Guru Terus Bergerak di Era Digital

Kamis, 25 November 2021 - 10:39 WIB
loading...
Guru Terus Bergerak...
Dr Adjat Wiratma, Jurnalis dan Pegiat Pendidikan. Foto/Dok. SINDOnews
A A A
Dr Adjat Wiratma
Jurnalis dan Pegiat Pendidikan

SUDAHKAH kita benar-benar masuk era digital? Pertanyaan itu muncul saat saya berada di daerah-daerah pelosok atau singgah di desa melihat dan mendengarkan pengakuan guru serta siswa yang sejak pandemi covid-19 mereka keteteran melaksanakan pembelajaran daring.

Jaringan internet masih terbatas. Gawai yang digunakan juga tak begitu pintar. Proses belajar mengajar dijalankan terkesan dipaksakan, sebisanya. Lain guru, lain sekolah, lain siswa, lain juga kondisi belajar dan mengajarnya.

Namun jika menilik secara global, saat ini dunia telah masuk di era dimana semua kegiatan kehidupan sudah dipermudah dengan adanya teknologi, itulah yang dimaksud era digital. Pandemi bahkan telah mempercepat proses digitalisasi itu, membeli makan di warung saja kini sudah dengan aplikasi.

Masa ini juga dapat kita sebut sebagai glorifikasi teknologi informasi, seperti yang diutarakan Klaus Schawb yakni Revolusi Industri 4.0. Tidak hanya kecanggihan mikroprosesor tapi juga tentang kecerdasan artifisial. Masa ini adalah tantangan sekaligus kesempatan yang dapat melahirkan banyak solusi, termasuk dalam bidang pendidikan.

Pemerintah mengatakan pihaknya terus berupaya untuk mewujudkan digitalisasi pendidikan, walau yang baru terlihat lebih pada pengadaan sarana penunjangnya saja. Semisal pengalokasian 17,42 triliun rupiah untuk belanja produk teknologi seperti laptop, access point, konektor, LCD proyektor, layar proyektor dan speaker aktif, periode 2021 hingga 2024.

Di luar itu ada hal penting lain yang perlu menjadi perhatian bersama, terutama bagi guru sebagai ujung tombak pendidikan. Memiliki guru yang paham dengan kondisi zaman tentu tidak bisa diwujudkan secara instan. Diharapkan mereka yang memilih jalan hidup sebagai guru tumbuh kesadaran sejak dini, dan terus bergerak meningkatkan kompetensinya agar menjadi guru digital bagi anak-anak digital.

Mark Prensky, pemerhati pendidikan memperkenalkan istilah digital immigrants dan digital natives. Menurutnya siswa di era sekarang adalah penduduk asli dunia digital, sedangkan para gurunya adalah mereka yang baru saja pindah ke dunia digital.

Keduanya yang merupakan dua generasi berbeda ini memiliki perbedaan tajam dalam cara berpikir dan cara menggunakan pikiran untuk memproses informasi. Tidak hanya menyoal antara guru generasi X dan murid generasi Y, kini ada yang dinamakan generasi Alpha, yakni mereka yang lahir pada tahun 2010 sampai 2025 nanti.

Otak generasi ini dibentuk oleh dunia digital. Bahkan generasi Aplha, sejak lahir mereka sudah berhadapan dengan teknologi. Mereka kini sudah belajar melalui IoToys, The Internet of Toys, mainan robot, boneka, atau jam tangan yang semuanya terhubung dengan internet.

Lahir dalam zaman yang berbeda, otak mereka juga tentu berbeda dari generasi sebelumnya. Kenyataan ini adalah adalah fakta yang saat ini dapat kita ditemui di persekolahan, tidak heran jika sering terjadi kesenjangan antara peserta didik dan pendidik.

Kondisi itu dirasakan hingga sekarang dan menjadi tantangan pendidikan ke depan. Banyak guru yang gagap dalam mengejar perkembangan teknologi. Tidak hanya bermasalah dalam menggunakan teknologinya, masih banyak guru yang juga belum mampu mendalami bahwa yang dihadapinya adalah manusia dengan otak digital.

Mengenal Murid Digital
Ciri khas generasi Y dan Z dibandingkan generasi sebelumnya adalah mereka sangat dipengaruhi internet. Generasi Z bahkan sudah akrab sejak usia dini, Sejak belum mengenal baca tulis mereka sudah memainkan gawai pintar. Guru juga harus paham jika generasi ini memiliki kemampuan melakukan berbagai pekerjaan dalam waktu bersamaan.

Tidak heran apabila saat berselancar di dunia maya, banyak laman yang mereka buka dalam waktu bersamaan. Sekilas jika guru atau orang tuanya perhatikan seperti tidak fokus saat belajar online, namun ternyata ini adalah kelebihan mereka.

Berikutnya, generasi ini juga sangat peduli dengan diri mereka masing-masing. Tidak heran jika mereka gandrung dengan Intagram atau Tiktok yang dapat membuat mereka eksis.

Sebaliknya apa yang terjadi pada guru, sebagian masih menganggap media sosial sesuatu yang tabu, masih banyak yang berpikir bermain medsos tidak produktif. Sementara itu, literasi sebagian guru terhadap media sosial juga dirasa masih kurang.

Dalam proses belajar dan mengajar digital natives dan digital immigrants memiliki karakteristik yang bisa dikatakan bertolak belakang. Para guru yang didominasi digital immigrants mempertahankan karakteristiknya step by step, satu pelajaran sekali waktu, serta belajar secara individu.

Perbedaan pandangan, anggapan, dan kemampuan antargenerasi ini tentu menimbulkan masalah dalam pendidikan saat ini. Siswa yang memiliki ekspektasi tinggi terhadap proses belajarnya, karena mereka memiliki akses informasi yang luas, berhadapan dengan guru yang masih mengandalkan buku lama sebagai rujukan.

Penelitian menyebut jika orang yang otaknya terbentuk secara digital memiliki kemampuan kognitif yang superior. Cirinya cenderung aktif, senang merencanakan dan mengorganisir sesuatu, cenderung menjadi pemimpin dalam bermain ataupun bekerja. Mereka juga tidak bergantung dan tahu apa yang diinginkan. Dengan karakteristik seperti ini, pertanyaannya sejauh mana guru bisa memikat mereka.

Belajar yang Menyenangkan
Proses belajar generasi Y dan Z sangatlah berbeda dengan generasi digital immigrant. Proses belajar generasi sekarang sangat cepat, karena semua informasi ada di ujung jari. Guru harus mengubah cara dan gaya mengajarnya, para guru harus menguasai IT dan memakai sarana pendukung digital untuk membantu pelajaran.

Guru harus tahu dengan media sosial, sesuatu yang digemari generasi sekarang. Guru dapat membiasakan menggunakan sarana blog yang menarik di internet, juga membuat vlog.

Pengalaman saya mengajar vlog dengan peserta para guru, masih banyak yang “menyerah” di tengah jalan menganggap bahwa itu bukan dunia mereka. Tapi guru perlu sadar jika itu dibutuhkan hari ini, dan kedepan. Intinya guru harus mau belajar kembali, ada banyak sarana berbasis digital yang bisa digunakan untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa.

Di tengah glorifikasi teknologi informasi dalam proses belajar mengajar, perlu diingat bahwa bagian otak anak, terutama usia dini yang sering terpapar gawai menunjukan adanya perubahan struktur otak. Alih menyebut penggunaan gawai yang berlebihan juga dapat mengganggu perkembangan kemampuan kognitif anak, seperti daya ingat, daya tangkap, memori, juga kemampuan motorik, serta sensoris anak.

Terlalu sering belajar online juga dampak negatif, tidak hanya dari sisi kesehatan, tetapi juga faktor psikologis dan emosi anak. Maka harus diseimbangkan cara mengajar digital, dengan cara mengajar anak manusia yang menyenangkan.

Guru di era sekarang diharapkan mampu menjadi jembatan antara literasi konvensional dan digital. Seorang guru tidak harus menjadi ahli dalam pengoperasian perangkat digital, namun bisa menjadi pengarah bagi muridnya dalam mendapatkan dan mengelola informasi menggunakan perangkat yang ada.

Murid yang lebih pandai dalam menggunakan teknologi bukanlah ancaman bagi guru. Murid saat ini bisa jadi lebih pandai dalam mengoperasikan gawai, namun guru dapat memberikan referensi mengenai nilai, manfaat dan tujuan penggunaannya.

Ke depan sistem pembelajaran berbasis proyek juga harus digalakkan. Caranya dengan menekankan pada kreatifitas, merangsang munculnya inovasi, kepercayaan diri, dan semangat kolaborasi antarsiswa, siswa dan lingkungan, serta siswa dan guru, yang akan terus terbangun melalui proyek pembelajaran.

Tidak Melupakan Pendidikan Karakter
Penggunaan teknologi digital tanpa disadari juga menyebabkan terjadinya dehumanisasi. Orang-orang menjadi semakin individualis, rasa kepedulian antarsesama menipis dan perjumpaan antarmanusia lebih banyak dimediasi gawai.

Situasi bertambah tidak humanis ketika penggunaanya tanpa kontrol, menggunakan teknologi digital untuk menyebarkan kebencian, sikap intoleransi, dan informasi bohong. Dalam kondisi seperti itu perlu diingatkan kembali nilai dasar manusia. Dalam konteks Indonesia adalah terwujudnya insan yang cerdas, berwawasan global, namun mampu mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya.

Tidak ada satu hal apapun dapat dianggap sebagai pendidikan tanpa nilai moral. Apapun yang dilakukan sekolah, melalui para gurunya, tentunya harus menyisipkan makna nilai didalamnya, termasuk bagaimana guru memperlakukan murid, serta sikap murid terhadap guru.

Pendidikan moral adalah sebuah pekerjaan dengan tantangan yang kompleks di era saat ini. Namun ini adalah waktunya bagi guru untuk menghadapi tantangan itu. Perubahan itu harus dilakukan guru sekarang. Mengutip tema Hari Guru Nasional tahun ini, guru bergerak dengan hati, pulihkan pendidikan.
(poe)
Dapatkan berita terkini dan kejutan menarik dari SINDOnews.com, Klik Disini untuk mendaftarkan diri anda sekarang juga!
Baca Berita Terkait Lainnya
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
read/ rendering in 0.1090 seconds (0.1#10.140)