengubah cara dan gaya mengajarnya, para guru harus menguasai IT dan memakai sarana pendukung digital untuk membantu pelajaran.
Guru harus tahu dengan media sosial, sesuatu yang digemari generasi sekarang. Guru dapat membiasakan menggunakan sarana blog yang menarik di internet, juga membuat vlog.
Pengalaman saya mengajar vlog dengan peserta para guru, masih banyak yang “menyerah” di tengah jalan menganggap bahwa itu bukan dunia mereka. Tapi guru perlu sadar jika itu dibutuhkan hari ini, dan kedepan. Intinya guru harus mau belajar kembali, ada banyak sarana berbasis digital yang bisa digunakan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Di tengah glorifikasi teknologi informasi dalam proses belajar mengajar, perlu diingat bahwa bagian otak anak, terutama usia dini yang sering terpapar gawai menunjukan adanya perubahan struktur otak. Alih menyebut penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak, seperti daya ingat, daya tangkap, memori, juga kemampuan motorik, serta sensoris anak.
Terlalu sering belajar online juga dampak negatif, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga faktor psikologis dan emosi anak. Maka harus diseimbangkan cara mengajar digital, dengan cara mengajar anak manusia yang menyenangkan.
Guru di era sekarang diharapkan mampu menjadi jembatan antara literasi konvensional dan digital. Seorang guru tidak harus menjadi ahli dalam pengoperasian perangkat digital, namun bisa menjadi pengarah bagi muridnya dalam mendapatkan dan mengelola informasi menggunakan perangkat yang ada.
Murid yang lebih pandai dalam menggunakan teknologi bukanlah ancaman bagi guru. Murid saat ini bisa jadi lebih pandai dalam mengoperasikan gawai, namun guru dapat memberikan referensi mengenai nilai, manfaat dan tujuan penggunaannya.
Penelitian menyebut jika orang yang otaknya terbentuk secara digital memiliki kemampuan kognitif yang superior. Cirinya cenderung aktif, senang merencanakan dan mengorganisir sesuatu, cenderung menjadi pemimpin dalam bermain ataupun bekerja. Mereka juga tidak bergantung dan tahu apa yang diinginkan. Dengan karakteristik seperti ini, pertanyaannya sejauh mana guru bisa memikat mereka.
Belajar yang Menyenangkan
Proses belajar generasi Y dan Z sangatlah berbeda dengan generasi digital immigrant. Proses belajar generasi sekarang sangat cepat, karena semua informasi ada di ujung jari. Guru harus mengubah cara dan gaya mengajarnya, para guru harus menguasai IT dan memakai sarana pendukung digital untuk membantu pelajaran.
Guru harus tahu dengan media sosial, sesuatu yang digemari generasi sekarang. Guru dapat membiasakan menggunakan sarana blog yang menarik di internet, juga membuat vlog.
Pengalaman saya mengajar vlog dengan peserta para guru, masih banyak yang “menyerah” di tengah jalan menganggap bahwa itu bukan dunia mereka. Tapi guru perlu sadar jika itu dibutuhkan hari ini, dan kedepan. Intinya guru harus mau belajar kembali, ada banyak sarana berbasis digital yang bisa digunakan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa.
Di tengah glorifikasi teknologi informasi dalam proses belajar mengajar, perlu diingat bahwa bagian otak anak, terutama usia dini yang sering terpapar gawai menunjukan adanya perubahan struktur otak. Alih menyebut penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak, seperti daya ingat, daya tangkap, memori, juga kemampuan motorik, serta sensoris anak.
Terlalu sering belajar online juga dampak negatif, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga faktor psikologis dan emosi anak. Maka harus diseimbangkan cara mengajar digital, dengan cara mengajar anak manusia yang menyenangkan.
Guru di era sekarang diharapkan mampu menjadi jembatan antara literasi konvensional dan digital. Seorang guru tidak harus menjadi ahli dalam pengoperasian perangkat digital, namun bisa menjadi pengarah bagi muridnya dalam mendapatkan dan mengelola informasi menggunakan perangkat yang ada.
Murid yang lebih pandai dalam menggunakan teknologi bukanlah ancaman bagi guru. Murid saat ini bisa jadi lebih pandai dalam mengoperasikan gawai, namun guru dapat memberikan referensi mengenai nilai, manfaat dan tujuan penggunaannya.
Lihat Juga :
tulis komentar anda